Rabu 23 Nov 2016 16:00 WIB

UMKM Hadapi Tiga Masalah untuk Go International

Red:

JAKARTA -- Peran sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam aktivitas ekspor Indonesia masih sangat minim, yakni 15,8 persen. Angka tersebut masih kalah dengan negara lain di Asia Tenggara.

Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan, ada tiga hal yang menghambat produk UMKM nasional menembus pasar ekspor. "Pertama, berbelitnya izin ekspor," katanya kepada Republika, di Jakarta, Selasa (22/11). Ikhsan menegaskan, itu bukan karena buruknya kualitas atau standar produk UMKM Indonesia.

Penyebab kedua, minimnya saluran pemasaran di luar negeri juga menghambat produk UMKM Indonesia menembus pasar global alias go international. Ikhsan berharap pemerintah membuka jalur pemasaran menembus pasar global bagi produk UMKM nasional. Meski pasar lokal sendiri diakuinya masih belum tergarap dengan baik untuk produk UMKM.

Penyebab ketiga atau terakhir yaitu minimnya kemampuan sumber daya manusia (SDM) untuk mengikuti pasar luar negeri, terutama kemampuan untuk memenuhi jumlah kapasitas produksi sesuai permintaan pasar ekspor dan kontinuitas. "Permintaan pasar dari luar negeri besar, kemampuan produksi kita kurang, akibatnya perlu modal untuk produksi," kata Ikhsan.

Sayangnya, ia melanjutkan, pada saat yang bersamaan, sektor ekonomi kreatif kesulitan untuk mendapatkan penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) dengan syarat harus adanya jaminan. Menurut Ikhsan, produk UMKM yang banyak menyumbang nilai ekspor Indonesia diakuinya kebanyakan adalah mebel, handycraft, dan komoditas pertanian.

Sebelumnya, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Rosan P Roeslani menyebutkan, kontribusi UMKM terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) sebesar 59 persen dan kontribusi terhadap ekspor Indonesia pada 2015 sekitar 15,8 persen. Sedangkan, kontribusi UMKM terhadap ekspor di Thailand mencapai 29,5 persen dan Filipina 20 persen.

Adapun akses sektor UMKM ke rantai nilai pasok produksi global juga masih minim, yakni hanya 0,8 persen. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku UMKM tidak memiliki informasi dan akses ke pasar global.

Menurut Rosan, pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu memperkuat peran UMKM di dalam negeri dengan meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. "Kendala ekspor juga karena itu (peran UMKM—Red). Jadi, kita lihat tiga hal, konsistensi kualitas, kuantitas, dan administrasi, dan pengenalan teknologi," katanya.

Praktisi keuangan syariah Mohammad B Teguh menilai Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki potensi besar dalam mengembangkan sektor UMKM kreatif. Label halal tourism yang disematkan kepada Lombok, menurut dia, menjadi modal utama dalam kemajuan sektor UMKM kreatif di Pulau Seribu Masjid tersebut.

"UKM NTB strategis karena dapat halal tourism dan diakui dunia internasional, meskipun gaungnya harus lebih disosialisasikan," kata Teguh. Menurut dia, permasalahan para pelaku UKM kreatif di Lombok tak berbeda dengan kota lain, yakni pada pola pikir.

Teguh mengatakan, kebanyakan belum bisa memisahkan keuangan pribadi dan usaha. Bahkan, terkadang pelaku UMKM hanya memikirkan omzet semata, bukan profit. Karena itu, ia mengajak para pelaku UMKM untuk memiliki laporan keuangan yang jelas dan tidak campur aduk dengan keuangan pribadi.      rep: Melisa Riska Putri, Muhammad Nursyamsi, ed: Citra Listya Rini

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement