Ulama-ulama Indonesia terdahulu tidak sedikit yang belajar ke Kota Makkah untuk mendalami agama Islam. Bertahun-tahun mereka menimba ilmu di kota kelahiran Nabi SAW tersebut. Setelah cukup mempunyai bekal, mereka pulang ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang rahmatanlilalamin.
Di antara ulama Indonesia yang belajar di Makkah tersebut adalah KH Noer Ali, seorang ulama yang mendapat gelar pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 lalu. Ketokohan Kiai Noer Ali telah diakui oleh dunia internasional dan nasional. Bahkan, oleh masyarakat dia dijuluki sebagai Singa Karawang dan Bekasi atau Macan Bekasi karena perjuangannya.
Setelah pulang dari Makkah pada tahun 1940, Kiai Noer Ali kemudian berusaha mendirikan pesantren di kampung halamannya yang bertujuan untuk memajukan umat dari keterbelakangan yang mereka alami. Kiai Noer Ali berkeyakinan bahwa kemajuan umat tidak akan dapat dicapai kecuali hanya dengan pendidikan.
"Kiai Noer Ali ingin membentuk kampung surga. Jadi, memang dulu sejarahnya ketika beliau pulang dari Makkah, di kampung ini masih terkenal dengan hiburan-hiburan yang negatif," kata Sekretaris Biro Hukum Pondok Pesantren Attaqwa Muhtadi Muntaha, Selasa (8/3).
saat itu, pendidikan di kampung Oejoeng Malang yang kini bernama Ujung Harapan masih sangat ketinggalan sekali. Tidak ada sebuah sekolah pun di kampung tersebut. Didorong oleh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT, akhirnya pada tahun 1956 Kiai Noer Ali berhasil mendirikan Yayasan Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (YP3). "Jadi, semua tata hidup yang negatif dulu itu, dengan perjuangan kiai diubah menjadi kampung surga," ujar Muhtadi
Pada 17 Desember 1986, yayasan yang berada di Kampung Ujung Harapan, Desa Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, tersebut lalu diganti namanya menjadi Yayasan Attaqwa atau Pondok Pesantren Attaqwa.
Muhtadi mengatakan, ada perbedaan antara pesantren lain dengan pesantren yang didirikan oleh Kiai Noer Ali tersebut. Santri yang menempuh tingkat tsanawiyah dan aliyah dalam pesantren ini dipisah dengan adanya pesantren putra dan pesantren putri.
"Jadi ada pondok pesantren Attaqwa pusat putra dan pondok pesantren Attaqwa pusat putri. Jaraknya kira-kira 500 sampai 700 meter. Ini yang tidak pernah digabung dari zaman didirikannya pesantren," jelas dia.
Dalam membangun pesantren ini, Kiai Noer Ali juga mempunyai ciri khas tersendiri karena beliau tidak berada di dalam pesantren terus tapi berbaur dengan masyarakatnya. Karena itu, kata Muhtadi, pesantren putra ini terbuka untuk orang kampung atau masyarakat. "Jadi, beliau membangun semacam masyarakat madani karena Kiai tidak tok di dalam. Kalau ada acara di luar, (Kiai) pasti hadir dan membumi," ujarnya.
Menurut Muhtadi, pengurus masjid, desa, dan pengurus kecamatan di sekitar pesantren juga berjalan seirama. Bahkan, kata dia, kepala desa tidak mungkin mengeluarkan kebijakan lokal tanpa berkoordinasi lebih dulu dengan Yayasan Attaqwa.
Muhtadi mengatakan, Kiai Noer Ali juga telah membangun masyarakat madani melalui mushala, yang juga terpusat di Attaqwa. Masjid Attaqwa tersebut memiliki cabang-cabang mushala. Saat ini, sudah ada sekitar 70-an mushala yang berada di bawah naungan Masjid Attaqwa.
"jika mau ada kegiatan apa pun, ada urun rembuk oleh mushala-mushala ini. Dan kita juga terkenal dengan Betawi yang santri dan jawara yang santri di blok Bekasi sini," jelas dia.
Dalam hal kesenian, misalnya, kata Muhtadi, ketika dibandingkan dengan Bekasi yang bagian selatan atau Cikarang, akan tampak perbedaannya. "Ketika berbicara Islam di Bekasi, ya di sini pusatnya. Jadi punya kekhususan tersendiri di kampung ini. Itu buatan Kiai Noer Ali zaman dulunya," ucapnya.
Kiai Noer Ali berharap agar santri-santrinya menjadi kader umat yang benar, pintar, dan terampil. Jadi, kata Muhtadi, jangan sekali-sekali santri Kiai Noer hanya pintar tapi tidak benar. "Itu prinsip kiai. Jadi lebih baik benar dulu baru pintar. Kalau pintar enggak benar, nanti dia jadi pejabat yang korupsi," kata Muhtadi.
Kiai Noer Ali juga dikenal dengan sosok yang moderat. Karena itu, para santrinya dipersilakan untuk menempuh berbagai profesi, yang penting tujuannya karena Allah SWT. "Apa pun pintu-pintu profesi, silakan ditempuh. Yang penting ingat satu, yaitu garis agama, Tuhan," ujar dia.
Saat masa penjajahan, Kiai Noer Ali juga mendapat julukan dari orang Belanda, yaitu Si Belut Putih. Julukan tersebut ditujukan kepadanya karena sangat sulit ditangkap oleh pasukan Belanda. Seperti misalnya saat dia memasuki masjid, orang Belanda akan menunggui sandal Kiai Noer Ali dengan menggunakan senjata. Tapi, orang belanda tersebut tidak akan mengetahui kalau Kiai Noer Ali sudah pergi dari masjid tersebut
"Jadi ada ada keunikan tersendiri, tapi bukan mistik. Artinya, ya mungkin ada taktik dari Pak Kiai, cuma mungkin juga karena kebesaran Tuhan, karena itu dia dijuluki Belut Putih," jelas Muhtadi.
Saat ini, sudah ada ratusan ribu santri yang telah lulus dari Pesantren Attaqwa, dan dalam berperan di kehidupan masyarakat selalu bermanfaat untuk lingkungannya, rata-rata ada yang menjadi pejabat, kiai, dan sebagainya.
Dalam membangun pendidikan, Pondok Pesantren Attaqwa mempunyai dua perguruan tinggi, yaitu perguruan tinggi modern Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Attaqwa dan perguruan tinggi tradisional Pesantren Tinggi Attaqwa (PTA), yaitu perguruan tinggi yang khusus mempelajari kitab klasik pesantren.
Pelajaran kitab klasik tersebut terus dipertahankan oleh penerusnya yang menjadi pengasuh pondok pesantren tersebut karena PTA termasuk peninggalan Kiai Noer Ali yang membedakannya dengan perguruan tinggi yang lain. "Kitab kuning tidak boleh ditinggalkan karena kultur kiai juga kultur NU meski beliau tidak di struktur. Kiai Noer ini unik. Kulturnya dan ubudiyah NU, tapi bukan orang struktur NU Pak Kiai itu," kata Muhtadi.
Animo masyarakat untuk belajar di pesantren tertua di bekasi ini selalu membeludak setiap tahunnya, sehingga dengan tidak mengiklankannya pun sudah banyak santri yang ingin belajar di Pondok Pesantren Attaqwa.
Sejak tahun berdirinya sampai dengan sekarang, Yayasan Attaqwa kini telah mengelola 36 TK, 62 MI, 1 SDIT, 23 MTs, 13 SMP, 7 MA, 3 SMU, 1 STM, 1 SMK, Pesantren Tinggi Attaqwa (PTA) dan sekolah tinggi agama Islam (STAI). c39, ed: Hafidz Muftisany