JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Kementerian Dalam Negeri mengawasi proses pengisian jabatan dan rotasi di Pemerintahan Daerah. Hal ini menyusul tangkap tangan KPK terhadap Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini karena terlibat suap jual beli pengisian jabatan di Pemkab Klaten.
"Kami mohon Kemendagri memperhatikan serius tentang pengangkatan posisi-posisi tertentu sebagaimana yang diamanatkan PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah karena banyak sekali formasi baru, baik promosi atau mutasi," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (31/12).
Menurut Syarif, pengisian dan penempatan jabatan di struktur pemerintah rawan terjadi suap jika sistemnya tidak terbuka dan transparan. Karena itu, ia juga meminta Kemendagri menyupervisi daerah terkait penempatan orang-orang tersebut.
"Kami harap, penempatan orang-orang di posisi tersebut melakukan sistem assessment dengan transparan. Jangan asal tunjuk atau berapa jumlah setoran dari orang yang ingin menempati jabatan tersebut," kata Syarif.
Syarif juga memperingatkan pemda lain agar tidak melakukan hal yang sama seperti halnya di Klaten. Hal ini karena KPK menengarai kemungkinan praktik jual beli pengisian jabatan, tidak hanya di Klaten, tapi juga daerah-daerah lain. Pasalnya, PP 18/2016 juga mengatur perihal adanya formasi-formasi baru di daerah.
"KPK akan lakukan koordinasi dengan tim Saber Pungli terkait jual beli jabatan karena bukan hanya di Klaten, tapi juga di daerah lain dan kalau masyarakat ada mengetahui membayar pejabat untuk jabatan tertentu tolong laporkan ke Dumas KPK atau tim Saber Pungli," kata Syarif.
KPK resmi menetapkan Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini (SHT) sebagai tersangka penerima suap pascatangkap tangan pada Jumat (30/12) kemarin. Bersama dengan itu, KPK juga menetapkan seorang PNS Kabupaten Klaten, Suramlan (SUL), sebagai tersangka pemberi suap.
Keduanya merupakan bagian dari delapan orang yang diamankan pada tangkap tangan. Yakni, empat PNS lainnya, Nina Puspitarini (NP), Bambang Teguh (BT), Slamet (SLT), dan Panca Wardhana (PW) serta dua swasta, Sukarno (SKN) dan Sunarso.
Kronologi penangkapan delapan orang tersebut diawali dengan penangkapan Sukarno di kediamannya dengan mengamankan uang Rp 80 juta. Kemudian, 15 menit berselang, tim menuju rumah dinas Bupati Klaten mengamankan tujuh orang lainnya.
"Dari rumah dinas diamankan uang sekitar 2 miliar dan dalam pecahan rupiah dan valuta asing, ada 5.700 dolar AS dan 2.035 dolar Singapura," kata Syarif.
Pemberian suap berkaitan dengan pengisian, promosi dan mutasi jabatan di Pemkab Klaten. Tapi, dari delapan orang, enam orang lainnya sementara saat ini masih berstatus sebagai saksi.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Lisman Manurung mengatakan, proses suap dalam pengisian jabatan di daerah dapat melumpuhkan proses pelayanan publik. Mutasi pejabat daerah idealnya digunakan untuk meningkatkan kinerja melayani masyarakat.
Menurut Lisman, tradisi jual beli jabatan saat menjelang mutasi pejabat daerah sudah lazim terjadi di sebagian besar daerah. Kondisi seperti ini dikhawatirkan menimbulkan kejenuhan pada kualitas individu yang memangku jabatan tertentu.
"Masalahnya, hampir di semua daerah, di semua tempat lazim terjadi suap pengisian jabatan. Jika hampir semua pejabat publik melakukan itu, kualitas maupun kuantitas pelayanan kepada berpotensi semakin buruk," ujar Lisman ketika dikonfirmasi Republika, Ahad (1/1).
Idealnya, proses mutasi dilakukan untuk menghindari kejenuhan, penyegaran, atau promosi yang bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat. Tapi, yang kini terjadi justru ketika pengumuman jadwal mutasi dilakukan, para pejabat bersiap memberikan sejumlah dana. Dana yang diberikan kepada kepala daerah itu bertujuan memuluskan mereka untuk menduduki jabatan yang diinginkan. rep: Fauziah Mursid, Dian Erika Nugraheny ed: Hafidz Muftisany