Serangan terhadap kantor mingguan Charlie Hebdo melahirkan perdebatan sengit. Sebagian suara menyatakan serangan itu menebas kebebasan berpendapat, lainnya menegaskan kebebasan pers tetap harus ada batasnya. Republika menurunkan secara berseri pandangan sejumlah cendekiawan internasional mengenai isu Charlie Hebdo tersebut. Berikut bagian pertamanya.
Tariq Ramadhan menekankan pentingnya bersikap soal Charlie Hebdo. Ia beralasan, sebagai cendekiawan Muslim, ia harus bersikap tegas dan jernih. Ia menegaskan konsisten mengecam aksi kekerasan dan terorisme. Tak hanya serangan 11 September 2011, tetapi juga serangan terbaru di Paris, Prancis.
Pada Rabu (7/1), dua lelaki bersenjata Kalashnikov menyerang kantor mingguan Charlie Hebdo. Sebanyak 12 orang terenggut nyawanya dalam serangan itu. Tariq jelas tak mau menoleransi dalih pelaku penyerangan, yaitu sebagai pembalasan atas diri Nabi Muhammad SAW.
Charlie Hebdo memang pernah memuat kartun Nabi Muhammad sebagai sebuah olok-olok, tetapi itu tak bisa menjadi alasan. Profesor Studi Islam Kontemporer di Oxford University, Inggris, ini menegaskan, aksi kelompok itu salah. Justru pesan dan prinsip Islam telah mereka khianati.
Menurut Tariq, mereka menggunakan Islam sebagai pembenaran atas aksi teror. Dari sudut pandang agama, ia merasa berkewajiban untuk meluruskan. ’’Apa yang mereka lakukan tak ada hubungan dengan pesan agama kita, Islam,’’ kata Tariq dalam artikel berjudul ‘’Serangan Paris Membajak Islam, Tetapi tak Ada Perang Antara Islam dan Barat'', yang dipublikasikan Guardian, 9 Januari 2015 lalu.
Tariq pun menganjurkan setiap orang, jika sesuatu terjadi atas nama negara atau agama mereka, maka bersikaplah. Ia mengecam kekerasan ekstremis yang menargetkan orang Barat. Namun, bukan hanya karena orang Barat yang menjadi korban. Selain itu, ada ratusan orang terbunuh di Suriah dan Irak dan negara-negara Barat masih tetap mengirimkan bomnya ke sana. Bom yang semakin banyak merenggut nyawa warga tak bersalah.
Tariq mengatakan, semua orang harus melihat gambar besarnya. Kehidupan adalah hal yang sangat-sangat berarti. Penting untuk menjelaskan bahwa hidup Muslim di negara-negara mayoritas Muslim sama berartinya dengan hidup orang-orang yang tinggal di Barat. Tariq mengaku pernah bertemu dengan kartunis Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier, yang juga tewas dalam serangan pada Rabu (7/1) lalu. Tariq dan Charb, panggilan akrabnya, berdebat tentang kebebasan berpendapat.
Dalam kesempatan itu, Tariq mengingatkan agar Charb menggunakan kebebasan dengan benar dan tak berstandar ganda. Tariq mencontohkan peristiwa yang terjadi pada 2008. Waktu itu, Charlie Hebdo memecat seorang kartunisnya.
Si kartunis membuat kartun satire mengenai hubungan Yahudi dengan anak laki-laki Presiden Nicholas Sarkozy. ‘’Saya bertanya kepadanya, di mana kebebasan berekspresi?’’ tanya Tariq. Ia menambahkan, ada batasan dalam kebebasan berekspresi. Tak semua bisa diutarakan.
Tindakan yang dilakukan Charlie Hebdo dengan menerbitkan kartun Nabi Muhammad SAW memang menimbulkan kecaman. Banyak juga yang mengancam majalah tersebut. Namun, Tariq mengatakan, tidak sepantasnya serangan itu dilihat sebagai perang antara Islam dan Barat.
Jika serangan tersebut dianggap sebagai perang, berarti kedua belah pihak menyetujuinya. "Ini jebakan yang dibuat kalangan ekstremis," ujarnya. Karena itu, serangan terhadap kantor Charlie Hebdo harus dilihat sebagai tindakan para kriminal yang mengeksploitasi Islam.
Tariq menunjuk juga jebakan ekstremis lainnya. Di Prancis, ada dua buku baru diterbitkan yang mencerminkan hal itu. Satu, buku karya Eric Zemmour berjudul The French Suicide. Karya ini menggambarkan ketakutan saat jutaan Muslim mendiami dan mengubah Prancis.
Karya lainnya ditulis Michel Houellebecq melalui novel yang berjudul Submission. Dalam novelnya itu Houellebecq mengisahkan kegelisahan warga Prancis ketika pada 2022 partai berbasis Islam mengambil alih republik tersebut.
Tiga tahun sebelumnya, Houellebecq mengatakan bahwa Islam adalah agama terbodoh di dunia. "Gelombang semacam ini harus kita hentikan. Para politikus, intelektual, jurnalis, Muslim, dan penganut agama lainnya harus menyatukan prinsip menolak hal itu," ujar Tariq.
Dia berkata, ada sebagian orang beranggapan bahwa setelah peristiwa serangan Charlie Hebdo, ke depan menjadi sebuah masa yang sulit. Sebagian lainnya menyatakan, serangan itu akan berpotensi mengekang dan merusak kebebasan berpendapat.
Tariq mendukung kebebasan berpendapat. Namun, ia mendesak mereka yang menyalahgunakan kebebasan ini untuk menghentikan aksinya. Apa yang mereka rencanakan bukanlah sebuah keberanian. Langkah mereka juga akan mencoreng martabat orang lain. Akan membuat semua Muslim sebagai bahan olok-olok dan melahirkan kerugian bagi umat Islam sendiri. rep: julkifli marbun, satya festiani ed: ferry kisihandi