Selasa 23 Oct 2012 06:00 WIB

Catatan Tinggal di Eropa (XIII) Transit

Penulis berada di Kota Amsterdam, Belanda
Foto: ppi
Penulis berada di Kota Amsterdam, Belanda

REPUBLIKA.CO.ID,Transit di Belanda merupakan sebuah peristiwa bersejarah bagi kami.  Begitu menginjak tanah airport Belanda sayapun berteriak dalam hati “Belanda kami datang, akan kami jajah engkau, akan kami kibarkan bendera merah putih di negaramu”. 

Ini merupakan balas dendam sejarah.  Masak hanya Belanda saja yang dapat menjajah Indonesia selama 350 tahun.  Kamipun dapat menjajah Belanda meskipun tidak selama itu.  Kami menjajah Belanda mulai jam tujuh pagi sampai jam sembilan malam.  Karena transit yang lama, maka kami betul-betul menjelajahi Belanda.  Kami telusuri Amsterdam sambil menunggu keberangkatan pesawat.  Ternyata menjajah Belanda itu berat.  Lha belum melakukan pertempuran apapun, kemana-mana kami terpaksa harus membawa kopor, tas punggung dan tas tenteng sendiri. 

Ketika kami berusaha untuk menitipkan barang bawaan kami di bandara, kami diminta oleh salah satu petugas yang tidak dapat tersenyum, menunjukkan kartu kredit untuk dapat mengakses tempat penyimpanan.  Kami melongo, mana kami punya?.  Yang kami punya hanya tekat untuk menyerang Belanda.  Dengan garangnya beliau menolak tegas barang bawaan kami.  Maka dengan tertatih-tatih kami menuju kereta api untuk menyerang kota Amsterdam. 

Sesampainya di stasiun Amsterdam Central, kamipun dengan gembira setengah berlari menuju peperangan di depan stasiun.  Kami tembaki (tentu saja dengan senjata tustel)  semua yang dapat kami lihat.  Klik… klik…  Kami kuasai semua tempat yang menarik dan kami tegaskan sebagai daerah jajahan dengan bukti … foto.   Setelah puas dengan takluknya daerah depan stasiun, maka dengan bangga dan noraknya saya kibarkan bendera merah putih.  Merdeka, merdeka….  

Kami mencoba menitipkan barang bawaan kami di stasiun tersebut sebelum menyerang daerah lain.  Lho ternyata sama saja, harus pakai kartu kredit.  Ternyata menjajah Belanda itu perlu perjuangan yang ekstra berat.  Maka dengan napas yang mulai kembang kempis, kami menuju seberang stasiun yang ternyata merupakan kanal (hasil dari membendung laut) dengan beberapa kapal terdapat disitu.  Sambil menyerbu gembira, kami mencoba menaklukkan kanal Belanda (salah satu dananya, ya dari menjajah Indonesia) yang terkenal diseluruh dunia itu meskipun harus membayar 14 euro. 

Dengan gagah berani kami ke loket untuk membeli tiket.   Ternyata kami menghadapi perlawanan sengit dari penduduk Belanda.  Salah satu petugasnya, bersikap gagah sambil bersidekap dan kaki dilebarkan, menghadapi kami sambil bilang kalau kopor yang kami bawa tidak boleh dimuat dalam kapal.  Mengingat perlawanan yang sengit itu, akhirnya kami mundur teratur dan bertahan ditepi kanal (padahal ini khan sumbangan nenek moyang kami).  Bukan karena kalah, tapi kami sudah tidak punya tenaga untuk membawa barang bawaan.  Memang berat nian menaklukkan Belanda (padahal luasnya hanya sebanding dengan Jawa Timur). 

Kami berlimapun berunding, bagaimana cara terbaik menjajah Belanda.  Akhirnya diputuskan kalau dari depan stasiun tidak bisa, maka sebaiknya kita serang dari belakang stasiun, siapa tahu Belanda akhirnya menyerah.  Maka dengan gagah bin payah, kami meneruskan perjuangan kami menarik kopor dan terbungkuk-bungkuk menggendong tas punggung.  Perlahan-lahan kami berjalan sambil mengamati daerah dan memahami perilaku musuh.  Ternyata di belakang stasiun ada kanal lagi dan ada beberapa kapal lagi.  Wajah-wajah kami mulai terlihat waspada dan kuyu. Kami (yang dimaksud kami itu adalah salah satu teman kami yang pandai berbahasa Inggris, bukan saya) tanyai salah satu petugas yang ada disana, apakah kami bisa menaiki kapal-kapal tersebut dengan membawa kopor.  Petugas tersebut dengan ramah menyilakan, dan kamipun bertanya berapa bayarnya?.  “Free” kata beliau.  Ha? Gratis?, maka dengan semangat 45  kami serbu kapal-kapal tersebut bolak-balik sambil menikmati pemandangan kanal dan gedung-gedung yang indah di Amsterdam. 

Jadi saran saya pada pasukan berikutnya, yang akan menyerbu Belanda melalui Amsterdam, jangan menyerbu dari depan stasiun, tapi serbulah ke belakang stasiun.  Silakan bolak-balik naik kapal, gratis, tis!.   Akhirnya Belanda menyerah.  Kami injak-injak tanah Belanda.  Kami jajah Belanda. Puas ……

Kami tidak sesombong dan seserakah Belanda yang menjajah terlalu lama di Indonesia.  Kami hanya menjajah selama 14 jam.  Selama waktu itupun, kami tidak memeras tenaga manusia (dengan kerja paksa) dan hasil bumi (dengan monopoli) Belanda.  Malah kami yang harus membiayai penyerbuan ini.  Namun itu sudah cukup memuaskan kami. 

Akhirnya kami putuskan untuk memberikan kemerdekaan pada Belanda.  Kami merupakan bangsa yang menghargai hak asasi manusia.  Salah satunya adalah keinginan untuk bebas merdeka.  Penyerahan kedaulatan kami lakukan di bandara Schiphol, Amsterdam dalam bentuk penyerahan tiket keluar Belanda.  Tiket kami serahkan pada petugas boarding supaya kami dapat melanjutkan perjalanan ke Portugal.  Namun ternyata perjuangan menghadapi Belanda belum berakhir.  Niat kami sebenarnya baik, mau meninggalkan Belanda secara terhormat dan kepala tegak.  Namun apa daya, ternyata petugas bandara Schiphol tidak rela kami berlalu dari Belanda dengan leluasa.  Mereka sepertinya trauma dengan penjajahan kami.

Setiap ada musuh dari manapun akan diperiksa dengan ketat.  Kamipun melalui pemeriksaan yang sangat ketat.  Saya tiga kali bolak-balik diminta untuk melalui pintu pemeriksaan.  Setiap kali masuk, selalu alarm tanda bahaya berbunyi.  Padahal senjata sudah saya serahkan baik-baik pada petugas.  Dimulai dari hp, dompet, koin, tustel.  Eh ternyata alarm masih berbunyi sewaktu saya masuk.  Maka dengan muka garang petugas meminta saya untuk balik lagi dan menyerahkan senjata yang tersembunyi.  Maka akhirnya sabuk saya serahkan.

Padahal sabuk itu saya gunakan untuk mengetatkan celana saya yang kedodoran.  Sambil memegang celana supaya tidak melorot, saya mencoba masuk ke pintu lagi dengan tabah.  Lho alarm masih berbunyi.  Maka dengan tidak sabar petugas menggerayangi seluruh badan saya, berharap menemukan senjata rahasia yang digunakan untuk menaklukkan Belanda.  Petugas meminta saya untuk keluar lagi dan meminta sepatu saya diserahkan dengan damai.  Saya kemudian mencoba masuk pintu lagi dan Alhamdulillah akhirnya alarmnya mau berkompromi untuk tidak berteriak lagi.  Teet………

Penulis: Wahyu Widodo, sekarang sedang Post Doctoral di Portugal atas biaya Erasmus Mundus

Rubrik ini bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia

sumber : PPI
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement