Kendaraan memerlukan tempat pemberhentian sekadar mengisi bahan bakar, mengecek angin saat menempuh perjalanan. Terlebih, perjalanan untuk menuju tempat yang diidamkan. Menjaga energi agar bisa sampai dengan selamat di tujuan menjadi prioritas.
Begitu pula hidup ini. Ibaratnya sebuah perjalanan menuju negeri akhirat yang diidamkan. Perjalanan hidup tak semulus jalan tol. Kesedihan, air mata, hingga nyawa diuji di tengah perjalanan. Fisik dan psikis ibarat kendaraan tadi memerlukan pemberhentian sebentar untuk mengisi bahan bakar.
Buku ini semacam pos-pos pemberhentian untuk ruhani dalam mengambil kembali energi-energi positif menuju surga Allah. Buku kecil tersebut membawa kita pada perenungan-perenungan keseharian. Penulis cukup piawai mengambil diksi untuk mengajak bertamasya bersama ke taman perenungan, bukan menggurui.
Bahasan-bahasan yang ringkas per tulisan membuat mudah untuk mengambil segenggam pelajaran. Yang menjadi ciri khas, uraian dimulai dengan kisah-kisah sirah nabawiyah atau generasi sahabat dan tabiin. Semua orang menyukai kisah dan cerita. Hingga kisah-kisah keseharian, semisal feature dalam dunia jurnalisik. Kemudian, dibalut dengan penjelasan-penjelasan yang seolah mengajak pembaca untuk berdialog.
Seperti halnya kisah tentang kampung akhirat. "Maka, seperti Ka’ab Al Akhbar yang berkata, ‘Barang siapa ingin menggapai kemuliaan di akhirat, hendaklah ia banyak merenung agar menjadi bijak, ridha dengan makanannya hari ini agar merasa cukup. Dan hendakah ia menangis setiap kali ingat kesalahan-kesalahannya agar itu bisa menjaganya dari jilatan api neraka,’ Adakah tujuan akhir yang lebih akhir dari kampung akhirat?" (hlm 141)
Atau, juga kisah Umar bin Abdul Azis yang sesenggukan menjelang akhir hayatnya. Bukan merisaukan tentang akhir kehidupan, melainkan merisaukan adakah ia sudah menunaikan amanah dengan baik. Ataukah, ia kelak akan tergugu di pengadilan Allah saat ditanya tentang amanah memimpin rakyat. "Umar bin Abdul Azis yang menangis dan terus menangis itu hanyalah satu contoh dari kisah ‘orang-orang risau’. Ya, orang-orang yang selalu waktu untuk merasa risau, gundah, dan khawatir." (hlm 64)
Total ada 32 tulisan ringkas yang dihimpun buku ini kesemuanya memiliki benang merah tentang bekal menuju negeri akhirat. Beberapa tema yang diulas, antara lain, ada saatnya perjalanan ini terhenti agar esok kita tak sampai menyesal, melangkahlah terus di atas jalan ketaatan, dan merangcang stasiun-stasiun kenangan.
Buku tersebut tepat sebagai teman untuk refleksi hidup. Melihat kembali perbekalan-perbekalan yang kita bawa menuju negeri kekal nan abadi. Cukupkah atau sudah terbuang percuma saat menapaki awal perjalanan. Barangkali dengan buku ini ada bekal-bekal yang kembali terisi. Karena, sedetik yang lalu merupakan masa yang tak bisa dilongok balik. Seperti halnya buku ini, hidup tak mengenal siaran tunda. ed: hafidz muftisany
Judul : Hidup Tak Mengenal Siaran Tunda
Penulis : Ahmad Zairofi
Penerbit : Tarbawi Press
Tebal : viii + 218 hlm