REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Edy Sutriono, ASN Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepri
Bulan Juli mengingatkan penulis pada satu pertanyaan historis yang terlontar pada awal kemerdekaan, “Apa bentuk perekonomian yang paling cocok bagi Indonesia?”. Jawaban sebagian besar pendiri bangsa ini, “Usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan”. Proses pemikiran panjang, mendalam dan jauh ke depan, founding fathers pada akhirnya memutuskan dan menuangkan jawaban tersebut ke dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 33 ayat (1).
Lebih lanjut menurut salah satu proklamator, Mohammad Hatta mengenai bentuk konkrit dari usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan itu adalah koperasi yang diumpamakannya seperti kumpulan orang dalam keluarga yang secara bersama-sama bertanggung jawab atas kesejahteraan semua anggota keluarga. Pesan Bapak Koperasi Indonesia di atas seolah me-launching bahwa koperasi merupakan soko guru atau tiang penyangga utama perekonomian Indonesia yang kemudian diperingati setiap tanggal 12 Juli.
Landasan pemikiran tersebut dilatarbelakangi oleh prinsip-prinsip koperasi yang memiliki kesamaan dengan sosial budaya bangsa Indonesia yang bersifat kolektivisme, gotong royong, tolong menolong dan kekeluargaan. Koperasi mendidik toleransi dan rasa tanggung jawab bersama.
Hal lain bahwa koperasi menumbuhkan semangat percaya pada kekuatan sendiri dan menempa ekonomi rakyat menengah ke bawah agar menjadi mandiri dan kuat. Harapan pendiri bangsa tersebut dalam perkembangannya saat ini belum optimal dan justru makin redup, seolah tak terdengar bagaikan peribahasa mati segan hidup pun tak mau.
Faktor penyebab kondisi yang demikian, menurut penulis antara lain disebabkan sebagian besar koperasi selama ini mendorong anggotanya untuk mengejar tujuan dalam mendapatkan keuntungan sebanyaknya dan kurang menekankan bangunan dasar usaha bersama dan azas kekeluargaan. Hal ini membawa konsekuensi anggota koperasi aktif akan memperoleh keuntungan paling besar.
Suasana ini akan membuat koperasi memupuk rasa egoisme para anggotanya. Kedua, konsepsi yang salah dalam menjalankan koperasi yang hanya menjalankan kegiatannya pada anggotanya sendiri. Sementara yang bukan anggota tidak diizinkan memperoleh akses ke koperasi.
Kondisi ini menyebabkan koperasi tidak berkembang. Pelayanan dan/atau penjualan harusya lebih inklusif dapat diakses oleh masyarakat umum. Koperasi bukanlah menonjolkan individualisme sekelompok masyarakat, tetapi sebaliknya koperasi ditujukan untuk mampu menjadi kekuatan ekonomi masyarakat luas.
Ketiga, koperasi selalu dibangun dengan konsepsi yang sama dengan perusahaan yakni mengejar keuntungan. Padahal tujuan utama koperasi adalah untuk mencapai keperluan hidup bersama. Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan koperasi
seharusnya digunakan sebagai tambahan modal kembali atau dana cadangan untuk
membesarkan koperasi.