Ahad 22 Sep 2019 05:40 WIB

Politik Uang di Desa APU

Desa APU adalah ikhtiar mencegah berlangsungnya praktik politik uang pada Pemilu 2019

Arjuna Al Ichsan Siregar
Foto: dokumentasi pribadi
Arjuna Al Ichsan Siregar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arjuna Al Ichsan Siregar, Kordiv Hukum, Data, dan Informasi Bawaslu Kabupaten Sleman

APU bukanlah sebuah nama desa yang ada di nusantara. APU adalah akronim dari Anti Politik Uang (APU). Desa APU diinisiasi oleh jajaran pengawas Pemilu (Bawaslu) di Yogyakarta sebagai bentuk ikhtiar mencegah berlangsungnya praktik-praktik politik uang dalam Pemilu 2019.

Politik uang merupakan tema yang selalu hangat didiskusikan di setiap momen pemilu. Sepintas, hal ini menandakan politik uang masih menjadi sebuah hal yang perlu terus disikapi bersama demi perbaikan kualitas sistem demokrasi di Tanah Air. Baik melalui perbaikan regulasi pemilihan, maupun menumbuhkembangkan budaya antipolitik uang di tengah-tengah masyarakat.

Secara praktik, politik uang memang tampak sepele. Pemilih menerima Rp100 ribu atau Rp 150 ribu dari para calon, lalu memilihnya di dalam bilik suara. Namun, bila melihat dampak ikutannya, ternyata cukup dahsyat. Setidaknya, hal itu tercermin dari banyaknya pejabat, mulai dari wakil rakyat hingga kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dan terpaksa berhadapan dengan KPK.

Berdasarkan data yang dirilis KPK per 30 Juni 2019 periode 2011 - 2019, tercatat sebanyak 211 anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi. Sementara, gubernur tercatat sebanyak 12 orang, dan bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota sebanyak 86 orang.

Di sisi lain, politik uang juga turut memberikan dampak negatif terhadap efektifitas pencapaian program pemerintahan dan sistem birokrasi. Karena praktik politik uang tak hanya dilakukan dalam bentuk uang tunai semata, namun juga bisa dilakukan dalam bentuk ‘penyelewengan’ program dan jasa pemerintahan dalam waktu jangka panjang setelah kandidat terpilih atau jangka pendek oleh petahana.

Praktik-politik uang dapat dikatakan sebagai pengejawantahan konsep patronase politik. Patronase politik menurut Shefter (1994) adalah sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau pegiat kampanye dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari mereka.

Patronase politik merupakan pemberian uang tunai, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya, seperti pekerjaan atau kontrak proyek yang didistribusikan oleh politisi, termasuk keuntungan yang ditujukan kepada individu. Sumber dana patronase politik bisa berasal dari dana pribadi atau pun berasal dari dana publik yang dikelola pemerintah.

Sebagai sebuah penyakit yang menciderai sistem demokrasi, politik uang sudah lama tumbuh subur dalam sistem sosial kemasyarakatan kita. Sebuah penyakit yang selalu dirasakan kehadirannya pada saat diselenggarakannya hajatan pemilihan, baik pemilihan kepala desa, kepala daerah, maupun pemilu. Tak hanya di Indonesia, ancaman politik uang juga telah lama dirasakan dalam pelaksanaan pesta rakyat di negara-negara demokrasi di dunia.

Sebagai penyakit laten dan sudah membudaya, tentu butuh upaya sistematis dan terkoordinasi dengan berbagai stakeholder dalam mencegah dan menindak praktik-praktik politik uang dalam pemilu, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Termasuk, dukungan dari masyarakat tentunya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement