Oleh: Fikrul Hanif Sufyan, pengamat sejarah lokal Sumatera Barat
Dari lima padvinders, atau kepanduan Pramuka di Sumatera Barat di awal abad ke-20, dua di antaranya adalah milik Islam modernis, yakni Hizbul Wathan milik Muhammadiyah, dan El-Hilaal. Barangkali, nama yang terakhir jarang mengemuka secara nasional. Dan, dalam literatur sejarah, juga jarang disinggung mengenai keberadaan padvinders tersebut.
Kisah El-Hilaal dipopulerkan oleh Leon Salim–seorang pemuda asal Payakumbuh yang aktif di International Padvinders Organitatie –milik Sarekat Rakyat Padang Panjang. Selepas Perjalanan Chatib ke Padang Panjang pada tahun 1929, seakan ditakdirkan untuk bertemu dengan Leon Salim–seorang sahabat karibnya yang pernah aktif di International Padvinders Organiza-tion yang dibentuk Sarekat Rakyat Padang Panjang, aktivis Kuminih muda, dan founder kepanduan El-Hilaal milik Persatuan Madrasah Diniyah School (PMDS) dan Persatuan Sumatra Thawalib (Riwayat Hidup Leon Salim, tanggal 9 Maret 1977).
El-Hilaal sendiri terbentuk dari ikrar sebelas orang pelajar Diniyah dan Sumatra Thawalib, termasuk di dalamnya Leon Salim. Kesebelas pelajar berkumpul, pasca dua tahun meletusnya peristiwa Silungkang 1927–yang mengguncang psikis orang Minang. Banyaknya jiwa yang melayang dan ditangkap veldpolitie Belanda, merupakan sebab-sebab sepinya dunia pergerakan di Sumatera Barat dalam dua tahun ( Mestika Zed, 2004).
Dari 30 undangan yang dilayangkan untuk siswa Diniyah dan Thawalib, hanya 11 orang saja yang hadir di Bioskop Rex Padang Panjang. Mereka adalah Leon Salim (Payakumbuh), Hasanuddin Yunus (Sungai Puar), Luthan Gani (Maninjau), Damanhuri (Paya-kumbuh), Mahyuddin Tonex (Pariaman), A. Murad (Sungai Puar), Muhammad Yunus Kocek (Sinabang Aceh), Hasanuddin Arif (Te-luk Betung Lampung), Danil Sulaiman (Kroe Bengkulu), Assauddin Kimin (Singkel Aceh), dan Jumhur Kahar (Sibolga Tapanuli). Da-lam pertemuan awal, dicanangkan kepanduan El-Hilaal dalam ikrar janji:
Dengan nama Allah, kami bersumpah:
“Dengan segala daya upaya serta jalan yang bagaimana-pun kami akan meneruskan cita-cita dan perjoangan bangsa kami.”
Dalam pertemuan pembentukan El-Hilaal, terpilih M. Yunus Kocek sebagai ketua, Leon Salim (sekretaris), dan Mahyuddin To-nex sebagai komisaris. Berselang sebulan kemudian, pengurus El-Hilaal membutuhkan calon pengurus untuk Biro Pendidikan, dan menerjemahkan buku-buku padvinders berbahasa Inggris dan Belanda.
“Untuk mengelola buku-buku dalam bahasa Inggris, kami memerlukan seorang yang sanggup menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.”. demikian kenang Leon Salim, dalam riwayat hidupnya.
Leon pada masa pergerakan memang cukup dekat dengan Basa Bandaro. Nama tokoh ini memang dikenal luas dalam lembar sejarah Minangkabau. Inyik Basa Bandaro adalah saudagar kaya di Pasar Gadang dan dikenal luas oleh tokoh pergerakan yang berideologi Islam, nasionalis, hingga Komunis. Berdirinya Adabiah School dan bermunculannya surat kabar di Sumatera Barat, tidak lepas dari peran Inyik Basa Bandaro.
Basa Bandaro memiliki seorang anak angkat yang brilian, dan pernah bermukim di Pasar Gadang. Dia adalah Chatib Sulaiman–kemudian dibawa oleh saudagar kaya itu ke Padang Panjang. Chatib muda yang putus dari MULO itu, telah berprofesi sebagai guru di HIS Muhammadiyah dan Madrasah Irsyadin Naas (MIN)–milik Syekh Adam Balai-Balai.
Inyik Basa Bandaro kemudian merekomendasikan anak angkatnya itu, untuk membantu El-Hilaal, untuk menerjemahkan buku panduan padvinders. Leon pun segera menjumpai Chatib. Ia meminta kesediaannya untuk bergabung di El-Hilaal sebagai pengurus birokrasi pendidikan, sekaligus sebagai penerjemah, tanpa diberi honor. “Tapi kami menjamin, kalau kami makan, Chatib juga akan makan pula.”, demikian janji Leon kepada sahabatnya itu.
