Perjalanan ke Kepulauan Seribu adalah ‘trigger’ setelah lama menjadi orang rumahan. Hampir dua tahun hanya ‘kuliah-pulang’, membuat hidup terasa standar saja. Sampai akhirnya saya membuka sebuah situs jejaring sosial dan menemukan thread ‘Trip Kepulauan Seribu’ dari Backpacker Community Jabodetabek, membuat hati rindu sensasi berpetualang.
Akhirnya, 11-13 Maret 2011, dengan trip ini saya akhiri masa ‘orang rumahan’ dan menjadi ‘orang yang tidak pernah di rumah’. Be Brave to explore yourself!
Pada hari Jum’at yang telah ditentukan, saya berangkat dari Bandung dengan dua teman yang baru berkenalan, Yanstri dan Tinton. Sesuai rencana, saya berangkat lebih awal menuju Stasiun Hall Bandung, satu-setengah jam lebih awal dari jadwal keberangkatan kereta Argo Parahyangan.
Namun, hingga 5 menit setelah kereta berangkat, teman-teman belum juga datang. Kami tertinggal kereta, hangus sudah tiket yang sudah dipesan. Akhirnya kami bertiga berangkat menggunakan bus menuju Jakarta. Awal yang tidak cukup bagus, tapi tidak membuat semangat turun, berusaha menjaga mood hingga akhir perjalanan.
Sampai di Jakarta sekitar pukul 11 malam (lupa tepatnya kami berhenti di mana). Kami bertemu dengan salah satu teman yang telah menunggu di meeting point. Tidak jauh berjalan, kami bertemu dengannya, Pak Suhendi.
Setelah menghubungi panitia acara dan mengetahui mereka berkumpul di Kota Tua, kami memutuskan untuk langsung menuju Muara Angke saja. Malam itu, kami tidak kesulitan mencari angkot menuju Muara Angke dari tempat itu. Berganti dua kali angkot dan akhirnya kami turun tepat di depan Polsek Muara Angke.
Suasana masih ramai meski jam sudah menunjukan pukul 01.00 dini hari. Pasar Ikan sudah ramai oleh penjual dan pembeli yang lalu-lalang. Saya dan Tinton berjalan mencari tempat untuk istirahat. Berjalan menjauhi keramaian pasar menuju pemukiman penduduk hingga akhirnya kami menemukan masjid dan memutuskan untuk istirahat di sana. Kami menggelar sleeping bag di pelatarannya dan segera tertidur pulas.
Menuju Pulau Kelapa
Pukul 4 pagi kami terbangun dan segera merapikan bawaan. Kami kembali menuju meeting point yaitu Polsek Muara Angke. Tidak lama menunggu, teman-teman yang berjumlah 20 orang akhirnya sampai dengan menggunakan angkot. Setelah berkenalan satu sama lain, kami bergerak menuju dermaga kapal.
Untuk menuju tempat kapal ditambatkan, kami harus melewati pasar ikan Muara Angke. Jalanan becek dan kotor tidak membuat kami heran. Dari jauh saja sudah tercium bau asin ikan. Pedagang yang menawarkan jualan tidak kami hiraukan. Tidak ingin berlama-lama, kami berjalan dengan cepat.
Kapal yang akan kami tumpangi langsung menuju Pulau Kelapa dan berhenti sekadar untuk menaikkan penumpang di beberapa pulau. Sebelum berangkat, kami diberikan life vest untuk mengantisipasi musibah yang mungkin terjadi.
Perjalanan menuju Pulau Kelapa sekitar 3-4 jam tergantung arus laut dan cuaca. Penumpang semuanya tertidur dan hanya beberapa yang berfoto-foto di geladak belakang. Saya pun tidak ketinggalan berjemur hingga kulit menghitam.
Sampai di Pulau Kelapa, kami disibukan dengan memindahkan bawaan ke dermaga. Cuaca sangat cerah membuat sinar matahari terasa sangat panas. Kami segera berjalan menuju tempat istirahat di pulau ini, yaitu rumah Pak Iman.
Di perjalanan saya membeli es buah untuk penyegar dan melupakan panas saat itu. Jalan yang kami lalui berupa paving block dan rumah warga di sisi kanan-kiri.
Kami makan siang di rumah Pak Iman dengan hidangan ikan dan sayur asem serta sambal yang tidak kalah hot. Setelah semua siap, kami bergerak ke dermaga dan kembali berperahu menuju Pulau Kayu Angin Bira, pulau kecil tujuan kami.
Perjalanan kali ini cukup singkat, hanya sekitar 1 jam perjalanan. Menggunakan kapal kecil kapasitas 25 orang, kami sesekali tersiram ombak yang menerjang.
Snorkeling di Pulau Bira Kecil
Pulau Kayu Angin adalah pulau tak berpenghuni yang luasnya hanya 500 meter persegi. Pantainya berpasir putih lembut dengan hutan di tengah pulau. Benar-benar terasa hanya kami yang berada di pulau ini.
Ketika sampai, kami harus berbasah-basahan untuk bisa ke daratan karena kapal tidak bisa bersandar terlalu dekat. Kami harus ekstra hati-hati karena banyak bulu babi di sela-sela karang. Dari atas kapal saja sudah jelas terlihat duri-duri hitam beracun mencuat.
