Oleh: Teguh Setiawan, Jurnalis Senior
Pernah ke Kelurahan Joglo, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat? Jika pernah, adakah Anda temukan Rumah Joglo (Betawi) yang menjadi nama kelurahan itu?
Nama Kampung Joglo, atau tanah partikelir Joglo, atau permukiman Joglo, tidak pernah ada dalam peta dan arsip VOC dan Hindia Belanda. Yang ada adalah, seperti tertera dalam Kaart van den Landen Waktoenagara, Wastoenagara en Pabayoran milik Gubernur Jenderal Raynier de Klerk, landgoed Paningara. Pemilik Paningara, menurut catatan Andries Teisseire, adalah Gijsbert Jacobs Walgevare.
Saat mengunjungi tempat itu sekitar 1770, Tiesseire menulis; Op hetzelve staat een ruim woonhuis met eene verdieping er boven het welk zijn Weledele zelf voor achttien jaren heeft laten zetten goede rijwegen tot de in het land liggende dorpen der Javaansche opgezetenen maken hetzelve zeer vermakelijk Eenige door het land loopende lage bewaterde rijstvelden en hooge akkers met katjang en ananas beteeld bekooren het gezigt inzonderheid wanneer zestien honderd runderen uit den stal gelaten de wei bedekken.
Terjemahan bebasnya; Ada sebuah rumah luas dengan lantai di atas, yang dibangun Walgevare setelah delapan belas tahun menjadi tuan di tanah itu. Ia juga membangun jalan-jalan dan desa-desa yang dihuni penduduk pedalaman Jawa. Walgevare sangat menikmati suasana di tanahnya. Sawah dibuka di tanah lebih rendah. Di tanah lebih tinggi, orang-orang Jawa membuka kebun untuk budi daya kacang dan nanas. Namun yang menarik adalah 1600 sapi yang dibiarkan merumput di lahan sedemikian luas.
Deskripsi Teisseire memberi gambaran bagaimana Paningara menjadi Joglo, yaitu akibat kedatangan orang-orang pedalaman Jawa. Sebagai pemukim, orang Jawa mendirikan rumah-rumah berarsitektur Joglo di kampung-kampung yang disediakan Walgevare.
Pemukim dari luar, salah satunya Maroedja (Meruya - red) -- tanah partikelir milik Aboe Bakar Daoed -- menyebut Paningara sebagai Joglo. Pemukim lain di tanah partikelir Pengumben, juga milik Walgevare, ikut-ikutan menyebut Paningara sebagai Kampung Joglo.
Joglo populer. Menariknya, Paningara sekian lama menghilang dari catatan tanah partikelir, baik VOC maupun Hindia Belanda. Regerings Almanak voor Nederlands Indie pertengahan abad ke-19, misalnya, tidak pernah mencatumkannya. Bevolkingstatistiek van Java juga tidak pernah menyebut Kampung Joglo atau Paningara.
Dalam beberapa peta Frederick de Haan sebelum kebangkrutan VOC, Paningara ditulis dengan berbagai versi; paningara, pannigara, paningaran, dan terakhir paninggaran. Tiga kata pertama tak punya arti. Paninggaran adalah kata dalam Bahasa Sunda yang tak lagi digunakan, dan memiliki dua arti; perburuan dan petugas pengontrol perburuan dan penjaga lahan pertanian.
Paninggaran ada dalam struktur pemerintahan kepatihan. Ini mengindikasikan Kampung Joglo adalah bagian Kerajaan Pajajaran sebelum ditaklukan Banten dan Cirebon.
Tidak diketahui sampai berapa lama Walgevare berkuasa di tanah itu, dan siapa pemilik berikut sampai abad ke-20. Yang pasti, tanah Paninggaran ada meski tak tercatat. Buktinya, dalam daftar tanah-tanah yang dibeli kembali pemerintah Hindia-Belanda, Paninggara tertera. Status Paninggara sebagai tanah partikelir berakhir tahun 1918.
Sejarah Joglo seakan bukan tentang kepemilikan tanah itu, dan kisah para landheer-nya. Sejarah Joglo adalah perjalanan akulturasi budaya dan kampung melting pot. Dari rumah-rumah Joglo yang dibangun orang-orang Jawa pemukim pertama, muncul anak-anak hasil perkawinan antaretnis.
Sebelum abad ke-20, setelah kawin-mawin antara anak-anak itu -- dan kendatangan pemukim dari luar -- generasi masyarakat Betawi Joglo terbentuk. Rumah Joglo, setelah melewati perjalan panjang, mengalami mengalami akulturasi hebat.
Situs arsitag.com menulis Rumah Joglo Betawi banyak dipengaruhi arsitektur rumah Jawa. Perbedaannya, pada Joglo orang Jawa terdapat soko guru, atau tiang utama penopang atap yang berfungsi mengarahkan pembagian ruang. Rumah Joglo Betawi tidak punya soko guru, dan pembagian ruang tidak jelas. Tiang penopang struktur atap tidak begitu nyata seperti pada rumah Joglo masyarakat Jawa.
Yang juga membedakan adalah hiasan rumah Joglo Betawi sangat sederhana, berupa ukiran kayu dengan motif geometris, berupa titik, segi empat, belah ketupat, segitiga, lengkung, setengah lingkaran, dan lingkaran. Pada Rumah Joglo asli, hiasan berupa ukiran sangat rumit, dan dibuat khusus oleh pengukir.
Hiasan Rumah Joglo Betawi diletakan di lubang angin, kusen, daun pintu, jendela, tiang, dinding ruang depan, listplank, pembatas ruang tengah dan depan, pagar pada serambi dari bambu atau kayu. Dekorasi macam ini amat penting dalam unsur arsitektural Rumah Betawi Joglo.
Menariknya, Rumah Joglo Betawi tidak pernah secara resmi terdaftar sebagai arsitektur rumah masyarakat Betawi. Sejauh ini, yang dikenal sebagai arsitektur rumah orang Betawi hanya Rumah Kebaya, hasil akulturasi Betawi-Tionghoa.
Lebih mengenaskan, Rumah Joglo Betawi perlahan hilang -- atau mungkin telah hilang -- dari habitatnya akibat kerakusan bisnis properti dan sikap abai masyarakatnya.