Chatib akhirnya menyetujui usul Leon. Dan, sejak itu pemuda bertubuh jangkung sering tinggal bersama sebelas orang pengurus El-Hilaal, sekaligus menjadi kakak yang menaungi mereka. Hampir seluruh buku panduan padvinder berbahasa Inggris diserahkan kepada anak Haji Sulaiman tersebut, untuk dijadikan rujukan anak-anak pandu El-Hilaal.
Leon menyadari, mereka juga harus membiayai hidup saudaranya itu. Honor yang diterima Chatib dari mengajar di HIS Mu-hammadiyah dan Madrasah Diniyah, tentu tidaklah mencukupi kebutuhannya. Leon yang masih berusia 17 tahun, mencari murid belajar biola. “Dan pada malamnya bersama M. Yunus Kocek–ketua kami–menggesek biola di gedung bioskop (film bisu)”, ungkap Leon dalam manuskripnya.
Selama bermukim di kantor El-Hilaal yang berada di Pasar Usang Padang Panjang, Chatib tidak banyak membuang waktu. Satu-satunya yang menjadi sahabat terdekatnya, sekaligus mengisi waktu luang hanyalah onggokan buku. Ia senang membaca buku sejarah dunia, sejarah Asia, sejarah Indonesia, serta pemikiran Sosialisme dan Nasionalisme. Ia sering melewati malamnya dengan menulis. Kebiasaan Chatib menulis tengah malam di markas El-Hilaal, memang ditujukan untuk memenuhi materi latihan padvinder hingga tahun 1930.
Sampai akhirnya PERMI lahir pada tahun 1930 di Sumatera Thawalib Padang Panjang. Aktivis PERMI dari podium ke podium menggerakkan kesadaran rakyat, sekaligus mengenalkan organisasi mereka yang berasaskan Islam kebangsaan , rupanya berpengaruh kuat terhadap keutuh-an El-Hilaal. Leon sebagai sekretaris, tidak kuasa menghindari per-pecahan ditubuh El-Hilaal dalam openbare vergadering (rapat umum) di Padang Panjang.
Usaha kami supaya El-Hilaal jangan pecah, tidak dapat kami wujudkan. Memang, kami sudah berdiri di atas dua pematang yang berlainan. Apalagi sekarang, sesudah Per-satuan Sumatera Thawalib menjadi partai politik yang se-dang memperlihatkan kekuatannya. Jelas, daya upaya kami untuk mengatasi tak mungkin berhasil.
Openbare yang dihadiri ratusan peserta dari puluhan cabang, menyetujui perpisahan mereka, dengan satu komitmen dasar. Mereka berjanji tetap memperkuat barisan gerakan pemuda Indonesia. Setelah acara ditutup, Chatib mengumpulkan ratusan anak pandu El-Hilaal yang telah terpecah dua berkumpul di kantor Pasar Usang.
Tidak lama berselang, wakil dari Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), Sarekat Islam afdeling Pandu (SIAP) dari Fort de Kock, Natipy, dan Hizbul Wathan Padang Panjang berkumpul bersama El-Hilaal dalam satu barisan. Barisan itu mulai bergerak dengan terompet dan genderang menuju pusat pemerintah afdeling Padang Panjang
Melihat barisan kepanduan, masyarakat segera mengerubungi mereka di kiri dan kanan jalan. Mereka pun berteriak riuh-rendah dan mengelukan barisan muda yang bergerak teratur dan terus menyemangati mereka, untuk melupakan sejenak kesusahan pasca Gempa 1926 dan depresi ekonomi (malaysie).
Barisan padvinder yang mengular dari Guguk Melintang hingga ke Pasar Usang, akhirnya sampai di depan rumah Asisten Residen Padang Panjang. Asisten Residen yang mendengar suara gaduh, segera berlari ke arah kerumunan. Sumpah serapah dalam dialek Minang keluar dari bibirnya. Ia memerintahkan veldpolitie membubarkan iringan padvinder yang menganggu ketenangannya.
“Ia menyumpah-nyumpah dalam dialek Minang, meme-rintahkan polisi menstop marseren anak-anak pandu itu. Kemudian polisi datang berlarian membubarkan barisan yang panjang sebagai ular itu.''
Semua pimpinan padvinder, termasuk Leon, Mahyuddin Tonex ditangkap dan dibawa menemui Asisten Residen. Meskipun pada hari Minggu libur, rupanya penguasa Padang Panjang itu tetap berkantor. Tujuannya untuk mengadili pimpinan kepanduan yang dituduh berdemonstrasi tanpa izin dan merusak rust en orde (Fikrul Hanif, 2018).
Seluruh peserta marseren yang berasal dari Fort de Kock diperintahkan pulang ke rumahnya. Mereka diberikan “ampunan” dan tidak diproses hukum, bila tidak mengulangi perbuatan serupa. Untuk seluruh anggota Kwartir Besar El-Hilaal dan troepleiders dihadapkan ke pengadilan rendah pada hari itu juga. Hasilnya, hakim pengadilan rendah menghukum kurungan untuk pimpinan pandu, anggota Kwartir Besar El-Hilaal, Hasanuddin Yunus–kepala pasukan Tandikat El-Hilaal, dan dua pimpinan Hizbul Wathan.