Jumat 10 Jul 2015 21:08 WIB

Islam Yes, Islam Nusantara No

Islam Nusantara adalah pemikiran, evaluasi dan penataan dalam alam pikir pengusungnya

Muhammad Abdul Ghani, PhD
Foto: Dokpri
Muhammad Abdul Ghani, PhD

Oleh:  Muhammad Abdul Ghani, Mahasiswa Doktoral, Fakultas Ekonomi, International Islamic University Malaysia (IIUM), [email protected]

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu cara merusak agama Islam adalah dengan mereduksi, menyempitkan, dan membuat istilah baru, serta menafsirkan konsep baku tanpa merujuk kepada otoritas ulama. Bahasa bukan sebatas simbol, akan tetapi menunjukkan jati diri, dan menjabarkan maksud alam pikir manusia.

Al-Jahiz dalam al-Bayan wat Tabyin menjelaskan makna bahasa melekat pada hati manusia. Fungsinya untuk menyusun pemikiran, menyingkap hati, dan lukisan memori. Johanes Fabian dalam karyanya Language and Colonial Power menyataan bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga sarana untuk menjajah manusia dengan ide dan gagasan, serta menggerakkan kekuatan ekonomi dan politik.

Edward Said dalam karya monumentalnya, Orientalism, mengingatkan pentingnya peran bahasa dalam penjajahan. Bahasa adalah media transformasi kebijakan, alat  efektif untuk merusak, menguasai suatu bangsa, dan propaganda.

Konfrontasi istilah bahasa telah berlangsung lama. Tidak terlepas dari pengaruh orientalisme. Tujuannya untuk mengaburkan pemahaman umat Islam terhadap agamanya. Contoh, definisi dan makna Islam. Menurut ulama terkemuka dan memiliki otoritas keilmuan, Imam al-Jurjani dalam kitab at-Ta’rifat, Islam adalah patuh dan taat terhadap apa yang disampaikan oleh nabi Muhammad. Namun oleh para orientalis, istilah Islam disamakan dengan Mohammaden.

Ini dilakukan oleh orientalis semisal Francis Gladwin dalam bukunya An epitome of Mohammedan Law. Secara implisit Gladwin ingin mengatakan Islam diciptakan dan berasal oleh Nabi Muhammad. Hukum Islam diklaimnya sebagai buatan Muhammad.

Orientalis lainnya, Karen Armstrong, dalam buku Islam A short History, mereduksi Islam hanya pada etimologi bahasa dari akar kata salama.  Maknanya kedamaian, namun menanggalkan makna lain, seperti pasrah dan tunduk.

Armstrong ingin menyampaikan pesan Islam adalah agama kedamaian. Sikap tegas, teguh, dan fanatik terhadap Islam sebagai agama paling benar diklaimnya sebagai perbuatan yang bertentangan dengan makna Islam. Mempertahankan diri dalam menjaga tujuan hukum Allah (maqashid syariah) adalah perbuatan menyimpang dari agama Islam, karena membuat pertikaian dan intoleran terhadap non-Muslim.  

Konstruk Islam berdasarkan pada lima rukun: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji, hanya bersifat ornamen pembahasan. Kajian orientalis terhadap Islam menekankan sudut pandang filologi, antropologi, dan sejarah, untuk menciptakan keraguan dan sikap kritis umat Islam terhadap agamanya.

Perang istilah dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru. Presiden Sukarno telah mencetuskan istilah Islam sontoloyo pada tahun 1940, yang dimuat dalam majalah Panji Islam. Proklamator kemerdekaan Indonesia ini kecewa terhadap perilaku menyimpang sebagian umat Islam. Mereka dianggap menjadikan agama sebagai barang dagangan dan kepentingan pribadi.

Kemudian, istilah Islam sontoloyo diterbitkan kembali oleh partai komunis Indonesia (PKI) melalui surat kabar Harian Rakyat pada tahun 1965. Fungsinya untuk dijadikan alat propaganda anti-Islam, menarik simpati kaum Marhean dan untuk melancarkan Revolusi 1965.

Kini muncul Islam Nusantara, hanya ulangan sejarah kerancuan istilah dalam sejarah pemikiran umat Islam di Indonesia. Motifnya didasari ketidakpuasan dan rasa kekesalan sebagian pemuka sarjana pengkaji Islam terhadap sebagian kecil umat Islam yang dianggap tidak toleran, atau sikap ekstrim dalam beragama, serta mengusung budaya Arab yang mereka klaim tidak mengindahkan kearifan lokal.

Istilah Islam Nusantara, menyisakan permasalahan, seperti mata uang logam dengan dua sisi berbeda. Sisi pertama, ingin menampilkan wajah umat Islam yang bersahabat dengan kearifan budaya lokal dan tidak bertentangan dengan Islam. Namun di sisi lain secara makna dan istilah, serta karakteristik mengalami masalah.

Islam Nusantara adalah hasil pemikiran, evaluasi dan penataan dalam alam pikir pengusungnya. Menghasilkan kerancuan dalam makna dan konsep. Karena, secara bahasa, Islam bermakna patuh, taat dan menyerahkan diri sepenuh hati, serta kedamain. Jika makna Islam disandingkan dengan Nusantara, yang menunjukkan pada kawasan area, maka secara makna, Islam Nusantara adalah patuh, taat dan menyerahkan diri sepenuh hati kepada Nusantara.

Maksud lain dari pengusung Islam Nusantara adalah Islam yang sesuai dengan kawasan Nusantara. Jika demikian, maka ajaran Islam direduksi dan disesuaikan dengan adat Istiadat Nusantara, sehingga terjadi proses sekularisasi di alam Nusantara. Pada akhirnya membaca Alquran menggunakan langgam Jawa, dan suatu saat, azan akan berubah dengan menggunakan bahasa Jawa, Sunda atau bahasa bhineka tunggal ika.   

Secara konten dan karekteristik, Islam Nusantara telah bertentangan dengan spirit dan ruh ajaran ahli sunnah wal jamaah, dan khittah Nahdatul Ulama yang telah digariskan oleh pendirinya, KH Hasyim Asy'ari. NU mengusung paham Ahlussunnah wal jamaah dengan menganut paham teologi Asy’ariyah dan Maturidi. Keduanya adalah tandingan Mu’tazilah dalam dielektika pemikiran akidah.

Pengusung Islam Nusantara lebih memuja dan mengagungkan Mu’tazilah. Di sisi lain para pendiri NU telah memberikan sikap penolakan terhadap Syiah, namun para pengusung Islam Nusantara mempunyai sikap yang berbeda.   

Bergulirnya wacana Islam nusantara merupakan evolusi konsep dari wacana sebelumnya, yaitu Islam sontoloyo Sukarno, Sekularisme Nurcholis Madjid, dan Islam Liberal Ulil Abshar Abdalla. Islam Nusantara adalah tampilan baru, namun secara substansi merupakan gagasan usang, hanya menambah genggap gempita tanpa makna di tengah persoalan bangsa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement