Selasa 03 Jan 2017 14:37 WIB

Moratorium Bebas Visa Diperlukan

Red:

JAKARTA — Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, sudah semestinya pemerintah mengevaluasi kebijakan bebas visa kunjungan (visa on arrival) 169 negara ke Indonesia. Hal ini menyusul meningkatnya pelanggaran keimigrasian pada 2016 sejak diberlakukannya kebijakan tersebut Maret 2016 lalu. Terbaru, 76 pekerja seks komersial (PSK) asal Cina diamankan Ditjen Imigrasi.

Hikmahanto menilai, tujuan dikeluarkannya kebijakan adalah mengejar jumlah wisatawan dari negara-negara tersebut. Tetapi, kenyataannya justru makin banyak pelanggaran yang ditimbulkan oleh warga negara asing (WNA) dari negara-negara tersebut.

"Memang harus dievaluasi, terutama negara-negara yang WNA-nya diketahui paling banyak melanggar dan menimbulkan masalah. Jadi, jangan semata-mata melihat jumlah wisata yang kita kejar, tapi kemanfaatannya juga,' kata Hikmahanto saat dihubungi Republika pada Senin (2/1).

Hikmahanto menekankan perlunya evaluasi kebijakan bebas visa kunjungan kepada negara-negara yang tidak memberi sumbangsih wisatawan besar ke Indonesia.

"Moratorium ke Cina dulu dan negara-negara yang menurut Indonesia GDP (gross domestic product) masyarakatnya tidak meyakinkan untuk berwisata ke Indonesia. Itu misalnya, negara-negara Afrika, Timur Tengah juga yang biasanya ke Indonesia untuk singgah sebelum ke Australia," kata Hikmahanto.

Pernyataan Hikmahanto diamini Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf. Menurut Dede, salah satu penyebab munculnya pelanggaran izin oleh tenaga kerja asing (TKA) karena kebijakan bebas visa. Dede meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan bebas visa atau melakukan pengetatan.

"Jadi, pemerintah harus meninjau kebijakan ini atau memperkuat pengawasan. Karena dampak ikutan negatifnya juga pasti ada, bukan hanya wisatawan," kata Dede Yusuf menegaskan, saat dihubungi melalui telepon seluler, kemarin.

Selain meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan bebas visa, Dede juga menekankan penyaringan terhadap WNA atau TKA yang masuk ke Indonesia. Selanjutnya juga harus ada sanksi yang tegas bagi mereka yang kedapatan melanggar atau menyalagunakan izin kunjungan. Terutama sanksi tegas bagi sponsor atau pengguna TKA ilegal tersebut.

Pelaku industri pariwisata juga turut meminta peninjauan kembali bebas visa. Wakil Ketua Asosiasi Travel Indonesia (Asita) Rudiana berpendapat, kebijakan bebas visa yang diberikan Indonesia untuk beberapa negara tampaknya perlu diperkuat oleh keamanan di dalam negeri. Rudiana menyebut, banyak kasus TKA yang bekerja dengan izin sebagai turis.

"Kita nggak mau yang sekarang lagi ramai mengenai TKA karena kebebasan visa kita dari Cina," ujar dia kepada Republika, Senin (2/1).

Ia mengakui, kebebasan visa memang berdampak pada volume kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia. Tahun 2016 lalu, Rudiana melanjutkan, Cina dan Australia menjadi negara asal wisman paling banyak di Indonesia.

Namun, ia meminta adanya pengkajian kembali terkait beberapa hal, terutama keamanan oleh pihak Imigrasi dan keuntungan yang didapat oleh Indonesia. "Apakah memang pantas (kebijakan bebas visa) karena kita ke negara Cina saja masih perlu visa?" ujarnya.

Menteri Hukum Yasonna H Laoly tidak sepakat kebijakan bebas visa dimoratorium. Ia menekankan, bukan kebijakan bebas visa yang harus dipermasalahkan, melainkan lebih ke pengawasannya.

"Yang penting adalah soal bebas visa itu pengawasan. Jadi, kalau orang asing yang masuk, datanya yang masuk sembilan juta, yang keluar juga harus 9 juta. Bahkan, lebih besar yang keluar karena mungkin itas (izin tinggal terbatas) keluar masuk perlintasannya," kata Yasonna.

Kebijakan bebas visa dari sejumlah negara, menurut Yasonna, murni untuk menggenjot jumlah wisatawan mancanegara. Kebijakan bebas visa ala Indonesia ia sebut masih terbatas jika dibandingkan negara tetangga.

"Kebijakan bebas visa untuk turisme. Masa Indonesia segede ini dengan banyak turisnya jumlah wisatawannya lebih kecil dari Malaysia? Malaysia juga ada bebas visanya. Singapura juga, mereka lebih bebas lagi, jadi saya kira soal pengawasannya saja," kata Yasonna. rep: Fauziah Mursid, Ali Mansur Melisa Riska Putri ed: Hafidz Muftisany

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement