JAKARTA - Banjir yang melanda sejumlah daerah belakangan disebut menjadi salah satu yang terparah di daerah masing-masing. Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yakin kerusakan lingkungan turut memicu hal tersebut.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung KLHK Hilman Nugroho, penyebab utama bencana banjir dan longsor belakangan didominasi kerusakan daerah aliran sungai (DAS). "Kerusakan tidak hanya di wilayah yang berada di kanan-kiri sungai, tapi terjadi di keseluruhan wilayah yang menampung, menyimpan, dan menyalurkan air hujan sebelum dikeluarkan melalui sungai, danau, atau laut," kata Hilman kepada Republika, Kamis (11/2).
Ia memaparkan, saat ini sebanyak 2.087 dari 17 ribu DAS seluruh Indonesia dalam kondisi rusak. Dilihat dari tutupan lahannya, terdapat 24,3 juta hektare yang berstatus kritis.
Sebab itu, tambah Hilman, diperlukan rencana pengelolaan yang terpadu agar masing-masing pemangku kepentingan bisa menyamakan tujuan. "Bendungan yang bisa mencegah banjir diperbaiki, sedimentasi sungai dikeruk, sementara perilaku kehidupan masyarakat juga harus berubah agar jangan menyebabkan banjir," katanya.
Menurut dia, upaya pencegahan banjir akan efektif dengan mengikuti Rencana Pengelolaan DAS (RPDAS) Terpadu. Dokumen tersebut harus dirancang multipihak untuk mengakomodasi semua kepentingan.
Menteri LHK Siti Nurbaya menambahkan, banjir bandang yang melanda sejumlah daerah terjadi karena kerusakan ekosistem. Jutaan pohon yang hilang akibat kebakaran hutan tahun lalu, kata dia, telah menyebabkan ekosistem menjadi rusak. "Langkah paling penting yang harus dilakukan adalah pemulihan dan mengontrol lagi ekosistemnya. Harus ditanam lagi pohon-pohonnya," kata Siti.
Sebelumnya, sejumlah lembaga juga menengarai bahwa banjir yang melanda sejumlah daerah tak terlepas dari kerusakan lingkungan hidup. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Barat menilai banjir yang melanda sejumlah daerah di provinsi tersebut disebabkan kerusakan lingkungan yang terjadi sejak lima tahun terakhir.
"Bencana ekologis di daerah ini adalah banyaknya aktivitas tambang di kawasan hutan dan daerah aliran sungai di Sumatra Barat sejak 2009," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Uslaini. Ia mengungkapkan, di Kabupaten Solok Selatan, yang paling parah terdampak banjir terdapat 22 izin usaha pertambangan (IUP). Sebagian lokasi-lokasi tambang tersebut terletak di kecamatan yang dialiri sungai.
Menurut Uslaini, aktivitas tambang terbuka yang dilakukan selama lima tahun terakhir membuka kawasan yang dulunya memiliki tutupan vegetasi. Hal itu memengaruhi kemampuan alam dalam air hujan dan aliran permukaan.
Sementara, di Aceh Utara, lokasi banjir besar lainnya, yang dituding menjadi sebab adalah masifnya pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit. Irsadi Aristora, direktur LSM Selamatkan Isi Alam dan Flora-Fauna (Silfa), mengatakan, aktivitas penebangan pohon di kawasan hutan-hutan Aceh Utara mengakibatkan air tidak dapat terserap ke tanah dengan baik. "Kalau dulu hanya terjadi banjir setiap lima tahun sekali, tapi sekarang musibah banjir bisa terjadi beberapa kali dalam satu tahun," tutur Irsadi.
Kasi Operasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Bengawan Solo di Bojonegoro, Mucharom, juga menilai faktor utama banjir bandang yang melanda Desa Sugihan adalah rusaknya hutan di daerah selatan. "Banjir bandang yang melanda di Desa Sugihan bisa berlangsung beberapa kali setiap musim hujan sebab hutannya sudah gundul," ucapnya, menegaskan.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo juga menilai penyempitan aliran sungai ikut memicu banjir di Sidoarjo. Kendati curah hujan yang tinggi juga menjadi faktor penentu, menurut Soekarwo, pendangkalan sungai membuat air sukar mengalir. "Tapi kita tidak bisa menyalahkan alam, sehingga harus ada langkah-langkah antisipasi. Khusus Sidoarjo, salah satunya butuh pelebaran dan perluasan aliran air," ujarnya. rep: Sonia Fitri, Umi Nur Fadhilah Halimatus Sadiyah/antara ed: Fitriyan Zamzami
***
KERUSAKAN DI LOKASI BANJIR
Aceh
Lahan Kritis: 8,26 persen
Lahan Sangat Kritis: 2,62
Lahan Potensial Kritis: 58,72 persen
Sumatra Barat
Lahan Kritis: 11,29 persen
Lahan Sangat Kritis: 3,36
Lahan Potensial Kritis: 52,53
Riau
Lahan Kritis: 19,84 persen
Lahan Sangat Kritis: 1,73 persen
Lahan Potensial Kritis: 38,46
Bangka Belitung
Lahan Kritis: 9,30 persen
Lahan Sangat Kritis: 3,63 persen
Lahan Potensial Kritis: 25,52 persen
Banten
Lahan Kritis: 3,56 persen
Lahan Sangat Kritis: 0,40 persen
Lahan Potensial Kritis: 38,39 persen
Jawa Barat
Lahan Kritis: 8,13 persen
Lahan Sangat Kritis: 3,63 persen
Lahan Potensial Kritis: 24,94 persen
Jawa Tengah
Lahan Sangat Kritis 0,15 persen
Lahan Kritis: 3,06 persen
Lahan Potensial Kritis: 26,58 persen
Jawa Timur
Lahan Sangat Kritis: 15,31 persen
Lahan Kritis: 10,08 persen
Lahan Potensial Kritis: 21,34 persen
Kalimantan Barat
Lahan Sangat Kritis: 0,75 persen
Lahan Kritis: 5,28 persen
Lahan Potensial Kritis: 68,99 persen
Sumber: Buku Basis Data Spasial Kehutanan 2015
KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Total DAS: 2.087
Jumlah DAS Rusak: 17 ribu
Sumber: Kementerian LHK