oleh: Sunarsip -- Dalam banyak kesempatan, para calon presiden (capres) kita selalu mengatakan akan memosisikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam kedudukan yang strategis, yaitu sebagai agen pembangunan (agent of development). Konsep BUMN sebagai agent of development sesungguhnya tercantum dalam undang-undang (UU) BUMN. Konsep ini tentunya sesuatu yang mulia. Namun sayang, dalam realitasnya, justru yang terjadi sering sebaliknya. Penempatan BUMN sebagai agent of development sering kali memosisikan BUMN hanya sebagai alat pemerintah untuk memenuhi tujuannya tanpa diikuti dengan komitmen pemerintah untuk meningkatkan kapasitas bisnis BUMN tersebut.
Sebagai ilustrasi, mari kita lihat data berikut. Berdasarkan data dari Kementerian BUMN, ekuitas (modal) BUMN pada 2013 diperkirakan mencapai Rp 972,84 triliun. Nilai ekuitas BUMN pada 2013 tersebut meningkat Rp 147,58 triliun atau 17,88 persen atau dibanding 2012 yang mencapai Rp 825,26. Pertanyaannya: darimana sumber penambahan ekuitas BUMN tersebut? Bila mengacu pada data dari APBN-P 2013 terlihat bahwa penyertaan modal negara (PMN) ke BUMN hanya Rp7,7 triliun. Di sisi lain, dari laba bersih tahun buku 2013, pemerintah ditargetkan memperoleh dividen Rp 40 triliun.
Dengan kata lain, praktis bahwa peningkatan ekuitas BUMN tersebut sebagian besar berasal dari BUMN itu sendiri, terutama dari laba ditahan (retained earnings). Di sisi lain, bila kita bandingkan dengan kebutuhan investasinya, jelas bahwa penambahan modal tersebut jauh dari cukup. Pada 2013, kebutuhan belanja modal (capital expenditure/capex) diperkirakan Rp 184,36 triliun (RKAP 2013 sebesar Rp 246,37 triliun). Tingginya kebutuhan capex BUMN dibandingkan dengan penambahan modalnya, BUMN terkait tentunya harus menutupinya dengan sumber pembiayaan di luar modal (utang).
Saya tidak hendak mengatakan bahwa BUMN tidak boleh berutang. Bahkan, sepanjang debt to equity ratio (DER)-nya mencukupi, utang merupakan pilihan pembiayaan yang viable bagi BUMN. Justru, kalau kita menginginkan BUMN berkembang secara progresif (quantum leap), semestinya BUMN perlu didorong agar memiliki kemampuan berutang lebih besar lagi sehingga kemampuan investasinya pun meningkat. Tentunya, untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan BUMN dari utang, penambahan ekuitas juga menjadi hal yang mutlak untuk dipenuhi agar angka DER-nya tetap terjaga.
Konsekuensi dari rendahnya komitmen pemerintah dalam meningkatkan kapasitas BUMN di tengah tuntutan agar BUMN menjadi agent of development pada akhirnya menyebabkan BUMN tidak mampu meningkatkan bisnisnya secara maksimal. Kondisi ini pada akhirnya berdampak pada ketidakmampuan BUMN meningkatkan perannya secara maksimal, baik sebagai agent of development maupun sebagai institusi bisnis. Pertanyaannya, lalu apa yang perlu dilakukan atau yang perlu diusung oleh para capres kita agar BUMN ke depan mampu berkontribusi secara maksimal?
BUMN adalah badan usaha. Layaknya sebagai badan usaha kepentingan bisnis dari BUMN harus dinomorsatukan mengalahkan kepentingan lainnya. Bila kepentingan bisnis ini dicampuraduk dengan kepentingan nonbisnis, yang terjadi adalah kinerja BUMN tidak optimal. Karena kepentingan bisnis menjadi hal utama, maka seluruh kebijakan stakeholders BUMN (termasuk pemegang saham) harus diarahkan bagi sebesar-besarnya kepentingan bisnis BUMN. Dalam konteks keputusan penggunaan laba BUMN, misalnya, pertimbangan yang harus dikedepankan adalah pertimbangan bisnis agar BUMN bisa going concern. Pertimbangan untuk memenuhi target fiskal harus dikesampingkan terlebih dahulu.
Kita perlu belajar bagaimana perusahaan-perusahaan besar bisa menjadi semakin besar. Kita juga perlu belajar dari BUMN dari negara lain, mengapa juga bisa menjadi perusahaan besar dan berkiprah di tingkat global. Sebagai contoh, Freeport-McMoRan pemilik mayoritas saham PT Freeport Indonesia yang banyak mengeksploitasi tambang emas kita itu, tahun ini memutuskan tidak membagi dividennya dengan alasan untuk pengembangan usaha. Kita tahu, akibat kebijakan Freeport-McMoRan tersebut, tahun ini kita terpaksa gigit jari karena tidak memperoleh dividen sebagai penerimaan APBN.
Saya tidak ingin membahas dividen Freeport yang tidak dibagi tersebut yang kini menjadi polemik di internal pemerintah kita. Saya hanya ingin mengajak agar kita berkontemplasi betapa sebuah perusahaan multinasional sekelas Freeport pun ternyata masih merasa kekurangan sehingga perlu untuk tidak memungut dividen demi pengembangan bisnis. Bandingkan dengan kita yang memiliki BUMN sekitar 140 BUMN, tapi skala usahanya kecil-kecil namun pemiliknya justru terkesan merasa BUMN yang dimilikinya sudah besar dan karenanya setiap tahun boleh "diperas" dengan dividen yang tinggi.
Bandingkan pula dengan BUMN di Cina. Negara dengan sistem ekonomi yang cenderung sosialis ini ternyata dalam kebijakan korporasinya (khususnya BUMN) sangat kapitalis. Cina kini memiliki BUMN kelas global yang memiliki jaringan bisnis di banyak negara. CNOOC dan Sinopec adalah beberapa BUMN minyak Cina yang reputasinya kelas dunia. Komitmen pemerintah yang kuat adalah kunci di balik reputasi tinggi yang diperoleh BUMN-BUMN Cina. Apa resepnya?
Sejak 1994, Pemerintah Cina memberlakukan kebijakan dividend payout ratio (DPOR) sebesar nol persen terhadap seluruh BUMN di tingkat pusat. Artinya, Pemerintah Cina sama sekali tidak menarik dividen dari BUMN yang dimilikinya. Kebijakan ini berlaku sampai dengan 2007. Tujuannya, agar seluruh hasil laba BUMN Cina dipergunakan untuk memperbesar usaha BUMN terkait dengan meningkatkan pembentukan modal (capital formation) atau investasi. Baru pada 2007, Pemerintah Cina mulai memberlakukan kebijakan DPOR bagi BUMN-nya. Itu pun bukan untuk kepentingan penerimaan APBN, namun untuk mengerem laju investasi karena investasi yang dilakukan BUMN Cina telah menyebabkan perekonomian Cina tumbuh terlalu pesat dan cenderung overheating.
Menarik bahwa berkat kebijakan DPOR nol persen tersebut tidak hanya menyebabkan BUMN Cina menjadi perusahaan sehat dan kuat di tingkat global, tetapi juga mampu menjadi kontributor utama bagi ekonomi Cina yang dalam satu dekade terakhir tumbuh rata-rata sekitar 10 persen. Kalau mau jujur, sesungguhnya BUMN Cina lebih mampu menjalankan peran sebagai agent of development (sekalipun mungkin tidak dinyatakan dalam konstitusinya) dibanding BUMN kita yang secara tertulis dinyatakan sebagai agent of development. Jadi, kalau kita ingin menjadikan BUMN kita sebagai agent of development dalam arti yang sesungguhnya, saya kira tidak ada salahnya kita belajar dari Pemerintah Cina bagaimana mereka menempatkan BUMN-nya.
Berbagai pemikiran saya di atas mungkin terdengar ekstrem atau anti-meanstream bagi sebagian kita. Saya memang sengaja mengajak untuk berpikir out of the box, tapi tetap rasional, tanpa melanggar konsititusi. Saya melihat, tanpa ada kebijakan terobosan, sulit bagi kita bisa merealisasikan target-target besar BUMN kita. Semoga kita siap menerima rasionalitas seperti ini demi suksesnya BUMN dan roda pembangunan ekonomi kita. Dan, semoga para capres kita juga mendengar aspirasi ini. Salam merdeka!