Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Senin kemarin sebenarnya diam-diam ada diskusi buku yang penting terkait soal peristiwa tragedi G30S PKI 1965. pembahasan ini sangat menarik karena terkait keterlibatan pemimpin negara asing (China), Mao Zedong, atas tragedi itu. Apalagi sampai sekarang soal ini masih mengambang. Kebenaran atas hubungan Ketua Umum PKI dan ‘Paman Mao’ atas kasus itu tak jelas. Selama ini hubungan keduanya hanya sekedar menjadi desas-desus.
Dalam diskusi yang diberitakan Republika.co.id buku berjudul "Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok dan Etnik Tionghoa 1945-1947" karya Taomo Zhou ternyata termuat cuplikan dialog antara pentolan PKI DN Aidit dan tokoh komunis, sekaligus pendiri Republik Rakyat China, Mao Zedong. Demikian disampaikan Prof Dewi Fortuna Anwar saat bedah buku itu, di Jakarta, Senin (29/7).
"Yang menarik dari buku ini adalah transkrip dari percakapan Mao Zedong dengan Aidit pada tanggal 5 Agustus," katanya. Dewi Fortuna dihadirkan bersama Prof Asvi Warman Adam dan Johanes Herliyanto untuk membedah buku setebal 526 halaman itu.
Transkrip percakapan kedua sosok itu dihadirkan pada bab delapan yang mengangkat sub judul Tiongkok dan Gerakan 30 September, khususnya halaman 362-363 buku itu, dibuka dengan pertanyaan Mao Zedong.
Dari catatan di buku, transkrip percakapan itu bersumber dari arsip pusat Partai Komunis China, tertanggal 5 Agustus 1965.
Menurut Dewi Fortuna, pembahasan dalam buku yang dilengkapi dengan transkrip percakapan Aidit dengan Mao Zedong itu menunjukkan bahwa Beijing tidak terlibat langsung dengan G30S/PKI.
"Tetapi, bukan berarti Beijing tidak mendukung upaya PKI suatu saat untuk merebut kekuasaan, baik melalui jalan partai atau jalan revolusioner," katanya.
Sementara itu, Prof A Dahana selaku penerjemah ahli buku itu mengakui buku tersebut merupakan yang pertama mengungkapkan secara langsung percakapan antara Aidit dengan Mao Zedong.
"Dari percakapan ini membuktikan bahwa Aidit mengatakan akan melakukan tindakan yang kemudian menjadi G30S/PKI. Mao mendukung, tapi Mao tidak pernah tahu kapan Aidit akan melakukan itu. Itu menurut buku ini," katanya.
Adanya teman fakta baru itu maka teka-teki soal pengaruh Cina melalui Mao Zedung sedikit terungkap. Selama ini kentalnya aroma hubungan Aidit dengan Mao hanya teraba atau terindikasi dari sebuah puisi yang dibuatnya ketika tahu Aidit tertangkap. Tragisnya setelah berhasil diringkus oleh pasukan penyergap dikomandani oleh Yasir Hadi Broto (mantan mendiang gubernur Lampung), Aidit menemui maut.
Dalam peristiwa itu Yasir memutuskan pasukannya menembak karena merasa Aidit akan bikin repot. Akhirnya, Ketua PKI ini pun di tembak mati. Sebelum diberondong oleh regu tembak dan jenazahnya di masukan ke dalam sumur tua, Aidit sempat diberi kesempatan untuk berpidato. Aidit pidato penuh semangat berkobar.
Menurut Yasir, pidato itu malah membuat anggota pasukannya makin geram dan membuat regu tembaknya makin ingin menembaknya mati. Padahal saat itu Aidit ketika ditangkap kepada Yasir acapkali menyatakan keinginannya bahwa dia akan menjelaskan detil G30S pada presiden Soekarno. Namun, menurut Yasir ketika dia melaporkan soal penangkapan Aidit yang telah bikin repot untuk menjaganya dengan melaporkan kepada atasannya Jendral Soeharto yang kata itu tengah berada di Yogyakarta, dia malah memintanya agar soal Aidit 'segera diselesaikan'.
Maka di sumur tua di Boyolali berakhirlah nasib pria bernama asli Ahmad Aidit. Anak kampung kepulauan Belitung yang bersuara merdu dan piawai melantunkan azan itu berakhir tragis.
Dan bagi Mao Zedong sendiri kematian Aidit adalah kehilangan besar bagi dunia komunis internasional. Bahkan kemudian, khusus untuk Aidit, Mao Zedong menulis puisi perpisahan untuk Aidit. Isinya melankoli penuh keharuan, layaknya sebuah lagu eligi karena mengibaratkan dia seperti 'bunga mawar mekar dan gugur sendiri'.
Begini puisi Paman Mao untuk Aidit yang sebenarnya selama ini sudah tersebar di media:
Tegap menghadap jendela dingin di ranting jarang
Tersenyum mendahului mekarnya berbagai kembang
Sayang wajah girang tak berwaktu panjang
Malahan gugur menjelang musim semi datang
Yang akan gugur, gugurlah pasti
Gerangan haruskah itu mengesalkan hati?
Pada waktunya bunga mekar dan gugur sendiri
Wanginya tersimpan menanti tahun depan lagi