Sabtu 21 Sep 2019 04:21 WIB

Mahasiswa demi Masa Depan Bangsa?

Benarkah mahasiswa masa depan bangsa?

Mahasiswa yang tergabung dalam Poros Revolusi Mahasiswa Bandung menggelar aksi menolak revisi UU KPK, di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (17/9).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Mahasiswa yang tergabung dalam Poros Revolusi Mahasiswa Bandung menggelar aksi menolak revisi UU KPK, di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (17/9).

Oleh: Dr syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle

Rombongan mahasiswa ITB hari ini ikut bergerak ke DPR, bersama kelompok mahasiswa UI, IPB, Trisakti dan lainnya. mengecam Presiden Jokowi dan DPR atas revisi UU KPK. Tadi malam mantan tokoh mahasiswa ITB 90an mengontak saya untuk menerima pimpinan mahasiswa ITB tersebut. Namun, saya berhalangan. Tadi saya baru tahu pemimpin mahasiswa ITB sekarang ini sudah sebelumnya mempunyai hubungan percakapan dengan "jaringan elit" nasional anti revisi UU KPK.

Posisi saya yang suka mengkritik KPK namun menolak revisi inisiatif ala rezim Jokowi yang mematikan KPK berbeda faksi dengan kelompok anti revisi KPK, maupun kelompok pro revisi KPK.

Kelompok anti revisi KPK umumnya mempunyai mazhab pemikiran seperti lembaga ICW dan majalah tempo. Selama 17 tahun keberadaan KPK, kelompok ini menikmati jaringannya pada KPK, baik kenikmatan mempengaruhi KPK dalam pembangunan image politik mereka, seperti kelompok elit bersih, maupun posisi nyata dalam mengakses karir atau posisi di pemerintahan.

Sebaiknya, kelompok inisiator revisi UU KPK adalah rezim penguasa yang ingin KPK mati. Karena KPK tentu saja mengganggu bagi pembangunan imperium kekuasaan mereka.

Keinginan pimpinan mahasiswa ITB untuk bertemu dengan saya, menunjukkan kehebatan sang mahasiswa tersebut untuk mematahkan klaim yang mungkin nantinya secara sepihak dilakukan berbagai kelompok elit anti revisi UU KPK. Mahasiswa ingin mem balance tentang jaringan mereka sekaligus menunjukkan mereka adalah gerakan mahasiswa independen.

Mahasiswa Garda Depan

Mahasiwa adalah kaum pelopor saya yakini selama ini. Sejak suara mahasiswa tergeser dengan suara emak-emak, kegelisahan saya muncul karena tesis saya selama ini bahwa mahasiswa adalah garda terdepan perjuangan bangsa mulai saya ragukan. Sebulan lalu, tokoh mahasiswa legendaris, Hariman Siregar, yang saya tanyakan posisi keraguan saya tersebut membantah. Menurutnya mahasiswa pasti akan bergerak, begitu hiruk-pikuk kontestasi perbutan kekuasaan selesai. Dan benar saja bahwa setelah pilpres serta bagi-bagi kekuasaan dianggap selesai, mahasiswa tampil lagi kepermukaan melakukan gerakan.

Gerakan mahasiswa murni, bukan "gerakan mahasiswa nasi bungkus", adalah gerakan mahasiswa yang tampil merespons kekuasaan yang zalim. Kekuasaan zalim itu, memang seringkali tidak mampu dijelaskan mahasiswa secara teoritik, namun mahasiswa dapat merasakan, sekali lagi merasakan. Dalam konteks penghapusan eksistensi KPK via revisi yang dilakukan Jokowi dan DPR, mahasiswa mengetahui bahwa revisi itu berarti rezim Jokowi menarik komitmennya pada pemerintahan bersih.  Padahal simbol pemerintahan bersih menjadi fokus utama bangsa paska reformasi. Majalah Tempo, misalnya, tentu saja mempunyai aksi-reaksi, terhadap kesadaran mahasiswa, ketika menampilakan foto Jokowi berhidung pinokio. Artinya, saling terpengaruh. Keberanian tempo mencela Jokowi tentu dengan menghitung keresahan kalangan intelektual muda pada situasi ini terkait KPK.

Tentu saja, sekali lagi, kesadaran mahasiwa saat ini muncul karena situasi kebobrokan nasional masuk dalam kesadaran mereka. Persoalan bagaimana jaringan antar kampus menjadi besar, seperti gerakan pendudukan DPR RI, hari ini, tentu dapat dijadikan indikasi  bahwa ada kelompok anti revisi UU KPK yang ikut membantu kemudahan jaringan. Meskipun ini hanya indikasi, dan bisa salah. Namun, dalam persepektif gerakan politik mahasiswa, bantuan itu tidak mengurangi idealisme dan independensi gerakan mereka.

Penjelasan saya tentang kebangkitan mahasiswa saat ini untuk merespons berbagai pihak yang kebingungan, khususnya di medsos, saat ini. Sebagiannya malah ada yang mencurigai gerakan mahasiswa anti revisi UU KPK ini digerakkan oleh penguasa. Padahal sejatinya kelompok anti revisi ini adalah mahasiswa2 kampus besar yang mereka mempertaruhkan eksistensi dan moralitasnya secara beresiko.

Tentu saja bagi mahasiswa, kecurigaan atas independensinya harus di komunikasi kan kepada berbagai elemen gerakan nasional. Untuk memperkuat keyakinan berbagai pihak dengan kebingungan hilangnya gerakan mahasiswa hampir 5 tahun ini.

Kebersamaan Perjuangan

Mengembalikan mahasiswa sebagai garda depan perjuangan bangsa adalah suatu keharusan. Kelompok non mahasiswa, tanpa mengurangi respek terhadap kekuatan emak-emak militan, seringkali terjebak pada tuntutan sejarah yang kurang memberi tempat utama pada gerakannya. Gerakan buruhpun misalnya, selalu dianggap akan selesai ketika tuntutan upah selesai. Sebaliknya, gerakan mahasiswa akan bergerak terus melawan, sesuai sejaranya mengontrol kekuasaan yang menyimpang. Oleh karenanya, kekuatan perubahan, yang ada selama ini, seperti gerakan emak-emak juga, harus membangun kebersamaan dengan gerakan mahasiswa tersebut.

Kekuatan politik pro perubahan dan gerakan mahasiswa harus menyamakan visi dan target perjuangan. Sekaligus mencegah kelompok "penunggang gelap" mencari keuntungan dari gerakan mahasiswa ini.

Jika kebersamaan perjuangan dapat dilakukan kaum perjuangan, maka kekuatan jahat dalam tubuh bangsa kita akan bisa tersingkirkan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement