Ada perasaan gembira mana kala, dalam beberapa hari Ramadhan tahun ini, saya mendapat pesan sejuk. Sebuah pesan Whatsapp masuk dari Sesepuh Ponpes Buntet Cirebon, KH Ayip Abdullah Abbas. Kiai yang biasa disapa Kang Ayip ini, kerap mengirim pesan-pesan menenangkan jiwa.
Sering pula mengirim link sebuah berita tentang acara para mantan geng motor yang kini telah mengubah jati diri mereka untuk terus berupaya berbuat. Mantan geng motor XTC itu sering membuat agenda shalawatan dan yatiman. Acara rutin yang bahkan kerap menggandeng anggota dewan, aparat kepolisian maupun pejabat lain di Cirebon.
Di kisaran tahun 2015-2016, beberapa kali saya pernah mengikuti agenda itu. Bagaimana pemuda-pemuda bertato menangis saat melafadzkan shalawat.
Ilustrasi sekeluarga mengaji, mengaji sekeluarga, mengaji bersama, ngaji bersama
Ada juga mantan geng motor wanita yang sesunggukan mengelap air matanya. Pun mereka yang tak mampu membendung air matanya kala berbagi pada anak-anak yatim.
Ada getaran jiwa mengalir hebat kala menyaksikan air mata mereka. Mereka yang dulunya akrab dengan senjata tajam, kekerasan, tawuran, darah, dan penjara: tiba-tiba sesunggukan melafadzkan shalawat bersama.
Tiba-tiba keberingasannya menciut saat di hadapan anak-anak yatim. Air matanya jatuh, tangannya bergetar, bibirnya komat kami melafadzakan shalawat.
Ada kesejukan di sana. Ada kedamaian, ketenangan, persaudaraan dan cinta kasih yang sangat terasa. Tanpa dinyana, ternyata agenda itu masih terus dijaga sampai sekarang. Alhamdulillah wa syukurilah.
Kesejukan, kedamaian, rasa kasih dan sifat-sifat pemurah begitu terasa kala bershalawat dan yatiman bersama mereka. Kenangan itu terus menghujam bahkan terasa baru dilalui ketika Kang Ayip mengirim link berita tentang agenda mantan geng motor itu.
Tetapi, saat yang sama, muncul perasaan masygul dalam jiwa ketika membaca berita-berita dan informasi di sosial media terkait peristiwa 21-22 Mei. Gubernur Anies menyebut sedikitnya delapan nyawa meregang, 730 jiwa terluka dalam insiden itu. Ada apa dengan kita semua?
Ramadhan, yang penuh rahmah dan berkah bisa berubah menjadi ajang pertumpahan darah. Alih-alih kita diizinkan melukai, hikmah puasa salah satunya menahan amarah. Mengaktifkan sifat-sifat pemurah.
Faktanya, bangsa ini malah disajikan peristiwa berdarah. Ke mana kasih sayang sesama anak bangsa? Kemana cinta kasih hilang di antara kita? Haruskah Protap Unjuk Rasa dilanggar demi menghentikan massa?
Polisi mengakui ada kesalahan prosedur dalam peristiwa itu. Tetapi sampai kini tak ada kelanjutan sanksi dan sejenisnya terhadap konsekuensi pelanggaran itu. Serupa dengan tidak adanya sanksi bagi KPU kala Bawaslu memvonis salah dalam kaitan Situng.
Sampai kini, tak ada pula yang bertanggung jawab terhadap korban penembakan. Jika aturan dilanggar pihak terkait, lalu sanksi tidak ada, lantas bagaimana anak-anak bangsa bisa mendapat kepercayaan?
Akibatnya saling curiga dan kebencian terus dipupuk sesama anak bangsa. Konsekuensinya amat mengerikan. Bangsa ini benar-benar bisa kehilangan rasa kasih dan cinta yang dulu bersemai. Bangsa ini makin kehilangan jati dirinya. Indonesia yang dikenal ramah, pemurah, gotong royong, saling asah asih asuh pelan tapi pasti menjadi galak, sangar, individualis, bahkan permisif terhadap kekerasan.
Malu rasanya pada para mantan geng motor itu. Mereka yang sudah kenyang dengan ragam kekerasan dan kebengisan justru mengajarkan sifat-sifat pemurah.
Peristiwa berdarah di bulan Ramadhan adalah presen terburuk bagi sejarah bangsa ini. Bukan soal siapa yang salah. Tidak akan habis-habisnya membahas hal itu. Bukan pula solusi yang jitu.
Tetapi menegakan aturan, memberi sanksi pada yang bersalah meski dari pihak aparat sendiri, menjadi satu kemungkinan solusi untuk membuktikan masih adanya keadilan yang kini ramai dituntut publik. Jika yang ditangkap justru dari netizen yang hanya menyuarakan suaranya, berupaya kritis pada ketidakadilan hukum, hal ini justru berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik.
Konsekuensinya jelas amat mengerikan. Publik juga heran bagaimana mungkin anak kecil bisa tewas ditembak, jurnalis mendapat kekerasan, bahkan tim medis termasuk rombongan kemanusiaan Dompet Dhuafa Republika tak lepas dari tindakan aniaya.
Lantas, kemana rasa kasih itu? Kemana sifat pemurah itu? Jika dalam bulan Ramadhan saja bisa terjadi pertumpahan darah, bagaimana di luar Ramadhan.
Satu-satunya jalan, mungkin, tegakan aturan dengan berkeadilan. Bebaskan publik mengeluarkan uneg-unegnya. Bahkan MK sendiri mengusulkan penghapusan pasal penghinaan presiden.
Bukan, bukan karena kita tidak menghormati lambang negara. Tetapi jangan sampai kita kembali ke masa otoriter. Penghina agama, bahkan penghina Nabi dan orang tuanya dibiarkan, tapi menghina presiden langsung dikandangkan.
Bagaimana mau mewujudkan keadilan? Bagaimana mau mengembalikan rasa kasih? Faktanya kita malah dihadapkan pada asap-asap kebencian, permusuhan, pemutus hubungan yang disebabkan tebang pilih penegakan aturan.
Mau sampai kapan tuan puan? Siramilah anak-anak bangsa ini dengan keadilan. Ayomi lah rakyat ini dengan kasih sayang. Bukan dengan aneka ancaman dan penangkapan.
Menghentikan ujaran kebencian bukan dengan laporan dan penangkapan. Tapi dengan ketauladanan kasih sayang dan keadilan. Dengan membumikan kembali budaya memanusiakan manusia.
Damai selalu Indonesia. Shalaallahu alaa Muhammad
TENTANG PENULIS
RUDI AGUNG, Pemerhati Masalah Sosial