Kamis (14/8) lalu, untuk kesekian kalinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan oknum hakim ad hoc. Saat itu, yang digelandang ke rutan KPK adalah mantan hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor Bandung, Ramlan Comel. Ia diduga terlibat kasus suap perkara bansos Pemkot Bandung.
Sebelum Ramlan, KPK beberapa kali juga mengungkap kasus dengan keterlibatan hakim ad hoc di dalamnya. Ternyata, krisis hakim ad hoc tak hanya dalam soal integritas. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur, mengatakan, MA merasa khawatir dengan minimnya jumlah hakim ad hoc di pengadilan seluruh Indonesia. "Tahun lalu, kita menerima sekitar 300 pendaftaran seleksi hakim ad hoc, tetapi yang lulus hanya satu. Sehingga, kita khawatir benar dengan hal tersebut," ujar Ridwan Mansyur kepada Republika, Kamis (28/8).
Ia menuturkan, hal itu merugikan anggaran MA sejak penerimaan dan pengadaan hakim ad hoc. "Jadi, kalau kita menggelontorkan dana, tapi cuma dapat satu hakim bagaimana?" ungkapnya. Menurutnya, tahun ini, MA akan melakukan penerimaan hakim ad hoc pada Oktober dan November. Kendati demikian, ia pesimistis pendaftaran itu bisa menambah pasukan hakim ad hoc yang saat ini berjumlah 383 hakim.
Ridwan pun mengatakan, MA tidak dapat berbuat menyangkut hakim ad hoc. Pasalnya, MA hanya sebagai pengguna hakim ad hoc yang disediakan panitia seleksi independen.
Ia pun mempertanyakan keberadaan hakim ad hoc dalam sistem peradilan Indonesia. Pasalnya, keberadaan hakim ad hoc mulai menjadi beban bagi MA. Sulitnya rekrutmen dan minimnya jumlah hakim ad hoc membuat perkara di pengadilan-pengadilan yang ditangani hakim ad hoc menjadi menumpuk.
Hakim ad hoc dibentuk untuk membantu tugas hakim menangani perkara yang sifatnya khusus, seperti di Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan, dan Pengadilan Niaga. Menurutnya, kondisi menumpuknya perkara di pengadilan-pengadilan tersebut memberatkan pencari keadilan.
"Kita pikir masih perlu nggak sih adanya hakim ad hoc kalau bukan menjadi solusi," ungkapnya. Ia berpendapat, banyaknya pelamar-pelamar hakim ad hoc/ yang tidak memenuhi kriteria hakim ad hoc serta pola rekrutmen hakim ad hoc yang ketat membuat jumlah hakim ad hoc di peradilan-peradilan sangat minim.
Jalur karier
Komisioner Komisi Yudisial (KY) Bidang Perekrutan Hakim, Taufiqurrahman Syahuri, mengusulkan rekrutmen hakim ad hoc dilakukan melalui jalur rekrutmen hakim. "Ke depan gak usah minta masyarakat yang bukan hakim menjadi (hakim) ad hoc. Kita cari hakim ad hoc dari hakim. Suruh aja mereka daftar lagi untuk menjadi hakim ad hoc," ujar Taufiqurrahman Syahuri.
Ia menuturkan setelah terpilih, hakim ad hoc tersebut dikirim ke luar negeri untuk disekolahkan seperti hakim TUN (Tata Usaha Negara) pada angkatan pertama. "Zaman (mantan presiden) Soeharto hakim administrasi ada yang diambil dari hakim-hakim," ungkapnya.
Selama ini, menurutnya, kualitas SDM yang disiapkan untuk menjadi hakim ad hoc sangat langka. Ia mengiyakan, selama seleksi hakim ad hoc tahun kemarin, kualitas pelamar tidak memenuhi harapan. "Kalau ada (pengacara) yang bagus, mereka tidak mau daftar sebagai hakim ad hoc. Dosen pun ragu-ragu karena status PNS-nya terancam diberhentikan tetap bukan sementara," ungkapnya.
Taufiq mencontohkan terdapat dosen yang mengikuti seleksi, tapi berdasarkan LSM, dia tidak pernah membuat pernyataan antikorupsi, maka direkomendasikan untuk tidak diterima, padahal integritasnya bagus. "Kemarin ada yang dari Sumatra bagus, nilai tinggi, dia tidak memberi seminar korupsi, tidak masuk (menjadi hakim ad hoc)," katanya. rep:c75 ed: fitriyan zamzami