Rabu 30 Dec 2015 13:00 WIB
film

Pengalaman Pertama Ernest

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

Pengalaman Pertama Ernest

Buat kamu, khususnya para penikmat stand-up comedy Indonesia, boleh jadi tidak asing lagi dengan Ernest Prakasa. Ya, dia adalah komika alias pelawak tunggal berdarah Tionghoa yang dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi populer lantaran kerap menjadikan kehidupan etniknya sebagai materi banyolannya.

 Di tengah keasyikannya menggeluti karier pelawak tunggal, Ernest juga dikenal sebagai penulis yang kreatif. Karya triloginya, yakni Ngenest – Ngetawain Hidup ala Ernest, termasuk buku yang laris manis di pasaran. Ketiga buku itu berisi cerita tentang pengalaman pribadi Ernest semasa kecil hingga dewasa yang dikemas dalam bentuk genre komedi nonfiksi dan menggunakan gaya bahasa yang gaul.

Selain melawak dan menulis buku, Ernest juga merintis karier di dunia akting sejak dua tahun lalu. Ada beberapa film yang ia bintangi sampai saat ini. Sebut saja Make Money (2013), Comic 8 (2014), Kukejar Cinta ke Negeri Cina (2014), CJR The Movie (2015), dan Comic 8: Casino Kings (2015). Kini, komika kelahiran 29 Januari 1982 itu baru saja merampungkan film teranyarnya berjudul Ngenest: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan.

Film yang ia garap bersama rumah produksi Starvision itu diadaptasi dari kisah-kisah lucu yang tertuang dalam buku trilogi yang laris itu. Tak tanggung-tanggung, dalam proses penggarapan film tersebut, Ernest memainkan tiga peran sekaligus, yaitu sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor. Pengalaman baru itu benar-benar menjadi tantangan besar bagi Ernest selama menekuni dunia hiburan.

 "Sebagai komika, saya sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendirian, mulai dari menyiapkan materi lawakan hingga mementaskannya di hadapan penonton. Tapi saat menggarap film ini, saya dituntut untuk bisa bekerja sama dalam tim," tutur Ernest, saat dijumpai di Jakarta belum lama ini. Sebagai penulis, Ernest memaklumi fenomena buku best-seller yang diangkat ke layar lebar.

Ia juga menganggap wajar bila rumah-rumah produksi merasa lebih tertarik untuk memfilmkan sesuatu yang memang sudah populer dan memiliki basis massa, dibandingkan sebuah skenario baru yang benar-benar dibuat dari nol. "Oleh karena itu, ketika beberapa production house mencoba menjajaki adaptasi buku saya ke layar lebar, saya menanggapinya dengan tangan terbuka," ujarnya. Ernest mengungkapkan, Starvision bukanlah rumah produksi pertama yang menghubunginya terkait rencana untuk memfilmkan buku Ngenest.

Namun, ada sesuatu yang berbeda yang ia rasakan saat pertama kali menjalin komunikasi dengan pemilik Starvision, Chand Parwez Servia. Menurut Ernest, Parwez memperlakukan karyanya dengan begitu hormat dan apresiatif, bukan semata sebagai sebuah komoditas yang potensial untuk dijadikan bisnis. Ia pun lantas menemukan kecocokan dengan bos Starvision itu. Dari situlah, mereka mulai membicarakan kemungkinan adaptasi buku Ngenest ke layar lebar.

Awalnya, kata Ernest, ia hanya kebagian pekerjaan sebagai penulis skenario dan pemain di film itu. Namun, Parwez ternyata kemudian juga memintanya untuk menjadi sutradara. "Alasan Pak Parwez, buku Ngenest ini kan berisi cerita tentang saya, sehingga dia pun menilai sayalah yang paling mengerti cerita ini mau dibawa ke mana dan seperti apa esensinya," ungkapnya. Ernest mengaku cukup memahami alasan yang disampaikan Parwez ketika itu.

Akan tetapi, ia sempat menolak tawaran pimpinan Starvision itu dengan alasan bahwa satu-satunya pengalaman yang ia miliki di dunia industri perfilman selama ini hanya sebagai aktor. Bagi Ernest, tugas sutradara amatlah berat. "Saya merasa tidak layak untuk duduk di kursi sutradara, karena benar-benar tidak mempunyai pengalaman sedikit pun di bidang tersebut sebelumnya. Tapi, Pak Parwez terus meyakinkan bahwa saya bisa melakukannya," ucapnya.

 Ernest pun memberanikan diri menerima tantangan tersebut. Dalam pikirannya, mungkin saja pengalaman itu bakal menjadi pelajaran bagi dirinya untuk memasuki dunia yang baru. Maka, mulailah proyek film Ngenest, sebuah drama komedi yang isi ceritanya dikembangkan Ernest bersama sang istri, Meira Anastasia. Proses penulisan skenario film itu dijalaninya selama kurang lebih empat bulan, dari awal Juni hingga akhir September 2015.

"Karena ini diangkat dari buku, tantangan terberat dalam menulis skenario memang bukan mencari bahan mentah. Tapi, bagaimana merangkai fragmen-fragmen cerita yang ada menjadi sebuah runutan cerita yang utuh dan memiliki dramaturgi yang baik," ujar Ernest. Ernest membeberkan, film Negenest mengisahkan tentang seorang pria keturunan Cina yang memiliki keinginan kuat untuk berbaur dengan masyarakat pribumi.

"Jujur, sebagai penulis skenario sekaligus sutradara, harapan saya hanya satu, yaitu semoga penonton mendapatkan pengalaman yang menyenangkan karena disuguhi sebuah kisah yang ditulis dan dieksekusi secara apik, menghibur, mengharukan, dan mencerahkan," tutur Ernest. Pengalaman yang diperoleh Ernest saat menggarap film Ngenest seakan menyusul kesuksesan salah satu rekannya yang juga aktif di stand-up comedy, Raditya Dika.

Sebelumnya, Raditya Dika sudah lebih dulu menjajal karier sebagai penulis skenario dan sutradara di beberapa film yang diadaptasi dari buku-buku karangannya sendiri. Sebut saja Cinta Brontosaurus (2013), Manusia Setengah Salmon (2013), dan Marmut Merah Jambu (2014).  "Saya banyak sharing sama Raditya Dika, karena dia sudah lebih dulu menulis buku dan menggarap film. Untungnya Dika itu enggak pelit ilmu dan selalu mau berbagi dengan senang hati.''  ed: endah hapsari

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement