REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indra, SH.MH*
Saat ini pemerintah sedang menggodok dan akan mengajukan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja atau Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Substansi RUU ini terdiri atas sebelas klaster permasalahan yang melibatkan 31 kementerian/lembaga. Salah satu klaster dari sebelas klaster tersebut, yakni klaster ketenagakerjaan. Artinya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketegakerjaan (UU Ketenagakerjaan) akan mengalami revisi/perubahan melalui Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Apabila kita cermati perjalanan UU Ketenagakerjaan, maka kita akan temukan bahwa para stakeholder utama dari UU Ketenagakerjaan menunjukan ketidakpuasannya atas UU Ketenagakerjaan tersebut. Pihak pengusaha merasa terbebani dengan UU Ketenagakerjaan, sedangkan pihak buruh/pekerja merasa tidak mendapatkan perlindungan yang cukup dari UU Ketenagakerjaan.
Selain itu berbagai pihak dengan sporadis setidak-tidaknya sudah 17 (tujuh belas) kali mengajukan permohonan Judicial Review (JR) UU Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 17 (tujuh belas) kali permohonan JR tersebut, 10 (sepuluh) permohonan JR dikabulkan oleh MK yang putusannya mempertegas dan/atau memperkuat hak dan posisi buruh/pekerja.
Di lain sisi, sejak UU Ketenagakerjaan diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003, setiap periode kepemimpinan nasional, pemerintah selalu berupaya untuk melakukan revisi UU Ketenagakerjaan. Upaya pemerintah untuk melakukan revisi UU Ketenagakerjaan sudah di mulai pada pemerintahan periode 2004-2009. Upaya pemerintah tersebut disambut dan didukung penuh oleh pihak pengusaha. Sedangkan pihak buruh/pekerja yang direpresentasikan oleh berbagai elemen konfederasi, federasi, dan serikat buruh/pekerja melakukan “perlawanan” (dibaca: berjuang keras) dan penolakan atas upaya pemerintah melakukan revisi UU Ketenagakerjaan tersebut.
Berbagai demonstrasi elemen buruh/pekerja terjadi hampir di seluruh daerah yang terdapat kantong-kantong kawasan industri, dan puncaknya demonstrasi besar-besaran buruh/pekerja di depan Istana Negara dan di depan Gedung DPR/MPR RI pada tanggal 1 dan 3 Mei 2006. Dengan begitu banyaknya dan tumpah ruahnya buruh/pekerja yang melakukan demonstrasi “perlawanan” dan penolakan revisi UU Ketenagakerjaan dari berbagai elemen, saat itu status Jakarta dinyatakan Siaga Satu dan pada tanggal 3 Mei 2006 pagar gerbang utama gedung DPR/MPR RI bobol/roboh oleh dorongan peserta demonstrasi.
Pada periode 2009-2014 dan periode 2014-2019 perintah kembali dan terus mengupayakan merevisi UU Ketenagakerjaan. Sebaliknya pihak buruh/pekerja juga terus melakukan “perlawanan” dan penolakan atas upaya pemerintah melakukan revisi UU Ketenagakerjaan tersebut. “Perlawanan” dan penolakan dari berbagai elemen buruh/pekerja terhadap revisi UU Ketenagakerjaan selama 3 (tiga) periode kepemimpinan nasional tersebut didasarkan atas semangat revisi UU Ketenagakerjaan yang diupayakan pemerintah terbaca dengan jelas untuk mengakomodir kepentingan sepihak pengusaha dan memperlemah posisi buruh/pekerja. Dari berbagai pernyataan pihak pemerintah dan juga dari draf (awal) revisi UU Ketenagakerjaan yang beredar, jelas bahwa revisi UU Ketenagakerjaan semangatnya adalah mereduksi upah minimum, mereduksi hak pesangon, dan fleksibilitas pasar kerja (outsourcing & PKWT diperluas).
Saat ini pemerintahan periode 2019-2024 kembali mengupayakan revisi UU Ketenagakerjaan melalui paket Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Merujuk dari berbagai pernyataan wakil pemerintah, dalih dan semangat dalam memasukkan aturan ketenagakerjaan (revisi UU Ketenagakerjaan) dalam Omnibus Law juga relatif sama dengan dalih dan semangat pemerintah pada 3 (tiga) periode sebelumnya. Dalihnya didasarkan pada kemudahan investasi dan lapangan pekerjaan. Sedangkan semangat pengaturannya secara garis besar adalah mereduksi upah minimum (jam kerja dan upah yang fleksibel), fleksibilitas pasar kerja (outsourcing & PKWT diperluas), mudah mem-PHK (easy firing), mereduksi hak pesangon, mempermudah pekerja asing, dan mereduksi sanksi.
Dengan melihat semangat pengaturan ketenagakerjaan dalam Omnibus Law yang diusung pemerintah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ada upaya memperlemah posisi buruh/pekerja melalui revisi UU Ketenagakerjaan dengan mendompleng Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Oleh karena itu, sangat wajar dan sudah seharusnya kaum buruh/pekerja kembali menggelorakan “perlawanan” dan penolakan atas pelemahan posisi buruh/pekerja dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tersebut. Terlebih Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tersebut, semangat pengaturannya bukan sekedar mereduksi upah minimum, mereduksi hak pesangon, dan fleksibilitas pasar kerja (outsourcing & PKWT diperluas), namun lebih parah lagi semangatnya juga mempermudah PHK (easy firing), mempermudah pekerja asing, dan mereduksi sanksi.
* Penulis adalah Advokat, Dewan Pakar Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Ketua Dewan Penasehat LBH DPP FSPMI, Anggota DPR RI periode 2009-2014.