Rabu 18 Jun 2014 12:00 WIB

Tutup Pintu Gang Dolly (Habis): Sepakat Memutus Rantai Prostitusi

Red:

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini akan menutup lokasi prostitusi Dolly di Surabaya per Rabu (18/6). Rencana yang menuai pro dan kontra. Bagaimana warga sekitar menanggapi penutupan Dolly, berikut laporan khusus Republika.

Ancaman terhadap keluarga Suharto yang memilih menerima tawaran kompensasi dari Pemerintah Kota Surabaya, juga dialami keluarga lain. Untung, warga RT 5 RW 11, mengaku sangat bergantung pada bisnis prostitusi di sekitar rumahnya. Bersama istrinya, Untung punya usaha warung nasi.

Masakan istrinya saban hari ludes terjual. Dari jualan nasi itu, pemasukan per hari Rp 300 ribu - Rp 500 ribu. Maklum, kata bapak 50-an tahun ini, warung nasinya tepat berada di Gang Dolly. Pusat segala bisnis prostitusi di wilayah itu. "Masak nasi itu bisa tiga sampai empat kilonan (kilogram)," kata Untung, Senin (16/6).

Namun, sejak dia ikut dalam rembuk warga di kantor Wali Kota, Jumat pekan lalu, nyaris tak ada satu pun pelanggan sudi mampir ke warung nasi miliknya. "Ndak tahu saya Mas. Saya nggak mau menuduh-nuduh. Saya serahkan saja sama Allah. Kalau ada pelanggan, alhamdulillah, tapi nek ora (tak ada pelanggan), ya sudah," kata Untung.

Ketika hadir dalam rembuk bersama Pemkot Surabaya itu, Untung bersama anaknya Cahyo, Suharto, Yudi, dan banyak warga Dolly dan Jarak lainnya, hanya mengatakan setuju dengan langkah Risma memberi kompensasi pekerjaan dan uang saku sementara bagi warga Dolly dan Jarak yang selama ini mengikat nafkah hidupnya pada bisnis haram di lokasi prostitusi tersebut.

Lantaran tak ada pelanggan mampir ke warung nasi itu, Untung terpaksa menghentikan aktivitas dagangnya saat Republika bertandang ke rumahnya. "Wah Mas, daripada rugi toh, nyari Rp 100 ribu saja susah, kemarin-kemarin," keluh dia. Tapi, Untung tegas mengatakan tak ingin memihak pada kelompok yang selama ini berlawanan dengan Pemkot Surabaya ataupun yang setuju.

"Ndak enak saya Mas. Kalau yang mendukung penutupan (Dolly dan Jarak) itu sebenarnya ada. Saya tahu itu. Saya yakin 85 persen orang sini (Dolly dan Jarak) setuju kalau ditutup. Tapi saya ndak ikut-ikut. Saya manut (pemerintah) saja. Kalau ditutup, yo monggo. Kalau ndak, ya bagaimana toh," ujar dia.

Untung tak memberi jawaban mengenai tawaran pekerjaan yang dijanjikan oleh Pemkot Surabaya kepada keluarganya. Namun, anaknya, Cahyo, menyampaikan, mendukung penutupan Dolly dan Jarak bukan karena soal kompensasi dan janji pekerjaan dari pemkot. Namun, lebih pada peningkatan martabat masyarakat setempat yang semestinya mencari nafkah dari sumber rezeki yang tanpa menyakiti hati orang lain.

Dari 1.200-an pekerja seks komersial (PSK) di Dolly dan Jarak, kata Cahyo, mereka tunasusila yang semestinya bisa dimanusiakan. Mereka menjual diri lantaran keterpaksaan. Di sisi lain, warga sekitar mengambil keuntungan dengan memfasilitasi kegiatan itu. "Warung-warung, pedagang kaki lima itu kan jadi ramai dengan adanya PSK itu," kata Cahyo.

Cahyo setuju agar Risma secepatnya memotong rantai nafkah itu dengan cara menutup Dolly dan Jarak. Namun, Pemkot Surabaya tak boleh membiarkan warga yang selama ini mencari nafkah di situ malah menjadi pengangguran. "Solusi pekerjaan dan kompensasi sementara dari pemkot itu sudah bagus," kata mahasiswa sosiologi di Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, itu.

Bapak beranak dua yang minta namanya tak disebut menambahkan, yang sebenarnya terjadi bukanlah perselisihan antara pendukung penutupan dan penolak Dolly dan Jarak. Menurut pria yang memobilisasi warga Dolly dan Jarak agar terputus dari rantai prostitusi itu, dua kubu berseberangan itu sejatinya tidak ada.

Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Bali, ini mengaku sudah mendengar rencana Risma menutup lokalisasi itu sejak 2011. Namun, rencana itu hanya memprioritaskan kompensasi ganti rugi terhadap PSK dan mucikari. "Lantas bagaimana dengan warga (Dolly dan Jarak)? Kan usaha warga akan mati. Mereka makan apa?" katanya.

Bersama warga di dua wilayah itu, dia setuju membicarakan kompensasi dan ganti rugi bagi warga terdampak prostitusi dengan pemkot. Namun, permintaan warga tak digubris pemkot karena warga memang bukan bagian dari program kompensasi. Pemkot hanya menjanjikan pelatihan agar warga mencari nafkah lain. Janji itu pun sebenarnya tak terpenuhi.

Sejak berhenti dari koordinator sound system di salah satu wisma prostitusi di Jarak, dia membuka usaha penjualan kostum sepak bola, sembari menunggu janji pekerjaan pengganti sebagai sopir truk kebersihan di pemkot. "Jadi, yang ada sebenarnya mereka yang menolak penutupan (Dolly dan Jarak) menuduh mereka yang menerima bantuan sebagai pendukung penutupan. Padahal, nggak ada urusannya, Mas. Warga cuma nggak mau lagi menggantungkan hidupnya dari bisnis prostitusi," kata pria itu.

Akhirnya, tak bisa dielak, dia, seperti juga keluarga Suharto dan Untung, mendapat stigma sebagai penentang penutupan. "Kalau intimidasi langsung, ndak ada. Ndak berani mereka. Tapi, kalau omong-omongan nggak enak, ya banyak," masih kata pria itu menutup pembicaraan.

rep:bambang noroyono ed: nur hasan murtiaji

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement