Selasa 24 Sep 2019 12:03 WIB

Mahasiswa 'Avant Grade Kaum' Revolusioner

kekuatan mahasiswa adalah

Mahasiswa dari sejumlah elemen mahasiswa se-Jabodetabek berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/9).
Foto: Republika/Prayogi
Mahasiswa dari sejumlah elemen mahasiswa se-Jabodetabek berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/9).

Oleh: Dr Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Institute.

Telah saya sebutkan dalam beberapa tulisan saya yang bisa di googling tentang mahasiswa, bahwa mereka adalah avant garde alias garda terdepan kaum revolusioner.

Hariman Siregar, legendaris dalam gerakan mahasiswa, menyebutkan bahwa kekuatan mahasiswa adalah "deep feeling" tentang nasib bangsanya. Jika situasi bangsa memburuk maka mereka akan tersadarkan.

Saya sendiri harus menambahkan bahwa kekuatan mahasiswa terletak dari idealisme mereka, independensi dan kemampuan kekinian mereka menggunakan big data dan IT dalam merespon situasi yang ada.

Tesis ini saya kemukakan untuk menjawab kegelisahan banyak pihak yang bingung apa dan kemana arah gerakan mahasiwa saat ini. Pertanyaan ini muncul karena terkesan tiba2 saja gerakan mahasiswa ini menguasai seluruh ruang publik dan semakin radikal.

Dalam banyak analisa merujuk pada masa lalu, memang gerakan mahasiwa biasanya bertahap dari tingkat kampus ke tingkat kota baru ke tingkat nasional di Jakarta (DPR dan Istana). Namun, anehnya, sekarang sudah ada pada semua tingkatan.

photo
Keterangan foto: Mahasiswa UI bersiap gelar demontrasi.

Professor emeritus Shoshana Zuboof dari Harvard University dalam bukunya "the age of Surveillance Capitalism", 2019, justru mengatakan era  ini ditandai dengan "the unprecedented", sesuatu yang tidak disangka2 muncul.

Jadi memang sejarah di masa lalu tidak harus terjadi dalam skenario yang sama di masa kini. Gerakan mahasiwa saat ini mampu datang dengan cepat menguasai ruang publik. Itu fakta.

Memang dari segi tema, spectrum tuntutan terkesan ber variasi. Namun, sasaran  mereka sebenarnya jelas, melawan pada pusat/elit kekuasaan zalim. Dalam hal sementara adalah DPR RI, yang dianggapnya melumpuhkan KPK, via revisi UU KPK. Triger undang2 KPK ini adalah permulaan. Namun, teriakan revolusi sudah terjadi di beberapa daerah, seperti demo mahasiwa hari ini di Malang, dan teriakan Jokowi turun, sudah diteriakkan di Makassar.

Mahasiwa yang diduga "tidur" selama ini, lalu terkesan tiba2 bergerak, kemudian dicurigai adanya pihak2 yang menunggangi. Pada saat bersamaan, Moeldoko, ketua KSP mengeluarkan pernyataan bahwa ada upaya kelompok2 tertentu menggagalkan pelantikan Presiden Jokowi, 20 Oktober mendatang.

Namun, tentu saja dugaan dan kecurigaan terhadap mahasiwa seperti itu kurang beralasan. Gerakan mahasiwa adalah gerakan yang sifatnya historis. Sehingga kesadaran historis itu mengantarkan klaim mahasiwa untuk eksis sebagai pelaku kontrol sosial. Dalam perspektif kesadaran kelas, dalam analisa kaum Marxian, mahasiwa tentu berpikir tentang previlage itu, bahwa mereka harus menunjukkan eksistensi dan eksklusifitasnya sebagai sebuah kelompok sosial.

Koeksistensi antara munculnya gerakan mahasiswa saat ini dengan adanya kelompok-kelompok sosial yang dituduhkan Moeldoko, tentu saja dapat terjadi. Di Hongkong pun, misalnya, gerakan mahasiwa Hongkong selama 12 minggu terus menerus, bersinergi antara idealisme mahasiswa Hongkong bertemu dengan kekuatan kapitalis Hongkong dan kelompok2 Triad yang anti hukum ekstradisi RRC. Namun, idealisme mahasiswa Hongkong tetap berada pada jalur idealisme alias jalur revolusi.

Hanya saja dugaan dan kecurigaan itu tidak mampu mereduksi kesadaran politik mahasiwa saat ini. Mahasiswa sebagai kelas menengah sadar (tercerahkan), tentu selama bertahun tahun belakangan ini menyerap problema sosial yang ada. Secara kesadaran, semua data dan peristiwa  yang diproduksi sistem sosial yang timpang, akan mengakumulasi dalam kegelisahan jiwa jiwa muda mereka.

Kasus kebakaran hutan dan asap yang mematikan yang kesannya dianggap sepele serta bertahun tahun, kasus kasus terkait kemiskinan buruh dan sulitnya  lapangan kerja, kasus rasisme di Papua, ekonomi yang memburuk disertai hutang luar negeri yang terus membengkak, penguasaan kekayaan disegilntir elit dan terkahir kasus revisi UU KPK yang ganjil prosesnya, telah menyentuh sanubari jiwa-jiwa muda ini.

Maka, ketika situasi politik kekuasaan an sich seperti pilpres mereda, mahasiwa punya kesempatan masuk ke ruang publik. Dengan demikian, gerakan ini adalah gerakan idealisme, gerakan moral dan revolusioner.

Catatan Akhir

Gerakan mahasiswa saat ini sudah kembali. Jogya, Surabaya, Malanh, Bandung, Bogor, Makassar, Papua, Medan, Aceh, Riau, dan lain sebagainya sampai Jakarta, telah ditandai gerakan mahasiwa. Berbagai kepentingan kelompok non mahasiswa berusaha mungkin mencari keuntungan dari gerakan ini. Alias upaya penunggangan. Namun, mahasiswa bukanlah orang orang naif dan bodoh. Karena kekuatan mahasiswa adalah pada idealisme, independensi dan kemampuan mereka mengartikulasikan kepentingannya.

Ketika sudah seluruh kota gerakan mahasiswa bergerak, maka mereka akan bergerak lama. Ini akan melewati batas-batas siklus politik, seperti urusan pelantikan Jokowi nanti. Karena gerakan ini akan bersifat revolusioner, yang menggugat soal nilai (value) atas sistem sosial kita yang rapuh. Saat ini DPR dikecam mahasiwa sebagai penjahat. Sebentar lagi akan menyasar juga pada eksekutif. Sehingga kemungkinan reformasi jilid dua akan terulang kembali.

Kita, di luar kekuatan-kekuatan mahasiswa, perlu memikirkan bagaimana kekuatan revolusioner ini menemukan jalannya dengan damai. Membangun dialog tanpa berniat menunggangi. Yakni dengan melihat mereka sebagai "moral force" dari bangsa kita yang sudah kehilangan moral.

Selamat datang gerakan mahasiswa, selamat datang kaum revolusioner.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement