oleh:Prof. Dr. M. Suyanto
Ketua STMIK AMIKOM Yogyakarta
Dari Adda bin Khalid, dia berkata. Nabi Shallahu Alaihi Wassalam menulis kepadaku. “Ini adalah apa yang dibeli oleh Muhammad Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam dari Al Adda’ bin Khalid, jual –beli antara sesama muslim, tidak ada cacat, keburukan dan kerusakan”. Ibnu Hajar, menjelaskan berikutnya bahwa beliau menulis hal itu, padahal beliau termasuk orang yang tidak boleh dilanggar perjanjiannya.
Ini untuk memberi pengajaran kepada manusia.” Dia juga berkata, “Hukum perbuatan itu adalah mustahab (diskusi), karena betapa banyak transaksi tanpa perjanjian tertulis. Pada hadits ini terdapat keterangan untuk menulis nama orang yang bersangkutan, nama bapak dan nama kakek dalam suatu perjanjian, kecuali apabila orang yang bersangkutan dikenal dengan sifat tertentu. Oleh sebab itu, beliau Nabi Shallahu Alaihi Wassalam mengatakan ‘Muhammad Rasulullah ‘tanpa menyebutkan nasabnya, berbeda dengan Al Adda yang disebutkan beserta nasabnya.”
Selanjutnya Ibnu Hajar memaknai (jual – beli antara sesama muslim) adalah mengisyaratkan bahwa menipu bukan menjadi kebiasaan orang muslim. Faidah lain yang dapat dipetik adalah bolehnya memulai perjanjian dengan kalimat seorang penulis “hadza masytara” (Ini adalah apa yang dibeli) atau “ hadza ma ashdaqa” (Ini adalah apa yang disedekahkan), sedangkan (tidak ada cacat), maksdunya cacat yang tersebunyi, seperti rasa sakit pada hati si budak atau batuk.
Perkataan ini dikemukaan oleh Al Mutharrizi. Sementara Ibnu Al Manayyar mengatakan bahwa maksud tidak ada cacat.” adalah tidak ada cacat yang disembunyikan oleh penjual. Karena, apabila seorang budak memiliki penyakit tertentu, lalu si penjual memberitahukannya, maka transaksi tersebut tetap dinamakan jual-beli sesama muslim. Ringkasannya yang dimaksud dengan “tidak ada cacat”, adalah cacat atau aib yang tidak dapat diketahui oleh pembeli.
Ibnu Hajar menafsirkan (tidak ada keburukan), yaitu, budak tersebut bukan hasil rampasan dari kaum yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Demikian yang dikatakan oleh Al Mutharrizi. Sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah akhlak yang buruk, seperti suka melarikan diri dari majikan. Penulis kitab Al Ain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah “keraguan”, Ada pula yang berpendapat maksudnya adalah “haram”, sebagaimana “halal” diungkapkan dengan kata “thayyib” (baik). Ibnu Al Arabi mengatakan bahwa kata Ad-Daa’ adalah cacat jasmani, sedangkan Al Khibtsah adalah cacat rohani. Lalu maksud kata ghaa’ilah adalah diamnya penjual atas apa yang dia ketahui tentang sesuatu yang tidak disukai pada barang yang dijual. (dan tidak ada kerusakan).
Dikatakan “kerusakan” di sini adalah sifat suka melarikan diri dari majikan. Sementara Ibnu Baththal berkata, “Lafazh Ghaa’ilah berasal dari perkataan ‘ightaalani fulan’ (fulan memperdayakanku), yaitu apabila ia melakukan tipu muslihat yang dapat merusak / merugikan hartaku.”
(Qatadah berkata… dan seterusnya) Riwayat ini disebutkan dengan sanad yang maushul oleh Ibnu Mandah melalui jalur Al Ashma’I dari Sa’id bin Abi Arubah, dari Qatadah. Ibnu Qurqul berkata, “Secara zhahir Qatadah menafsirkan kata khibtsah dan ghaa’ilah sekaligus.”
Selanjutnya, (menamakan ariyya) oleh Ibnu Hajar ditafsirkan dari kata ariyya artinya adalah tempat perkumpulan hewan ternak. Ada pula yang mengatakan makanan ternak, tapi pendapat ini ditolak oleh Al Anbari. Sebagian mengatakan bahwa ariyya adalah tali yang ditimbun dalam tanah, lalu ujungnya dimunculkan untuk mengikat hewan, dimana arti dasarnya adalah menahan dan menetap. Dikatakan ta’arra ar-rajulu bil makaan, artinya laki-laki itu telah menetap di suatu tempat.?
www.amikom.ac.id