Senin 04 Aug 2014 13:00 WIB

Pembatasan BBM Subsidi Diperluas

Red:

JAKARTA -- Pembatasan penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan diterapkan ke daerah lainnya. Perluasan pembatasan penjualan ini terutama ditujukan untuk daerah yang tinggi tingkat penyelewengan BBM bersubsidinya.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo mengatakan, langkah pengetatan penjualan BBM bersubsidi bertujuan menjaga konsumsi BBM subsidi tidak melebihi kuota 46 juta kiloliter (kl). "Hingga Juli, konsumsi BBM telah mencapai 55 persen," kata Susilo kepada Republika, Ahad (3/8).

Susilo menerangkan, pembatasan BBM subsidi dengan menjual pada jam tertentu atau tidak menjual solar subsidi pada pukul 18.00 hingga pukul 06.00 akan dilakukan di sejumlah daerah yang rawan penyelundupan dan penyelewengan. Daerah itu, di antaranya, Kalimantan Timur, Riau, dan Batam. "Pembatasan akan dilanjutkan ke daerah-daerah lainnya secara bertahap," ujarnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:R.REKOTOMO/ANTARA

Pekerja melakukan proses pengisian BBM ke tangki muatan truk pengangkut bahan bakar di Depo Pertamina Pengapon Semarang, Jateng, Kamis (17/7).

 

Susilo menegaskan, persediaan BBM tetap akan terjaga dan tersedia. Tapi, BBM tersebut merupakan BBM nonsubsidi. Pemerintah tidak berencana menaikkan tarif BBM subsidi. Kebijakan tesebut akan diserahkan kepada pemerintahan yang baru.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menginstruksikan kepada badan usaha pelaksana penyediaan dan pendistribusian BBM bersubsidi untuk membatasi penjualan. Pertama, per 1 Agustus 2014, SPBU di Jakarta Pusat tidak akan menjual solar. Kedua, per 4 Agustus, BBM jenis solar tidak akan dijual di wilayah tertentu mulai pukul 18.00 hingga pukul 06.00. Ketiga, per 6 Agustus, dengan koordinasi bersama pemda, volume minyak solar untuk nelayan akan ditekan sebesar 20 persen. Keempat, per 6 Agustus, layanan Premium di ruas jalan tol akan dihilangkan.

 

Anggota Komisi VII DPR Dewi Aryani menilai, kebijakan yang dikeluarkan BPH Migas merupakan kebijakan ngawur. "Dalam surat edaran, ada tiga kebijakan. Padahal, ada tiga konsekuensi besar melalui tiga kebijakan itu," kata Dewi, Ahad (3/8).

 

Dewi menilai, pemerintah tidak bisa menempatkan tiga kebijakan tesebut dalam satu surat edaran. Dia pun meminta pemerintah untuk mengkaji dampak dari kebijakan itu. Salah satu yang harus dikaji adalah pemangkasan subsidi solar untuk nelayan sebesar 20 persen yang penyalurannya diutamakan kepada kapal nelayan di bawah 30 gross ton.

 

Pemerintah perlu melihat kondisi perairan yang saat ini tidak memungkinkan bagi nelayan melaut dengan kapal kecil. Dengan kondisi cuara yang kurang bersahabat, nelayan memerlukan kapal lebih besar yang berarti kebutuhan solarnya juga tinggi. "Pemerintah harus punya kajian strategis, apakah punya data serapan subsidi nelayan empat tahun terakhir? Pasti bertambah, tapi ini malah dikurangi 20 persen," ujar Dewi.

Kebijakan penghapusan BBM bersubsidi di jalan tol pun dinilainya tidak sesuai kondisi di lapangan. Alasannya, jalan tol tidak hanya digunakan bagi kendaraan pribadi, tapi juga untuk jalur distribusi. Apalagi, Indonesia tidak mempunyai kebijakan pemisahan jalan tol untuk kendaraan pribadi dan logistik. "Yang ada, nanti derek bukan untuk menderek kendaraan mogok karena rusak, tapi kehabisan bahan bakar," ujar anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini.

Menurut Dewi, surat edaran pembatasan penjualan BBM subsidi tidak mencerminkan pemerintah sebagai pelayan masyarakat, tapi memaksakan kehendak kepada rakyat. Pemerintah juga dinilai tidak menempatkan energi menjadi sektor strategis sebagai indikator utama membuat kebijakan.

Seharusnya, pemerintah bisa mengupayakan hal-hal lain, seperti pembatasan kepemilikan kendaraan. Di negara lain, setiap rumah dibatasi kepemilikan kendaraannya. Di Indonesia, satu rumah bisa punya lebih dari satu kendaraan, bahkan ada yang lebih dari 10 unit. Hal ini menjadi salah satu penyebab membengkaknya penggunaan BBM, terutama BBM bersubsidi.

Sejalan dengan itu, pemerintah perlu mendorong perbaikan infrastruktur dan transportasi massal. Hal ini bertujuan agar penggunaan BBM, terutama BBM bersubsidi, tepat sasaran.

Ekonom UI Muslimin Anwar menilai, langkah pemerintah dalam membatasi penjualan BBM bersubsidi tidak akan efektif. Solusi paling ampuh dalam mengatasi pembengkakan anggaran adalah menaikkan harga BBM subsidi ke harga keekonomiannya. rep:aldian wahyu ramadhan/friska yolandha/antara ed: eh ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement