JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terlihat tidak banyak terlibat dalam pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang salah satu pasalnya melegalkan praktik aborsi untuk kondisi tertentu. Padahal, PP tersebut adalah produk hukum turunan dari Undang-Undang Kesehatan. "Saya secara pribadi tidak terlibat mengenai PP tersebut. Secara kelembagaan, ya," kata Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti kepada Republika, Senin (11/8).
PP Kesehatan Reproduksi belakangan menuai pro dan kontra soal legalisasi aborsi untuk kondisi tertentu yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada pasal 75 ayat (1) tercantum bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Ali pun terkesan tidak mengetahui adanya penolakan atas PP yang telah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada akhir Juli lalu itu. Jika sebuah peraturan sudah diputuskan, menurut Ali, biasanya sudah melibatkan dialog dengan masyarakat.
Direktur Bina Gizi Ibu dan Anak Kemenkes Doddy Izwardy sebelumnya juga menyatakan, pihaknya belum bisa mengomentari lebih jauh PP Kesehatan Reproduksi. Menurut Doddy, PP 61 Tahun 2014 adalah peraturan hukum yang sangat baru. "Saya harus membacanya terlebih dahulu untuk menanggapi," katanya.
Namun, Deputi Kesehatan dan Kependudukan dan Keluarga Berencana Kemenko Kesra, Rachmat Sentika, pada Ahad (10/8) menegaskan bahwa pemerintah akan mempertahankan PP Kesehatan Reproduksi. Menurut dia, kurang tepat bila saat ini banyak pihak memperdebatkan PP yang telah disahkan oleh presiden.
Rachmat menjelaskan bahwa perdebatan soal legalisasi aborsi untuk kondisi tertentu telah berlangsung di DPR. "Saat undang-undang kesehatan masih menjadi rancangan, ada banyak perdebatan. Ketika itu ada pihak yang pro dan kontra," kata Rachmat.
Menurut anggota Komisi IX DPR Ahmad Nizar, pasal soal legalisasi aborsi sejatinya merupakan turunan dari UU Nomor 36 Tahun 2009. Karena sumbernya adalah undang-undang, kata Ahmad, masyarakat yang keberatan bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Masyarakat bisa menggugat ke MK," ujar Nizar, Senin (11/8).
Nizar menambahkan, UU Kesehatan dirumuskan oleh para anggota Komisi IX DPR pada periode 2004-2009. Adapun soal PP Kesehatan Reproduksi, lanjut Nizar, peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan itu tidak dibahas di DPR. Meski begitu, Nizar secara pribadi keberatan dengan pelegalan aborsi anak hasil perkosaan. "Menurut saya, itu tidak tepat. Perkosaan dan menghargai kehidupan anak adalah dua hal yang berbeda," ujar politikus Partai Demokrat itu.
Pengamat Kesehatan dari Universitas Indonesia, Agustin Kusmayati melihat masih ada alternatif penanganan terhadap kondisi kehamilan akibat perkosaan. Agustin menjelaskan, di dunia medis, dikenal istilah emergency contraception atau kontrasepsi darurat. "Dengan kontrasepsi darurat, kehamilan pascaperkosaan bisa dicegah. Itu bentuknya obat, diminumkan beberapa jam sejak kejadian," kata Agustin.
rep:c54 ed: andri saubani