Ketegangan di Laut Cina Selatan kian meningkat belakangan. Pemerintah Republik Rakyat Cina terus melakukan reklamasi di pulau dan wilayah karang yang disengketakan, sementara Amerika Serikat meningkatkan kegiatan militer di sekitarnya. Apa yang membuat Laut Cina Selatan sedemikian krusial? Wartawan Republika Fitriyan Zamzami menyambangi Kepulauan Hawaii di AS, Beijing dan Hainan di RRC, Masinloc dan Manila di Filipina, serta Singapura untuk mengupas kawasan itu. Berikut tulisan berserinya.
Mentari baru saja hendak terbenam di sebelah barat Qiong Hai, Provinsi Hainan, Cina, Rabu (13/5). Meski begitu, dermaga Tanmen di Qiong Hai justru tampak menggeliat. Perahu-perahu kecil dan kapal kayu berbendera Cina satu per satu lepas dari tambatnya, kemudian berbaris menuju lautan lepas.
Di mulut dermaga, riuh menjadi-jadi saat belasan perahu dan kapal menyulut petasan dan menembakkan meriam. "Kami, orang Tiong Hoa, berdoa dengan keramaian," kata Fu Dazhuang (49 tahun), nelayan di Qiong Hai, menjelaskan ritual meminta berkat tersebut kepada Republika, hari itu.
Seluruh armada yang bertolak hari itu akan mengais rezeki di Laut Cina Selatan. Jarak yang mereka tempuh bisa jauh ke selatan hingga mencapai Kepulauan Spratly yang kaya dengan aneka makhluk laut untuk ditangkap.
Kepulauan yang merentang seluas empat kilometer persegi di ujung selatan Laut Cina Selatan tersebut sejatinya masih jadi sengketa. Selain Cina, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam juga mencoba ambil klaim atas wilayah tersebut.
Kendati demikian, nelayan-nelayan di Qiong Hai tak pernah ada keraguan. "Menurut leluhur, air itu adalah air kami. Sudah sejak lama kami memancing di sana," kata Su Chengfen (80), salah seorang nelayan senior di Tanmen, kepada Republika dan sejumlah wartawan asing partisipan program Jefferson Fellowship 2015 yang diadakan lembaga nirlaba AS, East-West Center.
Ia menceritakan, sudah sejak berumur 13 tahun diajak orang tuanya melaut menggunakan kapal layar ke kepulauan yang oleh warga Cina disebut Nansha tersebut.
Saat ini, biaya untuk melaut ke Spratly sejatinya bukan murah untuk nelayan-nelayan dari Cina. Meski begitu, menurut Fu Dazhuang, negara memberikan subsidi bahan bakar minyak jenis solar yang tergolong besar dan para nelayan dari Cina bisa melaut sejauh-jauhnya.
Ia menuturkan, setiap tahun masing-masing kapal di Qiong Hai menerima subsidi mencapai 50 ribu renminbi atau kira-kira Rp 100 juta. Sementara, sekali melaut ke Kepulauan Spratly, para nelayan bisa memproleh keuntungan 40 ribu renminbi atau Rp 80 juta. Jumlah itu mereka kumpulkan dari sebulan melaut.
Tak heran, kondisi di sekitar dermaga Qiong Hai tergolong istimewa dibandingkan keadaan di kampung-kampung nelayan biasanya. Rumah-rumah nelayan di sana berdiri gagah dengan arsitektur modern. Terlihat mobil-mobil kelas menengah ke atas terparkir di halaman.
Tapi, nasib baik tak dibagi nelayan-nelayan Qiong Hai dengan nelayan dari negara lain yang juga mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan.
Macaryo Porones (60 tahun), nelayan dari Masinloc, Zambales, Filipina, sukar melupakan rasanya ditodong senapan AK 47 petugas patroli Angkatan Laut Cina di Scarborough Shoal, wilayah karang di Laut Cina Selatan sekira 200 mil laut dari Masinloc, pada 6 April 2013.