Setelah mendirikan lima tenda di tepi pantai dan sebuah toilet darurat, kami kembali ke kapal untuk menikmati laut, snorkeling. Kami ke Pulau Bira Kecil yang masih dalam gugusan Pulau Bira. Memakai peralatan yang telah disediakan, kami satu-persatu berenang menikmati laut.
Arus laut sore itu cukup tenang membuat kami bisa dengan santai menikmati karang. Karang di pulau ini cukup bagus meskipun tidak terlalu jauh dari Jakarta. Saya berenang mengikuti Pak Iman menuju sisi pulau lain. Ia menjelaskan sedikit tentang jenis karang dan bintang laut.
Sesekali ia menyelam dan mengambil contohnya. Saya pun penasaran dan ikut menyelam hanya menggunakan google. Pengalaman pertama saya snorkeling di laut cukup menarik dan mengasyikan.
Menikmati malam di Pulau Kayu
Ketika sore menjelang kami kembali ke Pulau Kayu, bersiap untuk hidangan makan malam. Awalnya saya kira akan disuguhi dengan ikan mentah kemudian akan ber-BBQ ria, tapi ternyata yang dimaksud Pak Iman dengan BBQ ada ikan bakar yang siap dimakan. Acara batal tapi kami tetap saja makan sepuas hati. Acara makan-makan yang menyenangkan, sambil foto dan menikmati sunset tentunya.
Malam tiba, kapal sudah kembali ke dermaga Pulau Kelapa. Api unggun dinyalakan dan senter disiapkan. Langit sangat cerah, namun di ujung horizon terlihat sesekali kilat menyambar. Kami harap malam ini akan terus cerah.
Sambil berbincang mengelilingi api, kami menikmati malam itu. Suasana tepi pantai sungguh menenangkan pikiran. Suara ombak dan sesekali suara ayam terdengar dari dalam hutan. Lewat tengah malam, kami baru mengantuk dan bergerak ke tenda masing-masing.
Sekitar satu jam sebelum subuh, hujan turun tiba-tiba. Kami berharap air tidak pasang melewati batas dan mencapai tenda. Syukurlah, hujan tidak berlangsung lama tetapi awan mendung masih menggantung dan menutupi matahari terbit. Pagi itu matahari hanya tampak putih dan ombak tidak terlalu besar. Kami segera berbenah tenda dan packing. Tidak lupa sepotong roti dan susu menjadi sarapan pagi itu.
Pulau Bira Besar
Kapal datang, kami segera mengangkat bawaan dan memindahkannya. Kapal bergerak menuju Pulau Bira Besar dan bersandar di dermaga. Kali ini kami snorkeling cukup melompat saja dari atas dermaga. Hujan tadi pagi membuat arus laut dari arah timur cukup beras. Kami harus ekstra hati-hati agar tidak tergores karang. Karang di Pulau Bira sudah cukup rusak, mungkin karena kapal yang bersandar di dermaga menabrak karang di bawah laut. Tidak apa, saya masih bisa menikmati main air dan loncat dari atas dermaga.
Setelah semua selesai dengan kegiatan masing-masing, kapal bergerak menuju Pulau Pramuka, ibukota Kabupaten Kepulauan Seribu. Butuh sekitar satu jam setengah untuk sampai di pulau ini.
Kembali ke Muara Angke
Kami menunggu kapal menuju Muara Angke. Sambil menunggu, kami berkeliling pulau dan berfoto-foto. Di pulau ini terdapat rumah sakit, masjid, dan kantor pemerintahan. Sekitar jam 2 siang, kapal yang kami tunggu datang dan bergerak dengan muatan penuh.
Kami yang sudah kelelahan tertidur, tapi beberapa teman main kartu dan berteriak-teriak membangunkan penumpang lain. Merasa lengket karena uap air laut dan terik matahari, saya tidak bisa tidur. Setelah perjalanan pulang menuju Jakarta yang terasa lama, akhirnya kami sampai di Muara Angke. Sekitar jam 5 sore kapal merapat di dermaga.
Kali ini pasar tidak terlalu ramai oleh pedagang karena masih sore. Mungkin lepas tengah malam baru kembali ramai. Kami berjalan keluar dermaga dan disambut sopir-sopir angkot. Setelah menego harga yang sesuai, kami bergerak menuju halte busway terdekat. Perjalanan berakhir, tapi kami berempat masih harus kembali ke Bandung menggunakan kereta dari Stasiun Gambir.
Perjalanan singkat ini adalah awal dari perjalanan setahun ini. Singkat tapi merupakan titik awal kembali hidup dalam dunia jalanan, nomaden, kuliah-jalan. Setelah dua minggu dari trip ini, saya mendaki gunung Tampomas dan gunung-gunung lainnya.
Perjalanan boleh tertunda namun tidak akan berhenti dengan mudah. Hati selalu rindu menikmati indahnya alam ini. Pikiran terus terbayang pemandangan indah Indonesia. Dari perjalanan ini pula saya berkenalan dengan orang-orang ‘gila jalan’ yang sulit untuk disembuhkan. Rela untuk tidak sembuh lebih tepatnya.
Halim Ichsani
Anggota Backpacker Community
Rubrik ini bekerja sama dengan
Backpacker Community