Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Beberapa waktu lalu, sebelum munculnya polemik kebijakan penutupan sementara umrah kepada jamaah asal Indonesia, sebenarnya ada hal ribut yang hampir senada. Kala itu muncul kontroversi soal usulan 'senior saya' Ade Armando yang kini menjadi dosen UI. Sosok 'Mas Ade' (kami memanggilnya) sangat menarik. Apalagi dia pernah jadi mentor saya kala dia bekerja di Litbang Republika, Redaktur, bahkan sekaligus pernah menjadi kolumnis yang membahas soal 'media yang ramah kepada keluarga' di koran tersebut.
Pendek kata, saya pribadi punya semacam hubungan emosional. Jadi ketika terjadi keributan soal sosok Ade Armando di media sosial saya pribadi hanya mahfum dan tersenyun saja. Mas Ade memang begitu. Sikapnya memang 'acap kali ngotot' persis sikapnya ketika dahulu bersikukuh menganggap timnas sepakbola Belanda yang terbaik di ajang pesta piala dunia beberapa peridoe silam.
Ade Armando dalam soal kepergian ke tanah suci untuk haji dan umroh pernah mengeluarkan wacana agar Muslim Indonesia mulai mempertimbangkannya. Ketika bicara soal ini sontak dia mendapat kecaman riuh di media sosial. Dia terkena tuduhan mengusulkan melarang Muslim Indonesia pergi ke tanah suci dengan alasan masih banyak orang Indonesia yang miskin. Atas keriuhan ini dia kemudian mengklarifikasinya melalui tayangan yang dia unggah di Youtube.
Namun sekontroversial apa pun, soal larangan pergi ke tanah suci sebenarnya dalam sejarah Indonesia pernah terjadi. Bahkan, tak tanggung larangannya itu malah berupa fatwa haram pergi haji ke Makkah untuk sementara waktu.
Uniknya dengan pernyataan Ade, pernyataan larangan atau fatwa haram ke Makkah kala itu tak ada yang berani bantah. Bahkan, oleh Mukimin Indonesia yang saat itu berada di Makkah, Fatwa tersebut ditempelkan di berbagai tembok karena menjadi poster. Larangan ini di sana malah disambut dengan penuh semangat.
Mengapa larangan ke tanah suci kala itu disambut antusias? Jawabnya karena yang melarang itu adalah sosok KH Hasyim Asy'ari. Dia memang sempat mengeluarkan fatwa haram ke Makkah karena saat itu negara Indonesia dalam keadaan bahaya: diserbu akan dijajah kembali orang asing.
Fatwa itu menyatakan membela dan mempertahankan sekarang itu wajib, jadi berhaji bisa ditunda dulu. (Kalau ingin kisah lengkapnya silahkan membaca buku saya 'Tawaf Bersama Rembulan' yang diterbitkan Repubika dan tengah di-launching di ajang Islamic Book Fair di JHCC Senayan hingga Ahad besok (1/3).
Foto: Testomony Menko Polkam Prof DR Mahfud MD soal buku 'Tawaf Bersama Rembulan yang kini tengah di-lunching di ajang Islamic Book Faiar di JHCC Senayan, Jakarta, 26 Februari-1 Maret 2020.
Nah, beda dengan pernyataan 'Mas Ade Armando' yag banyak direspons negatif di publik Muslim Indonesia, karena fatwa berasal dari KH Hasyim itu maka tak ada seorang pun yang berani membantahnya, termasuk pihak pejabat kolonial Hindia Belanda. Sebab, beliau dipandang sebagai orang yang otoritatif pada sisi ilmu keagamaan. Pernah belajar di Makkah bersama KH Ahmad Dahlan dan sekaligus pendiri Jamiah Nahdatul Ulama. Hasyim Asy'ari adalah identik seorang maha guru atau Hadratus Syekh.
Sebagai hasilnya, fatwa itu pun ternyata ampuh sekali. KH Hasyim Asy'ari memang tidak mempersolkan kemiskinan yang dari dahulu hingga kini akut diderita umat Islam Indonesia sebagai penyebab timbul fatwanya. Dia tidak mengotak-atik soal ini sebagai 'ilat' untuk membuat fatwa bila kala itu tak boleh berhaji ke tanah suci. Dia hanya mempersoalkan atau mengambil 'ilat' karena negara dalam bahaya dan perang sehingga keselamatannya terancam secara serius.
Dan fatwa ini pun terkait juga dengan fatwanya yang lain yang memicu pertempuran pada 19 November 1945 di Surabaya. KH Hasyim Asy'ari waktu itu menerbitkan fatwa bahwa mempertahankan negara itu adalah jihad dan wajib dilakukan setiap pribadi Muslim: Cinta tanah air itu adalah sebagian dari bukti keimanan.
Apakah fatwa haram naik haji dari KH Hasyim Asyari efektif? Jawabnya ternyata benar adanya. Keinginan petinggi pemerintah Hindia Belanda Van der Plas yang mengeluarkan kebijakan memberi hadiah kepada tokoh ulama atau orang Islam tertentu di berbagai daerah --seperti Kalimantan-- pergi haji ke Makkah menjadi tak berarti. Impian Van Der Plas yang ingin menarik hati kaum Muslim agar bersedia menyokong berdirinya negara Indonesia timur dengan iming-iming hadiah pergi menunaikan rukun Islam kelima ke tanah suci, mengalami kegagalan.
Akibat fatwa KH Hasyim Asyari hadiah itu menjadi sepi peminat. Bahkan, para mukimin Indonesia yang ada di Makkah sempat enggan melayani mereka yang pergi haji karena mendapat hadiah dari Van Der Plas itu.