Isu Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT) kembali memunculkan perbincangan tentang bagaimana struktur fisik seorang transgender. Beberapa kalangan transgender pernah melakukan operasi alat kelamin demi 'menuntaskan' perubahan bentuk fisiknya.
Pertanyaannya adalah, apakah seseorang diperbolehkan mengubah alat kelamin? Ada dua hal yang harus dibedakan dalam soal ini. Pertama jika dia seorang lelaki kemudian ingin mengubah alat kelamin menjadi perempuan atau sebaliknya maka hal ini disebut penggantian alat kelamin.
Kedua jika hal ini dilakukan seorang khunsa atau orang yang berkelamin ganda, maka disebut penyempurnaan alat kelamin. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat membedakan hukum keduanya.
MUI menghukumi penggantian kelamin dari perempuan menjadi alat kelamin laki-laki dan sebaliknya dengan hukum haram. Penetapan hukum haram juga dilakukan untuk perbuatan yang membantu orang tersebut mengganti kelaminnya.
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih, larangan terhadap sesuatu juga merupakan larangan terhadap sarana-sarananya. Kedudukan hukum syara jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi ganti kelamin adalah dinilai sama dengan jenis kelamin sebelum operasi. Meskipun misalnya penggantian tersebut sudah mendapat penetapan pengadilan.
MUI mendasarkan keputusan ini sesuai dengan firman Allah SWT, "(Tetapkanlah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada pengubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS ar-Rum [30]: 30)
Intinya manusia dilarang untuk mengubah apa yang diciptakan oleh Allah SWT. Fitrah manusia sebagai lelaki maka ia tidak bisa mengubahnya menjadi perempuan. Secara lebih rinci dan tegas, hadis dari Abdullah Ibnu Mas'ud RA ia berkata, "Allah SWT melaknat orang perempuan yang memakai tato dan yang meminta membuat tato, memendekkan rambut, serta yang berupaya merenggangkan gigi supaya kelihatan bagus yang mengubah ciptaan Allah." (HR Bukhari)
Dalam hadis lain dari Abdullah bin Abbas RA ia berkata, "Rasulullah SAW melaknat kaum laki-laki yang menyerupakan diri dengan perempuan dan perempuan yang menyerupakan diri dengan laki-laki." (HR Bukhari).
Makna dari hadis di atas sudah sangat jelas. Perbuatan meniru dan menyerupakan saja dilarang, apalagi sampai mengubah total menjadi alat kelamin yang berbeda.
Sementara bagi khunsa, penetapan hukumnya berbeda. Khunsa secara istilah adalah seseorang yang diragukan jenis kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan. Penyebabnya, ia memiliki dua alat kelamin, yakni laki-laki dan perempuan, atau tidak memiliki alat kelamin sama sekali.
Para ulama fikih memberi penjelasan, jika pada seorang khunsa tampak tanda keluarnya mani, ada tanda kemampuan menghamili, atau keluarnya kencing dari alat kelamin laki-laki, maka ia digolongkan laki-laki dan hukum yang dijatuhkan kepadanya seperti laki-laki.
Jika seorang khunsa ada tanda-tanda haid atau tanda kehamilan, maka ia dikatakan sebagai perempuan dan hukum yang dibebankan padanya seperti seorang perempuan. Kedua ciri ini adalah golongan khunsa ghairu musykil. Sementara, jika tidak tampak ciri-ciri keduanya, maka ia dimaksudkan sebagai khunsa musykil.
Menurut MUI, penyempurnaan alat kelamin bagi seorang khunsa yang fungsi salah satu alat kelamin lebih dominan daripada yang lain hukumnya boleh. Proses membantu penyempurnaan alat kelamin bagi seorang khunsa juga diperbolehkan.
Namun MUI memberi catatan, proses penyempurnaan alat kelamin seorang khunsa selain harus mendapatkan pertimbangan dari sisi psikis juga harus mendapatkan pertimbangan dari sisi medis. Mana alat kelamin yang dominan secara psikis maupun fungsi tubuh itu yang dijadikan acuan operasi.
Secara hukum syara, MUI menetapkan seorang khunsa yang melakukan penyempurnaan alat kelamin dinilai berkelamin sesuai kondisi pascapenyempurnaan. Meskipun penyempurnaan itu belum mendapat pengesahan dari pengadilan.
Soal penggantian dan penyempurnaan alat kelamin ini, MUI memberikan rekomendasi agar Kementerian Kesehatan RI membuat aturan pelarangan terhadap operasi penggantian alat kelamin. Selain itu diperlukan pengaturan pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin dengan menjadikan fatwa MUI di atas sebagai pedoman.
Selain itu organisasi profesi kedokteran diminta membuat kode etik kedokteran terkait larangan praktik operasi penggantian alat kelamin serta pengaturan operasi penyempurnaan alat kelamin.
Mahkamah Agung juga diminta agar memberikan edaran kepada para hakim agar tidak mengesahkan pergantian alat kelamin dengan cara yang dilarang dalam agama. Ulama dan psikiater juga diminta aktif melakukan pendampingan terhadap seseorang yang memiliki kelainan psikis agar memiliki perilaku seksual yang normal. Oleh Hafidz Muftisany