JAKARTA -- Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan akan membawa kasus Novel Baswedan ke meja hijau. "Kita harapkan begitu supaya tidak dituduh kriminalisasi," kata Kapolri, di Kejaksaan Agung, Senin (4/5).
Menurut Kapolri, sudah ada kesepakatan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus yang sudah masuk tahap penyidikan akan dilanjutkan. Sedangkan, kasus yang masih tahap penyelidikan diupayakan dihentikan. Badrodin menggarisbawahi, pelanjutan ke meja hijau ini bukan pada kasus penyidik KPK Novel Baswedan saja, melainkan kasus mantan dua pimpinan KPK lainnya, yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Sedangkan, Kepala Bareskrim Polri Komjen Budi Waseso menambahkan, Polri tidak keberatan dan siap menghadapi gugatan praperadilan yang dilayangkan Novel. Buwas, sapaan Budi Waseso, juga menantang Novel untuk membuktikan kebenaran dalam sidang praperadilan nanti. Ia kembali mengklaim bahwa Polri tidak mengkriminalkan Novel, seperti yang diopinikan. "Apa untungnya bagi polisi (mengkriminalkan)? Kita bekerja profesional," kata Buwas, Senin.
Pengamat hukum dan tata negara Universitas Hasanuddin Makasar Aminuddin Ilmar mengatakan, perdebatan apakah kasus Novel Baswedan termasuk kriminalisasi atau bukan, bisa dilihat dari hasil praperadilan. Menurutnya, proses hukum terkait kasus Novel memang harus tetap berjalan.
Saat ini, kata dia, sulit untuk menghentikan polemik antara Polri dan KPK. Karena, dia menilai, kedua lembaga tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda. "Polri bilang penangkapan Novel adalah proses hukum. KPK bilang itu adalah kriminalisasi," ujar Aminuddin. Perbedaan pendapat itu terjadi, kata Aminuddin, karena kedua lembaga memiliki derajat posisi yang sama.
Kisruh Polri versus KPK memanas menyusul aksi polisi pada Jumat (1/5) dini hari, sekitar pukul 00.30 WIB, menjemput paksa Novel. Kasus lama yang diungkit lagi ini terkait Novel diduga keras melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan atau seseorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 Ayat 2 KUHP dan atau Pasal 422 KUHP jo Pasal 52 KUHP.
Kasusnya terjadi di Pantai Panjang Ujung, Kota Bengkulu, pada 18 Februari 2004 atas nama pelapor Yogi Hariyanto. Novel Baswedan dituduh pernah melakukan penembakan yang menyebabkan tewasnya Mulya Johani pada 2004. Pada Februari 2004, Polres Bengkulu menangkap enam pencuri sarang walet. Setelah dibawa ke kantor polisi dan diinterogasi di pantai, keenamnya ditembak sehingga satu orang, yaitu Mulya Johani, tewas.
Lapor Ombudsman
Dari pihak Novel Baswedan, setelah mendaftarkan praperadilan, tim kuasa hukum bakal melapor ke Ombudsman RI pada Rabu (6/5). Laporan ini terkait dugaan maladministrasi dalam penangkapan dan penahanan penyidik KPK itu. Ketua tim pengacara Novel, Muji Kartika Rahayu, mengatakan, laporan ke Ombudsman merupakan langkah hukum selanjutnya setelah upaya praperadilan. Dua upaya hukum ini dinilai paling relevan atas perlakuan sewenang-wenang dari Bareskrim Polri kepada Novel.
Dari mana dugaan maladministrasi itu? Muji menerangkan, terkait surat penangkapan dan penahanan. Sebab di balik itu, kata Muji, ada dugaan penyalahgunaan wewenang. "Kita bisa lihat bersama secara gamblang adanya maladministrasi surat penangkapan, penahanan, dan juga abuse of power di situ yang dilakukan kepolisian," ujar aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini.
Menurut tim pengacara, penangkapan tersebut bukan bertujuan untuk penegakan hukum. Hal itu terlihat dari penangkapan dan penahanan didasarkan atas kasus yang disangkakan kepada Novel Baswedan atas nama korban Mulya Johani alias Aan dengan sangkaan pasal 351 ayat (1) dan (3).
Namun faktanya, yang dijadikan dasar dalam melakukan penangkapan justru surat perintah penyidikan lain yang memuat pasal yang berbeda, yaitu Pasal 351 Ayat (2) dan Pasal 442 juncto Pasal 52 KUHP.
Kemudian, dasar dikeluarkannya surat perintah penangkapan dan penahanan salah satunya adalah Surat Perintah Kabareskrim Nomor Sprin/1432/Um/IV/2015/Bareskrim tertanggal 20 April 2015. Hal ini tidak lazim karena dasar menangkap maupun menahan adalah Surat Perintah Penyidikan.
Kabareskrim bukan bagian dari penyidik yang ditunjuk untuk melakukan penyidikan. Hal ini menunjukkan Kabareskrim telah melakukan intervensi terhadap independensi penyidik terkait kebijakan penyidikan yaitu penangkapan dan penahanan.
Selanjutnya, terdapat serangkaian pernyataan kebohongan dari Mabes Polri kepada publik yang menutup-nutupi fakta sebenarnya terkait penangkapan dan penahanan. Dan juga perbedaan antara perintah Presiden dan pernyataan Kapolri tentang tidak adanya penahanan dengan fakta penahanan Novel. rep: Mas Alamil Huda, Rahmat Fajar c23/c32/antara ed: Stevy Maradona