Jumat 22 Jul 2016 17:00 WIB

FOKUS PUBLIK- Operasi Militer Lebih Disukai

Red:

JAKARTA — Penyanderaan warga negara Indonesia (WNI) oleh kelompok separatis Abu Sayyaf kembali terjadi. Kali ini sebanyak tujuh orang WNI yang bekerja sebagai anak buah kapal ditawan kelompok tersebut.

Ini bukan penyanderaan yang pertama. Pada Maret lalu, sebanyak 10 orang WNI disandera Abu Sayyaf. Mereka sudah dibebaskan. Mantan kepala staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen (Pur) Kivlan Zein langsung turun tangan membebaskan sandera. Kivlan berpengalaman karena pernah bertugas di Filipina saat aktif menjadi anggota TNI.

Ketika mendengar penyanderaan WNI kembali terjadi, Kivlan berkomentar keras. Dia mengatakan, kasus penyanderaan WNI merupakan pelecehan bagi Indonesia. Ia menegaskan, kejadian ini tidak bisa dibiarkan karena mempermalukan Indonesia.

Kivlan mengatakan, momen ketiga seperti ini karena pemerintah tidak tegas dalam menangani penyanderaan Abu Sayyaf. Menurutnya, tak perlu lagi langkah diplomatis saat ini. Ia mengatakan, pilihan operasi militer menjadi opsi yang paling pas agar kasus ini tak terjadi lagi.

"Kita juga sudah mendapatkan izin dari Pemerintah Filipina yang memperbolehkan operasi militer. Kita harus tegas dan keras dalam kasus ini," ujarnya, Kamis (30/6).

Kivlan mengatakan, operasi militer ini lebih baik untuk menghentikan penculikan berikutnya. Karena langkah diplomasi mestinya memang dilakukan antardua negara, bukan diplomasi dengan penawanan.

Republika menjajaki pendapat pembaca. Jajak pendapat ini dilakukan sejak Selasa (19/7) hingga sehari kemudian. Hasilnya, sebanyak 404 pembaca Republika memberikan pendapatnya. Ketika diminta memilih cara terbaik membebaskan sandera, apakah dengan operasi militer atau kembali bernegosiasi, sejumlah 79 persen pembaca memilih operasi militer. Beberapa pembaca Republika di jejaring Facebook mengatakan, TNI harus terlibat aktif dalam pembebasan ini. Mereka perlu menguji kemampuannya dalam membebaskan sandera.

Para istri korban penyanderaan yang diculik oleh kelompok bersenjata Abu Sayyaf di perairan Lahad Datu, Sabah, Malaysia, pada Sabtu (9/7), meminta Presiden Joko Widodo untuk membantu membebaskan suami mereka. Pihak keluarga menyampaikan bahwa para sandera adalah tulang punggung keluarga masing-masing.

"Kemarin, saya bersama unsur pemerintah dari Kabupaten Flores Timur sudah mengunjungi keluarga korban penculikan untuk memberikan peneguhan dan istri para korban mengharapkan bantuan Presiden Joko Widodo untuk segera membebaskan suami mereka," kata Komandan Kodim Flores Timur Letkol Inf Dadi Rusyadi, Rabu (13/7).

Ia menjelaskan, keluarga ketiga korban tersebut tinggal dalam satu desa, yakni Desa Latonliwo I, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Lokasi itu terletak sekitar 40 km barat Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur di ujung timur Pulau Flores. Ketiga korban penyanderaan oleh kelompok bersenjata Abu Sayyaf itu masih memiliki hubungan darah satu sama lain.

Saat mengunjungi Yasinta Pusaka Koten, istri dari korban penculikan Emanuel Arakian Maran (40 tahun) serta seluruh rumpun keluarga terkait, kata Dandim Rusyadi, berharap agar ketiga korban penculikan itu segera dibebaskan. "Mereka (korban penculikan—Red) adalah tulang punggung keluarga kami. Mereka merantau sampai ke tanah Malaysia hanya untuk mencari satu-dua sen untuk menafkahi keluarga serta pendidikan anak-anak," kata istri Emanuel Arkian Maran, seperti dikutip Dandim Flores Timur.    ed: Erdy Nasrul

Apresiasi untuk Pemerintah Indonesia

M Deny Irawan

Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan, Banten

Penculikan WNI oleh kelompok Abu Sayyaf asal Filipina merupakan sebuah tindakan kriminal. Oleh karena terjadi di Filipina, maka hukum internasional yang berlaku di antara kedua negara perlu segera dilaksanakan. Pun demikian, upaya Pemerintah Filipina harus searah dengan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Kerja sama kedua negara di bidang hukum dan keamanan perlu direalisasikan.

Tidak ada kaitan antara Abu Sayyaf dan Islam. Islam tidak membenarkan tindakan-tindakan yang merugikan, baik bagi masyarakat maupun kepentingan kedua negara. Meski demikian, pemahaman yang komprehensif tentang latar belakang Abu Sayyaf, penyokong dana, hingga kebenaran ada atau tidaknya organisasi ini di Filipina perlu dielaborasi oleh Pemerintah Filipina.

Soal upaya Indonesia dalam melepaskan beberapa WNI yang disandara kelompok Abu Sayyaf perlu diapresiasi. Upaya pemerintah yang mengutamakan diplomasi tanpa opsi penebusan patut diapresiasi. Tetapi, militer Indonesia juga harus bertindak apabila dibutuhkan. Indonesia perlu menunjukkan kepada dunia bahwa militer Indonesia bisa diandalkan dalam memberantas aksi-aksi teror, penyekapan WNI oleh kelompok tertentu, dan memastikan bahwa militer Indonesia berada dalam kondisi siap tempur.

Jadi 'Sapi Perah' Abu Sayyaf

Arfan Muammar, Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jawa Timur.

Harga diri bangsa atau keselamatan nyawa warga negara Indonesia (WNI)? Sebuah pilihan yang sulit bagi negara ini. Jika keselamatan nyawa WNI yang diutamakan, tentunya Indonesia harus mau membayar tebusan yang diinginkan kelompok Abu Sayyaf. Namun, harga diri bangsa ini jelas tergadaikan, direndahkan oleh mereka. Bisa jadi mereka akan ketagihan untuk kembali menyandera WNI. Indonesia hanya akan menjadi sapi perah bagi kelompok mereka.

Perlindungan nyawa adalah tanggung jawab negara. Maka itu harus tetap dilakukan. Terulangnya penyanderaan oleh Abu Sayyaf untuk yang kesekian kali ini seakan mengindikasikan mereka ketagihan menyandera WNI. Walaupun pemerintah mengaku tidak memberikan uang tebusan tapi melakukan negosiasi, negosiasi tanpa ada sebuah kesepakatan adalah hal yang tidak mungkin.

Namun, jika harga diri bangsa yang diutamakan, dalam keadaan apa pun Indonesia tidak akan mau membayar uang tebusan kepada mereka. Upaya negosiasi harus tetap diusahakan. Akan tetapi, keselamatan nyawa menjadi tergadaikan. Walaupun, menurut beberapa pengamat, kelompok Abu Sayyaf tidak akan membunuh mereka, tapi sebaiknya kita jangan berspekulasi. Karena ini berkaitan dengan nyawa WNI.

Kemudian, bagaimana agar harga diri bisa dipertahanakan dan keselamatan nyawa WNI bisa diselamatkan? Istilah sapi perah menjadi taruhan untuk melekat sementara pada diri bangsa ini. Walaupun itu hanya sebagai taktik, Indonesia bisa menuruti apa yang mereka inginkan. Namun, tidak serta-merta ketika mendapat apa yang mereka inginkan, kemudian Pemerintah Indonesia dan Filipina lepas tangan.

Negara harus segera bertindak setelah mereka mendapatkan yang mereka inginkan. Sehingga, nyawa bisa diselamatkan dan harga diri bangsa tidak diremehkan.

