Kamis 05 Jan 2017 13:00 WIB

Kaum Intelektual tak Kebal Hoax

Red:

JAKARTA -- Penelitian yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menunjukkan tren mengkhawatirkan soal pengaruh berita palsu alias hoax. Kaum intelektual dengan gelar doktor dan profesor ternyata ikut menjadi korban berita-berita bohong tersebut.

"Pengaruh media sosial memang luar biasa, tinggal kasih foto dan judul langsung menyebar berita hoax tersebut," ujar Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid seusai peresmian kantor Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski), di Jakarta, Rabu (4/1). Mereka yang percaya pada kabar bohong tersebut, lanjut dia, sebagian besar adalah generasi transisi.

Generasi tersebut adalah yang semasa kecil belum bersinggungan dengan teknologi dan ketika dewasa mulai kenal dengan teknologi. "Biasanya, mereka yang percaya dengan kabar bohong tersebut adalah generasi transisi. Banyak malah profesor dan doktor yang percaya pada kabar bohong tersebut," tambah dia.

Hal itu berdasarkan penelitian yang dilakukannya bersama dengan Kemenkominfo pada 2015. Dari hasil penelitian tersebut, malah yang menjadi korban berita bohong di media sosial maupun pesan singkat penipuan malah orang-orang yang mempunyai tingkat intelektualitas yang tinggi.

"Anak-anak yang lahir sudah bersinggungan dengan teknologi tidak mudah percaya dengan kabar bohong itu. Anak-anak itu lebih selektif karena bisa melacak sumber berita itu dengan teknologi," kata Hilmar.

Kabar bohong tersebut, ia jelaskan, kerap dimanfaatkan sebagian orang untuk membenarkan opininya terhadap suatu hal. Hilmar menyebutkan, mereka bukan mencari informasi, melainkan konfirmasi.

Untuk menangkis banyaknya kabar bohong tersebut, dia menyebutkan, perlu dilakukan literasi media. Perlu disebarkan pengetahuan kepada masyarakat untuk memilah mana yang berita palsu dan yang bukan serta situs yang memberitakannya kredibel atau tidak. "Literasi media ini perlu diberikan kepada masyarakat," imbuh dia.

Sedangkan, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Irwansyah, mengatakan, fenomena informasi hoax menunjukkan belum baiknya penerimaan masyarakat dalam menyikapi informasi. "Konstruksi informasi atau berita hoax memang disengaja. Sebab, pada dasarnya memang ada kepentingan di balik produksi informasi ini," ujar Irwansyah ketika dihubungi Republika.

Maraknya berita palsu, menurut dia, disebabkan para pembuat memiliki akses ke dunia maya yang baik. Pelaku pun dinilai memiliki latar belakang pendidikan baik tetapi memproduksi  informasi yang dapat memicu emosi dan alam bawah sadar

Sejumlah motif diduga melatarbelakangi penyebaran informasi hoax ini, baik motif politik, ekonomi, psikologi, hingga ideologi. "Sementara itu, berdasarkan perspektif komunikasi, tujuan informasi hoax adalah mengaburkan, memanipulasi, mengalihkan, mengevaluasi, dan menantang kebenaran," ujar Irwansyah.

Dia melanjutkan, kondisi ini bukan terjadi akibat pergeseran kemudahan bermedia. Salah satunya sebab maraknya informasi hoax adalah terbukanya saluran kebebasan yang tidak dimiliki oleh jenis media lama dan konvensional.

Menurut Irwansyah, fenomena informasi hoax mulai menjadi tren ketika adanya pihak-pihak yang terganggu atau mulai merasa diganggu secara politik. Gangguan ini dianggap membahayakan bagi status quo atau keharmonisan pihak tersebut.

Ia mengatakan, fenomena hoax tak hanya memperlihatkan karakter masyarakat informasi yang belum teredukasi dengan baik. Bisa juga terjadi pada masyarakat yang sudah teredukasi baik tetapi belum bijak dalam menyikapi informasi.

Irwansyah menekankan, pemerintah sebaiknya tidak gegabah dalam menyikapi maraknya informasi palsu. Penertiban informasi hoax sebaiknya tidak hanya dilakukan di permukaan.  "Konten itu hanya tampilan yang ada di permukaan, teknologinya yang harus dikuasai dulu. Penertiban distribusi informasi hoax hanya akan menyelesaikan masalah secara permukaan saja," ujar Irwansyah

Ancaman berita-berita palsu yang marak belakangan juga diiyakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. "Penyebaran informasi dan berita-berita bohong (hoax) melalui media sosial juga dapat menyebabkan perpecahan, membahayakan persatuan dan kesatuan, Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dan munculnya radikalisme," kata Gatot dalam siaran pers yang diterima Republika kemarin.

Atas dasar itulah, Gatot meminta kepada prajurit dan PNS TNI untuk lebih cerdas dalam memilih dan memilah informasi. Gatot berharap para prajurit dan jajaran TNI lainnya bisa memilih berita positif dan bermanfaat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh berita-berita bohong. "Jangan mudah percaya terhadap berita bohong tersebut, percayalah kepada komandan satuanmu masing-masing," ucap Gatot.

Dewan Pers juga mengajak masyarakat untuk waspada dan mengecek kembali informasi yang diterimanya. Pengecekan kembali tersebut sebagai bentuk upaya pencegahan agar masyarakat tak begitu saja menelan berita ataupun informasi yang beredar baik melalui situs berita maupun media sosial.

"Preventif dengan upaya memperkuat ketahanan masyarakat supaya mereka tidak begitu saja percaya pada informasi yang beredar di berbagai situs yang tidak jelas. Karena itu, membiasakan mereka agar melakukan crosscheck," kata anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, kepada Republika, Rabu (4/3).

Selain mendorong masyarakat agar melakukan pengecekan kembali informasi yang diterima, ia juga mendukung langkah pemerintah yang melakukan tindakan tegas terhadap situs-situs yang menyebarkan informasi bohong. Tindakan tersebut, kata dia, dapat berupa pemblokiran terhadap situs tersebut maupun melakukan proses hukum terhadap para pelaku penyebar informasi hoax.

"Ada upaya yang kuratif dengan menindak pemblokiran, kemudian memproses hukum kepada mereka yang menari-nari dengan menggunakan informasi bohong, apakah untuk kepentingan ekonomi atau lainnya. Karena juga banyak situs yang mengandung konten negatif untuk mencari uang," kata dia.

Tak hanya masyarakat dan pemerintah yang harus aktif bertindak melawan berita-berita hoax, peran media pun dikatakannya cukup penting. Imam mengatakan, media juga harus memberikan berita-berita yang valid serta mendidik masyarakat bagaimana mengecek kembali berbagai informasi yang beredar.

"Semua elemen harus bahu-membahu, media juga harus menyebarkan informasi bagaimana mengecek, mengevaluasi, menanggapi, me-review terhadap informasi yang beredar. Itu media juga berperan. Selain itu, LSM atau pemerintah juga melakukan kegiatan bersama membuat masyarakat lebih waspada untuk turn back hoax," ungkap Imam. rep: Dian Erika Nugraheny, Dadang Kurnia Dessy Suciati Saputri /antara ed: Fitriyan Zamzami

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement