Republika/Yasin Habibi
Wapres Jusuf Kalla meminta lembaga penegak hukum bekerja sama mengungkap bandar besar narkoba.
JAKARTA--Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi mencurigakan bandar narkoba senilai Rp 3,6 triliun. Temuan itu pun telah diserahkan PPTAK ke Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk ditindaklanjuti. "Tindak pidana awal adalah peredaran gelap narkoba yang dikendalikan dari dua LP," kata Wakil Kepala PPTAK Agus Santoso, Kamis (21/4).
Agus menerangkan, awal pergerakan transaksi mencurigakan itu berawal dari dua lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Uang dari peredaran gelap narkoba tersebut sebagian masuk ke bandar judi dalam jaringan (online) yang kemudian disamarkan melalui bisnis money changer dan perdagangan internasional. Bisnis perdagangan internasional yang dimaksud tersebut berupa pembayaran tagihan "aspal" (asli tapi palsu) barang-barang konsumsi dan elektronik.
Agus mengungkapkan, transaksi tersebut ditransfer dari Indonesia menuju ke banyak negara. Deputi Pemberantasan BNN Inspektur Jenderal Polisi Arman Depari menyatakan, pihaknya telah menerima laporan transaksi mencurigakan itu dari PPATK. Arman mengungkapkan, indikasi transaksi jaringan tersebut berasal dari beberapa orang dan ada di beberapa bank di Indonesia, baik bank milik asing maupun pemerintah. "Transaksi bank tersebut melalui beberapa negara. Sudah ada yang diperiksa," kata Arman.
Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta BNN, kepolisian RI, dan kejaksaan bersama dengan PPATK menelusuri temuan aliran dana mencurigakan dari bandar narkoba sebesar Rp 3,6 triliun itu. "Selama itu ada hal-hal yang mencurigaan, tentu aparat BNN, kejaksaan, dan polisi wajib menelusuri saksi dan menindak hal itu," kata Kalla, Kamis (21/4).
Lapas selama ini memang dicurigai dan terbukti menjadi salah satu tempat bandar narkoba mengendalikan peredaran barang haram itu. Polres Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, pun menduga ada narapidana Lapas Kelas IIB Sampit yang mengendalikan bisnis narkoba dari balik penjara. "Kita indikasikan ada pengendalian narkoba dari dalam lapas," kata Kapolres Kotawaringin Timur AKBP Hendra Wirawan saat razia di Lapas Sampit, Kamis (21/4).
Polres Kotawaringin Timur bersama TNI, Brimob, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Kesehatan, dan instansi terkait menggeledah seluruh blok Lapas Sampit. Razia ini merupakan inisiatif pihak Lapas Sampit yang berkomitmen membersihkan lingkungan Lapas Sampit dari narkoba dan barang-barang terlarang masuk ke areal tersebut.
Narkoba menjadi fokus penggeledahan karena ada laporan masyarakat bahwa narkoba juga beredar di lembaga pemasyarakatan. Blok E yang dihuni 91 narapidana kasus narkoba diperiksa secara teliti disaksikan para narapidana. Tidak ada sabu yang ditemukan, hanya ada bong alat pengisap sabu yang diamankan. Namun, hasil pemeriksaan urine, sebanyak empat narapidana positif menggunakan narkoba.
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sampit Supari mengatakan, pihaknya selalu memeriksa dengan ketat barang bawaan pengunjung yang datang ke lapas. Namun, dia tidak menampik jika ada kemungkinan yang berhasil lolos karena disembunyikan dengan berbagai cara. "Ini komitmen Lapas Sampit perang terhadap narkoba. Jangan sampai ada pandangan bahwa lapas menjadi sarang narkoba dan tempat pengendalian narkoba yang ada di luar."
Belum lama ini, BNN mengamankan seorang bandar berinisial TG alias Tony dari Lapas Lubukpakam, Deliserdang, Sumatra Utara (Sumut). Kepala BNN Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso menjelaskan, selama 2016, BNN mengungkap empat kasus peredaran narkoba yang dikendalikan TG dari balik jeruji besi. "TG ini pemain lama. Saat ini, dia sedang menjalani hukuman yang kedua kali. Hukumannya sembilan tahun dan baru jalan lima tahun," kata Budi di Medan, Senin (11/4).
Menurut Budi, total barang bukti narkoba dari jaringan yang dikendalikan TG mencapai 97 kilogram sabu. TG memesan barang-barang haram jualannya dari seorang warga negara Malaysia berinisial B. Saat diinterogasi oleh Direktur Psikotropika dan Precusor BNN Brigadir Jenderal Polisi Anjan Pramuka Putra, Senin (11/4), TG mengaku mengendalikan peredaran narkoba untuk sejumlah daerah, termasuk Jakarta.
Tony menyebutkan, ia merupakan napi kasus narkoba yang harus menjalani hukuman penjara selama 12 tahun. Selain itu, Tony juga merupakan seorang residivis. Ia mengaku pernah masuk bui selama setahun karena terjerat kasus yang sama. "Saya sudah hampir enam tahun menjalani masa hukuman di sana," ujarnya. Issha Harruma/antara, ed: Andri Saubani