Muttaqien
Peneliti Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK)
FKKMK UGM /Anggota MPM PP Muhammadiyah
Defisit BPJS Kesehatan akhir tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp 28 triliun. Angka ini terdiri dari Rp 19 triliun perkiraan defisit tahun 2019 dan akumulasi hutang 2018 yang belum terbayar sebesar Rp 9,1 triliun. Sungguh angka yang sangat mengkhawatirkan untuk tahun ke-6 pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasonal (JKN). Secara waktu, badai defisit juga semakin cepat terjadi. Baru pertengahan tahun 2019, keluhan BPJS Kesehatan dan rumah sakit semakin nyaring terdengar.
Defisit JKN menimbulkan persoalan berat kepada semua pemangku kepentingan. Tagihan RS berbulan-bulan tidak dibayar karena memang kas BPJS Kesehatan hampir kosong. Tertundanya pembayaran RS mengakibatkan cash flow terganggu. Tagihan pabrik obat dan alkes yang tak terbayarkan menyebabkan pabrik memberhentikan pengirimannya.
Akibatnya pasien tidak mendapatkan obat yang seharusnya, operasi tertunda, bahkan banyak keluhan pasien dipulangkan lebih cepat. Managemen RS bertambah pusing dengan tuntutan karyawan dikarenakan honor, jasa medis, ataupun remunerasi yang belum terbayar. Motivasi kerja tenaga kesehatan turun. Akhir segalanya adalah potensi keselamatan pasien yang terabaikan.
Penyebab defisit
Apabila dikelompokkan pendapat ahli, paling tidak terdapat 4 kelompok penyebab defisit. Pertama adalah akar utama defisit ini yaitu ketika Pemerintah menetapkan besaran premi dibawah hitungan aktuaria usulan DJSN. Hampir semua ahli meyakini kebijakan ini pasti membuat BPJS Kesehatan defisit karena biaya pelayanan kesehatan akan lebih besar dibandingkan jumlah premi yang diterima.
Data BPJS Kesehatan (2019) membuktikan pada tahun 2016 secara agregat terdapat selisih minus Rp 2.026 antara Premi Per Orang Per Bulan (PPOPB) dibandingkan Biaya Per Orang Per Bulan (BPOPB). Naik menjadi Rp 5,625 di tahun 2017, dan kembali naik drastis mejadi Rp 10.341 di tahun 2018. Selisih minus ini jika dikalikan jumlah peserta JKN sungguh menimbulkan biaya defisit yang besar.
Penyebab kedua adalah meningkatnya jumlah penderita penyakit katastropik yang berbiaya besar sehingga menguras cukup dalam kas BPJS Kesehatan. Pola hidup peserta yang tidak sehat mengakibatkan pasien non communicable disease (NCD) semakin bertambah.
Diperkirakan 25% dana BPJS Kesehatan habis untuk membiayai pasien NCD. Penyakit jantung menghabiskan dana Rp 10,5 triliun, kanker Rp 3,4 triliun, stroke Rp 2,6 triliun, gagal ginjal kronik Rp 2,4 triliun, thalasemia Rp 490 miliar, haemofilia Rp 358 miliar, cirosis hepatis Rp334 miliar dan leukimia Rp 333 miliar.
Ketiga adalah potensi fraud yang masih tinggi baik di FKTP maupun rumah sakit. Temuan korupsi dana kapitasi di beberapa kabupaten/kota, tingginya tingkat readmisi, pantom billing, up coding, kecurigaan terhadap tinggi pelayanan Caesar di RS. Terbaru berita temuan awal kejaksaan tinggi Sumatera Utara terkait 40 RS yang melakukan “penipuan” lewat pencairan klaim JKN.
Keempat adalah tingkat kepatuhan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) membayar iuran baru mencapai 59%. Peserta yang menunggak setiap tahun juga mengalami kenaikan. Per Mei 2019 terdapat 24.928.064 jiwa peserta PBPU yang menunggak membayar premi. Otomatis potensi pendapatan BPJS Kesehatan berkurang.
Solusi

BPJS Kesehatan Bandung Bahas Info JKN Terkini
Andaikata diibaratkan penderita kanker, maka kondisi program JKN sekarang sudah hampir memasuki stadium 4 dan akan segera menyebar ke bagian lain seluruh tubuh atau metastasis. Jikalau kanker sampai menyebar maka akan semakin sulit mengendalikannya. Begitulah dengan program JKN, jika Pemerintah tidak segera memberikan pengobatan yang tepat, maka tunggulah kematiannya.
Semua sepakat bahwa JKN merupakan program yang diperlukan untuk kesehatan rakyat. Tentu kita tidak menginginkan kematian JKN. Jutaaan penduduk sudah mendapatkan manfaat program JKN. Tingginya peserta yang mengakses membuktikan program ini dibutuhkan.
Diperlukan solusi jangka pendek dan jangka panjang oleh Pemerintah. Jangka pendek tentu pemerintah segara harus menutupi defisit JKN dengan melakukan bailout sebelum dampak semakin melebar. Minimal Rp. 9,1 triliun hutang tahun 2018 harus dilunasi segera. Jangka panjang, Pemerintan harus merubah terstruktur dan sistematis implementasi program JKN.
Mengutip Chasin (2016) berdasarkan pengalaman negara lain, paling tidak ada 3 opsi strategi yang bisa dilakukan menghadapi tantangan defisit JKN ini, yaitu (1) meningkatkan pendapatan JKN melalui kenaikan premi yang sesuai perhitungan aktuaria (2) memotong biaya pelayanan kesehatan dengan membatasi benefit yang akan diterima peserta atau meningkatkan cost sharing, atau memotong pembayaran kepada fasilitas kesehatan, dan (3) meningkatkan efisiensi dalam penggunaan dana melalui strategic health purchasing untuk mengurangi pertumbuhan biaya tidak produktif dan mengalihkan sumber daya ke bagian yang lebih hemat biaya.
Menurut penulis, untuk kondisi Indonesia kini maka stretagi pertama harus bisa dilaksanakan tahun ini juga. Memperlambat menaikkan premi berarti memperparah pendarahan program JKN. Strategi kedua yang sudah direncanakan baru melalui urun biaya untuk pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan.
Tinggal menunggu Kementerian Kesehatan mengeluarkan kebijakan jenis pelayanan kesehatan yang menimbulkan penyalahgunaan yang hingga kini tak kunjung keluar juga.
Strategi ketiga secepatnya mendorong BPJS Kesehatan berubah dari passive purchaser menjadi strategic purchaser.
Strategic health purchasing akan mendorong BPJS Kesehatan pro aktif membuat keputusan yang lebih strategis mengenai layanan kesehatan apa, bagaimana, dan oleh siapa pelayanan kesehatan tersebut harus dibayar. Diharapkan pelayanan JKN akan lebih efisien, membantu mengurangi defisit dengan mutu terjaga sehingga keberlanjutan program JKN dapat terus berlangsung.