JAKARTA — Kekhawatiran naiknya suku bunga the Federal Reserve (the Fed) membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah. Dalam Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Kamis (18/9) tembus Rp 12.030 per dolar AS, melemah dibandingkan hari sebelumnya yang ditransaksikan pada Rp 11.908 per dolar AS.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo mengatakan, dinamika nilai tukar masih sejalan dengan fundamental ekonomi Indonesia. "Kita juga tahu ada fundamental luar negeri, kemarin sudah ada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC)," ujar Agus, Kamis (18/9).
Dalam pertemuan tersebut, Bank Sentral Amerika Serikat the Fed memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga. Kendati demikian, the Fed memproyeksikan tingkat bunga atau Fed Fund Rate akan berubah dari 1,125 persen menjadi 1,375 persen. Kondisi tersebut direspons oleh investor. Beberapa mengurangi portofolio yang sifatnya panjang dikonversi kepada yang pendek.
Agus mengatakan, pelemahan nilai tukar di Indonesia masih suatu hal yang wajar. Kondisi tersebut sudah diantisipasi oleh BI sejak enam bulan sebelumnya.
Selain itu, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan periode tapering off stimulus moneter AS akan berakhir. Dengan berakhirnya periode tersebut, muncul periode baru, yakni kenaikan suku bunga the Fed. "Prediksinya kenaikan suku bunga, yakni pada 2015," ujarnya.
Hal tersebut membuat tekanan di negara berkembang, terutama di Indonesia yang pasar valasnya masih dangkal. Selain pasar valas yang dangkal, tekanan juga disebabkan oleh defisit transaksi berjalan yang cukup tinggi. "Kita lebih parah karena gabungan itu. Kondisi makro kurang baik dibanding negara lain," kata Mirza.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan isu normalisasi kebijakan moneter dari the Fed menyebabkan kekhawatiran dari para pelaku pasar keuangan dan mendorong terjadinya pelemahan rupiah terhadap dolar AS. "Saya kira isunya bukan lagi current account, melainkan concernnormalisasi kebijakan Amerika Serikat," ujar Chatib.
Chatib menjelaskan negara-negara yang masuk fragilefive, termasuk Indonesia, sedang menghadapi risiko dari normalisasi kebijakan the Fed karena berpotensi menyebab kan dana asing keluar dari negara berkembang. Menurutnya, potensi terjadinya volatilitas di Indonesia sangat tinggi karena arus modal asing masuk cukup deras setelah investor melihat Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang me miliki stabilitas politik dan fundamental ekonomi baik.
"Kalau capital inflow banyak, makin besar risiko untuk return. Akan tetapi, kalau tidak banyak (kepemilikan asing) dalam portofolio, yang keluar juga tidak terlalu banyak," katanya.
Indonesia, kata Chatib, harus menyi- apkan diri agar dana asing tidak keluar terlalu tinggi dan mata uang rupiah tidak lagi bergejolak dalam menghadapi respons pelaku pasar. "Kita perkuat pasar domestik agar tidak bergantung dari foreign flow. Saya sudah bicara soal dana haji dan BPJS serta meminta pak Robert (Dirjen Pengelolaan Utang) untuk melakukan diversifikasi sumber pembiayaan.
rep:satya festiani ed: nidia zuraya