Serahkan kepada TNI

Fahrurriza, Surabaya, Jawa Timur

Kelompok Abu Sayyaf sudah beberapa kali menyandera WNI. Mereka terkesan semangat untuk terus mengulangi kejahatan tersebut.

Pemerintah Filipina sepertinya tak mampu memberantas kelompok teroris dan separatis tersebut. Meski sudah diserang militer Filipina, kelompok Abu Sayyaf tetap ada. Mereka terus menebar ancaman di laut yang dilewati kapal-kapal yang mengangkut WNI.

Hal ini sudah pasti tak bisa dibiarkan. Kalau militer Filipina tidak mampu menghabisi Abu Sayyaf, serahkan saja kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mereka sudah berpengalaman dalam membebaskan sandera di Indonesia dan luar negeri.

Pemerintah Indonesia dan Filipina tak boleh menunda proses pembebasan. Kasus penyanderaan ini sudah pasti merugikan Indonesia. Pemerintah Indonesia harus mampu menekan pihak Filipina agar dapat bergerak cepat. Kalau memang pihak Filipina tidak mampu, sebaiknya katakan dengan jujur kepada Indonesia.

Mereka juga harus membuka akses kepada TNI untuk dapat membebaskan sandera yang ditawan Abu Sayyaf. Saya meyakini, ini bukan persoalan yang sulit bagi militer kita. Militer kita sudah pernah membebaskan sandera WNI di Somalia. Ini prestasi yang harus menjadi pelajaran bagi Filipina.

Abu Sayyaf Perusak Islam

M Abdul Ghani

Mahasiswa International Islamic University of Malaya, Malaysia

Penyanderaan atas nama kelompok agama hanya akan memperburuk citra agama Islam yang penuh dengan kedamaian dan kasih sayang sesama umat manusia. Penyanderaan terhadap pelaut dengan meminta tebusan bukanlah solusi dalam mengatasi permasalahan ekonomi. Namun, hanya akan menimbulkan gejolak hubungan politik antarnegara sehingga semangat kebersamaan ASEAN akan pupus dan hilang.

Kelompok Abu Sayyaf sudah lama beraksi sebagai pembajak. Mereka bahkan mengklaim ikut mendukung ISIS. Persoalan kelompok ini sepertinya tak bisa diselesaikan hanya oleh Indonesia dan Filipina. Dunia internasional harus ikut menyikapinya.

Abu Sayyaf sudah pasti merugikan banyak pihak. Mereka harus ditindak tegas. Dunia tak boleh menyerah, apalagi kalah melawan kelompok radikal seperti Abu Sayyaf. Indonesia memiliki kekuatan militer yang luar biasa. Militer kita pasti mampu menghabisi kelompok separatis itu. Namun, permasalahannya, apakah Filipina mau menyerahkan persoalan Abu Sayyaf kepada Indonesia.

Saya meyakini Indonesia masih dituakan, menjadi senior di Asia Tenggara. Apa yang diinginkan Indonesia masih didengar oleh negara-negara ASEAN.

Jangan Jadi Komoditas Politik

Pradi Khusufi Syamsu, Dosen Syekh Nurjati IAIN Cirebon

Bukan pertama kali WNI menjadi sandera Abu Sayyaf. Keberulangan tragedi penyanderaan WNI oleh kelompok yang sama adalah penistaan kepada keutuhan, kesolidan, dan ketahanan NKRI.

Kejadian serupa tak boleh terulang. Cukup keledai saja yang jatuh pada lubang yang sama. Pemerintah harus serius menghadapi penistaan dan penindasan terhadap warga negaranya. Pemerintah harus hadir. Jangan sampai kasus dan fenomena tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat dijadikan komoditas politik tak bermartabat.

Pembebasan sandera saja tak cukup menuntaskan problem yang terjadi. Penyandera harus ditelusuri jejaringnya sehingga dapat ditumpas secara menyeluruh. Jangan setengah hati.

Amanat UUD 45 salah satunya menciptakan perdamaian dunia dan melawan segala bentuk penjajahan. Kepada penderitaan bangsa lain saja Pemerintah Indonesia harus peduli kepada rakyatnya.

Kerahkan kemampuan yang dimiliki negara ini dengan tepat dan cermat. Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Jangan sampai WNI tertindas, jadi bahan mainan dan lelucon bangsa lain.

Pemerintah tidak boleh bersikap inlander dan menjadi underdog di hadapan bangsa lain. Sebaliknya, perintah harus santun, kasih, dan sayang terhadap rakyatnya. Tegas terhadap negara lain dan berkasih sayang kepada rakyat sendiri. Ini mungkin sering hilang dari pemangku kekuasaan di NKRI baik di level eksekutif, legislatif, maupun  yudikatif.

Saya yakin, solidaritas kuat dan kokoh dari segenap kalangan di Indonesia akan membuat bangsa lain segan menghadapi Indonesia. Indonesia akan tangguh ketika berhadapan dengan bangsa lain.

Coreng Citra Indonesia

Alhamudin

Dosen Unisba, Jawa Barat

Penyanderaan WNI oleh Abu Sayyaf mencoreng citra Indonesia di mata dunia. Ini harus disikapi dengan tegas. Salah satunya dengan moratorium ekspor batu bara ke Filipina, selama Pemerintah Filipina belum bisa menjamin keselamatan awak kapal pengirim barang.

Sikap tegas ini harus pemerintah tunjukkan untuk menjamin keselamatan WNI kita. Saya yakin bahwa Pemerintah Filipina akan berpikir ulang dan serius kalau komitmen ini benar dilaksanakan. Secara data lebih dari 90 persen kebutuhan batu bara Filipina Selatan mengandalkan ekspor dari kita.

Jangan sampai ada oknum dari pengusaha yang melanggar dengan tetap melakukan ekspor untuk meraih keuntungan pribadi dan golongan, tanpa memperhatikan keselamatan. Dalam hal ini, pemerintah pun harus tegas dengan memberikan sanksi dari ringan sampai pencabutan izin ekspor. Intinya perlu ada kerja sama dan komunikasi yang baik antara Pemerintah Indonesia, Filipina, dan pengusaha sehingga kasus perompakan tidak terulang lagi.

Kawal Kapal Indonesia

H Robit Huda, Guru Pesantren Ibnu Nafis Depok, Jawa Barat

Kapal asal Indonesia tak boleh berlayar sendiri ketika melewati perairan Filipina. Harus ada pengawalan ketat agar kapal tersebut tak lagi menjadi incaran kelompok separatis Abu Sayyaf.

Pengawalan ini dapat terlaksana apabila Indonesia, Filipina, dan negara sekitarnya memiliki iktikad baik untuk mewujudkan hal itu. Selama ini pengawalan kapal hanya berbentuk wacana yang tak pernah terealisasi.

Beberapa waktu lalu Pemerintah Indonesia sudah mengungkapkan sudah ada kesepakatan patroli bersama lintas negara sejak lama. Tetapi, kenyataannya, patroli itu tidak terealisasi. Akibatnya, kapal Indonesia yang melintas membawa batu bara disandera Abu Sayyaf.

Saya mengkhawatirkan, situasi ini menggambarkan Indonesia semakin kehilangan harga dirinya di mata dunia. Kalau memang ini yang terjadi, maka akan sangat disayangkan. Negeri ini tegas kepada rakyatnya sendiri, tapi tak bertaji ketika berhadapan dengan negara lain yang sudah jelas meremehkan negara ini.

Jalur diplomasi boleh saja ditempuh. Tetapi, ini bukan satu-satunya jalan. Harus ada upaya lain yang lebih konkret untuk membuat kelompok Abu Sayyaf dan kelompok separatis lainnya tidak mengganggu keamanan di perairan yang dilewati kapal dari lintas negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement