Bank Indonesia (BI) melihat ada kecenderungan peningkatan debt service ratio (DSR) atau rasio total pembayaran bunga dan cicilan pokok utang terhadap penerimaan ekspor. Kenaikan DSR dipengaruhi melonjaknya utang luar negri (ULN) oleh swasta.
Gubernur BI Agur Martowardojo mewanti-wanti pihak swasta agar lebih berhati-hati dalam berutang. Kehati-hatian ini, kata Agus, sebagai antisipasi apabila bank sentral Amerika Serikat atau the Fed memutuskan untuk melakukan normalisasi (menaikkan suku bunga).
Bila hal itu terjadi maka akan berdampak pada debitur-debitur dalam negeri yang melakukan pinjaman luar negeri. Pasalnya, beban utang bisa bertambah seiring dengan menguatnya dolar dan melemahnya mata uang rupiah.
"Prinsipnya agar dilakukan pengelolaan dengan hati-hati. Hindari adanya risiko karena perubahan nilai tukar, risiko karena jangka waktu yang berbeda dan juga resiko karena variabel dibandingkan dengan fix rate," kata Agus ditemui di JCC, Senayan (28/8).
Utang luar negeri pada Juni mencatatkan kenaikan menjadi 284,9 miliar dolar AS, meningkat 8,6 miliar dolar AS atau 3,1 persen dibandingkan posisi akhir kuartal I 2014. Utang swasta masih menjadi penyebab kenaikan utang.
Peningkatan ini membuat DSR pada Juni 2014 meningkat dari 46,42 persen pada kuartal I 2014 menjadi 48,28 persen. "DSR cukup berbahaya. Hampir 50 persen. Padahal, level aman 30 persen," ujar Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual, Rabu (20/8).
Peningkatan ini salah satunya disebabkan pendeknya waktu jatuh tempo pinjaman trade financing. Selain itu, belum pulihnya ekspor mineral juga mengganggu penerimaan. Menurut Agus, BI akan segera mengeluarkan peraturan supaya swasta melakukan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan ULN. Hanya saja, kata dia, aturan ini melalui pembatasan jumlah utang terhadap ekuitas (kekayaan bersih).
"Bukan (DER). Nanti akan ada aturan yang untuk meyakinkan kehati-hatian dalam pengelolaan ULN yang dapat diterapkan," kata Agus tanpa merinci lebih jauh. Sebelumnya, Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih kepada Republika meragukan kemampuan bank untuk mengatur utang luar negeri swasta nonbank.
"Saya ragu apakah BI bisa mengatur utang luar negeri swasta yang nonbank. Kalau perbankan, BI memang harus dimina persetujuan jika ingin berutang di luar negeri," ujarnya. Sejauh ini kewenangan BI hanya mengimbau agar ULN yang ada dilaporkan. Upaya ini agar semua utang terdata dengan lebih baik.
Lana menambahkan, BI pun belum punya wewenang agar pihak swasta melakukan hedging (lindung nilai). Meskipun BI memungkinkan untuk mewajibkan hedging bagi perbankan. Pihak swasta hanya mau melakukan hedging jika pemerintah memberikan insentif tertentu. "Hanya pemerintah yang bisa melakukan pembatasan ULN," kata Lana.
Lana mencontohkan, perusahaan yang memiliki pendapatan dalam rupiah semestinya tidak dibiarkan berlebihan dalam ULN agar DSR menjadi kecilrep:meiliana fauziah ed: teguh firmansyah