"Takut," ujar Macaryo dalam bahasa Tagalog yang artinya sama persis pada bahasa Indonesia. Saat itu, perahunya yang seukuran kira-kira 10 meter dikepung empat perahu cepat petugas penjaga perairan Cina berisi petugas berenjata lengkap. Seingat Macaryo, para prajurit saat itu memintanya pergi dengan alasan Scarborough adalah wilayah milik Cina. Perahu Macaryo didorong pindah hingga 10 mil keluar dari wilayah Scarborough.
Scarborough Shoal adalah wilayah batu karang di sebelah timur Laut Cina Selatan. Karang-karang yang menonjol di kawasan itu biasa digunakan tempat berlindung nelayan saat cuaca buruk. Filipina mengklaim bahwa wilayah itu masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka, sementara Cina menyelimuti wilayah itu dalam Sembilan Garis Putus-Putus (Nine Dash Line) yang mereka gunakan sebagai batas luar klaim di Laut Cina Selatan.
Kejadian pada 2013 memaksa Macaryo mencari ikan di wilayah perairan munisipal Masinloc, 12 mil laut dari daratan Filipina, yang tanpa sengketa, namun sepi tangkapan. Dari Scarborough, kata Macaryo, ia bisa memperoleh keuntungan 300 ribu peso Filipina sekali berlayar atau Rp 80 juta. Di luar wilayah itu, dapat setengahnya saja sudah terbilang beruntung.
Sehubungan biaya melaut tergolong tinggi, Macaryo akhirnya menyerah. Ia terpaksa menjual salah satu dari dua perahu yang ia miliki dan alih profesi. Ia saat ini berjualan di pasar dengan keuntungan sampai 4.000 peso Filipina atau Rp 1,2 juta per bulan.
Lain lagi kisah Viany Mula (43). Warga Masinloc tersebut juga pernah berhadap-hadapan dengan petugas keamanan Cina di Scarborough yang oleh warga Masinloc dikenal dengan nama Bajo de Masinloc pada Januari tahun lalu.
Ia ingat, saat itu ombak masih tinggi-tingginya di perairan dalam sekitar Scarborough. Sedang asik menombak ikan di Scarborough, perahu Viany didekati satu kapal perang Cina. Petugas di kapal itu kemudian memerintahkan Viany dan nelayan dari Filipina lainnya menjauh dari Scarborough.
Karena ombak tinggi, Viany tak berani balik arah dari perairan dangkal Scarborough. Kapal Cina kemudian menembakkan meriam air ke arah perahu Viany. "Daripada mati kena ombak tinggi, lebih baik kami terima saja tembakan meriam air," kata Viany.
Serupa dengan Macaryo, ia kemudian tak berani lagi menombak ikan di Scarborough. Sejak awal tahun ini, Viany beralih jadi pengemudi becak motor di Masinloc. Penghasilannya paling banyak 250 peso Filipina atau Rp 70 ribu per hari. "Hanya bisa beli nasi," kata Viany.
Keadaan sejatinya tak selalu demikian penuh ketegangan, baik di Spratly maupun Scarborough. Nelayan-nelayan di Cina maupun Filipina ingat bahwa sebelum konflik di Laut Cina Selatan memanas, mereka biasa mencari ikan bersama. Perahu-perahu dengan bendera negara-negara lain yang mengelilingi Laut Cina Selatan, termasuk Indonesia, mafhum saja berlayar berdampingan dan mencari ikan.
"Kapal Cina bantu kami ketika kami kekurangan kail atau mesin rusak. Kami juga bantu mereka," kata Rodenso Ecora (65), nelayan dari Masinloc. Menurutnya, baru sekitar 2011 kegiatan mencari ikan oleh kapal-kapal yang tak berbendera Cina diusir dari Scarborough.
Kendati terkena dampak, mereka sepertinya paham bahwa konflik di Laut Cina Selatan tak semata karena pemerintah masing-masing negara berebutan sumber protein dari laut. "Kalau hanya ikan, Laut Cina Selatan punya banyak untuk dipancing nelayan dari seluruh negara. Pasti ada rencana lain," kata Macaryo Porones.