JAKARTA -- Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, meminta peserta didik sekolah kedinasan meninggalkan budaya kekerasan. Budaya yang harus ditanamkan adalah budaya kekeluargaan, kebersamaan, yang penuh kasih sayang antara siswa senior dan juniornya.
"Masa depan itu adalah keberadaban yang penuh kekeluargaan, kebersamaan, dan kasih sayang," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (12/1).
Menhub tidak akan segan untuk memberhentikan taruna senior yang melakukan kekerasan. Dosen dan pengelola sekolah juga akan ditindak tegas bila terlibat kekerasan.
Seharusnya, para taruna memiliki sikap yang tidak hanya tegas, tapi juga pandai berdialog, ramah, dan bersahabat. Mereka juga harus murah senyum.
Menurut dia, kemampuan itu perlu dimiliki karena para taruna nantinya menjadi duta Indonesia yang bekerja, baik di dalam maupun luar negeri. Mereka diharapkan memberikan kesan yang baik di mata dunia.
Budi berpesan kepada para taruna untuk menjadi sukses bukan dengan cara jago-jagoan. Ia yakin jika kebiasaan buruk di sekolah dapat diubah, para taruna akan membanggakan bangsa dan negara.
Anggota Komisi X DPR, Miryam S Haryani, menilai kekerasan yang berujung pada meninggalnya taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) sering terjadi di Indonesia. Anehnya, kejadian seperti itu terjadi pada sekolah kedinasan yang dibiayai negara.
''Pemerintah harus meninjau ulang kehadiran sekolah kedinasan, evaluasi menyeluruh harus dilakukan. Ini mutlak diperlukan karena jangan sampai nyawa dianggap sesuatu yang murah sehingga dengan gampangnya dipermainkan,'' ucap Miryam dalam siaran persnya.
Ia meminta ada evaluasi, baik dari manajemen pendidikan, keberadaan sekolah, maupun sistem pengajaran yang berlangsung. Kekerasan ini jangan sampai memunculkan kesan bahwa uang negara seakan halal untuk digunakan menghilangkan nyawa orang lain.
Berani laporkan kekerasan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengimbau siswa tidak takut melaporkan dugaan atau potensi kekerasan di sekolah. Ini terkait kejadian penganiayaan hingga kematian yang terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta Utara.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, pihaknya berharap semua siswa yang mengetahui apalagi melihat potensi ataupun aksi kekerasan di sekolah untuk tidak takut melaporkannya kepada pihak sekolah atau aparat hukum. Bila potensi kekerasan bisa dilaporkan lebih awal, menurut dia, kejadian yang menimbulkan jatuhnya korban jiwa dapat dicegah.
Pihaknya juga meminta pengelola sekolah tidak menutupi kasus dan membuka akses bagi aparat kepolisian untuk investigasi. Aparat sudah mengantongi beberapa kesaksian dalam kasus ini.
Saksi jangan sampai diintimidasi. Sebab, hak-hak saksi dilindungi undang-undang. Apalagi, dalam kasus ini, para saksi masih remaja.
Sesuai peraturan perundang-undangan, saksi berhak mendapatkan perlindungan dan identitasnya dilindungi. Pihak sekolah juga harus mampu menjamin keamanan dan kelangsungan mereka dalam menempuh pendidikan di STIP.
"Jangan sampai ada pihak tertentu yang mengintervensi mereka agar tidak bersaksi dengan ancaman tidak bisa melanjutkan pendidikan," ujar dia.
Taruna STIP tingkat 1, Amirulloh Adityas Putra (18 tahun), meninggal dunia setelah dikeroyok beberapa orang seniornya. Pengeroyokan terjadi di STIP, Jalan Marunda Makmur, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
Penganiayaan terjadi di Gedung dormitory ring 4 STIP, kamar M, nomor 205, lantai 2, pada Selasa (10/1) sekitar pukul 22.30 WIB. Diduga korban dikeroyok oleh empat seniornya, yaitu SM (20), WH (21), IS (22), dan AR (20).
Kasus tersebut bermula saat para siswa selesai mengikuti kegiatan drumben pada pukul 17.00 WIB. Kemudian, salah satu pelaku mengajak pelaku lainnya untuk "memberi pelajaran" kepada juniornya.
Mereka diduga menganiaya enam orang, termasuk korban. Para pelaku memukul dengan menggunakan tangan kosong secara bergantian yang diarahkan ke perut, dada, dan ulu hati. Korban yang menerima pukulan bertubi-tubi lantas jatuh pingsan. Saat diperiksa dokter piket STIP, korban sudah tidak bernyawa. rep: Eko Supriyadi, Amri Amrullah/antara, ed: Erdy Nasrul