JAKARTA -- Dua bulan terakhir, ada kata-kata yang kerap muncul dalam mesin pencari internal laman republika.co.id. Jika rentang pencarian dilebarkan sepanjang dua bulan belakangan dengan kata itu, ratusan berita dengan judul dan isi mengandung kata hoax muncul.
Sejak November lalu, setidaknya 66 kali situs berita tersebut menayangkan sangkalan untuk berita-berita palsu yang beredar di media sosial ataupun grup aplikasi percakapan. Jumlah itu bisa berkali lipat menjadi ratusan jumlahnya jika sanggahan dari berbagai pihak terkait satu berita palsu dimasukkan dalam perhitungan.
Mulai dari sangkalan perihal berita wafatnya tokoh tertentu, soal kondisi di negara lain, soal isu menyangkut kebijakan pemerintah, hingga tudingan terhadap kandidat pilkada ataupun tokoh nasional, sampai berita-berita palsu yang berpotensi memunculkan konflik di masyarakat.
Padahal, berita-berita palsu yang diklarifikasi tersebut sama sekali tak dimuat di republika.co.id ataupun dibuat wartawan situs itu. Artinya, banyak waktu dan sumber daya habis guna membersihkan sampah yang dibuat pihak-pihak lain sekadar untuk memberikan masyarakat informasi yang tepat.
Keadaan serupa agaknya juga dialami rerupa media arus utama lainnya. Dan, ia menggambarkan bagaimana masifnya berita palsu merangsek dalam kehidupan masyarakat, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Kabiro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Rikwanto menuturkan, berita hoax yang marak belakangan ini tidak hanya berkaitan dengan urusan politik, tapi juga berbagai persoalan yang lain. Masalah-masalah dibikin lewat berita palsu juga menyangkut hal-hal yang kecil.
"Segala macam. Masalah informasi tilang juga di-hoax. Keluarga orang juga di-hoax. Masalah tentang hari-hari tertentu juga di-hoax. Berita tak benar, disebarkan ke masyarakat sehingga memengaruhi pemikiran masyarakat," kata dia, di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (3/1).
Rikwanto mengatakan, motif pembuatan berita palsu pun bermacam-macam baik dari segi ekonomi maupun politik. Namun, ada juga tujuan yang memang hanya untuk bersenang-senang.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan, aparat kepolisian terus berupaya mencegah dan menindak keberadaan berita-berita palsu yang yang beredar di dunia maya. Namun, hal tersebut bukan perkara mudah. "Repotnya mereka sudah menggunakan mesin dan robot," ujarnya di Mapolres Cimahi.
Ia mengatakan, saat ini mereka yang menciptakan berita palsu sudah menggunakan jasa profesional seperti konsultan. Para pengguna berita palsu membayar dan menyerahkan konten yang diinginkan kepada konsultan tersebut.
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, mengamini penyebaran hoax di internet sudah sangat mengkhawatirkan. Tak hanya merugikan perorangan, berbagai penyebaran informasi negatif yang mengancam perpecahan bangsa pun semakin menjadi dan tidak terkendali. "Ini problem. Saya merenungi, lima bulan terakhir makin panas," ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil usai menerima perwakilan Masyarakat Anti Hoax (MAH), kemarin.
Ia mengklaim kali beberapa menjadi korban berita palsu yang berpotensi merusak kredibilitasnya sebagai kepala daerah. "Ada yang menggunakan foto saya, bikin kutipan yang tidak pernah saya katakan. Ini konsumsi politik, sampai ibu saya nanya," kata dia.
Oleh karena itu, menurut Emil, perlu upaya serius untuk menghadang serbuan berita bohong di dunia maya ini. Sebab, perlu strategi khusus untuk melawan serbuan hoax di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu yang paling utama, menurut dia, adalah dengan mengedukasi masyarakat agar lebih paham dalam menyaring informasi yang diterima. Saat ini, masyarakat tak bisa lagi sekadar mencari informasi, tapi juga mesti pandai memilah informasi. "Ini harus jadi budaya, jangan mengonsumsi yang semua kita dengar," kata dia.
Menurut perwakilan Masyarakat Anti Hoax (MAH), Catarina Widyasrini, saat ini berita palsu yang sering dimunculkan tentang politik dan agama. Sebelum-sebelumnya, berita palsu yang paling banyak dibuat adalah tentang kesehatan dan investasi. "Jadi, sangat berbahaya kalau berbicara politik dan agama," ujarnya.
Oleh karena itu, dia mengatakan, masyarakat harus mampu memilah informasi digital dengan baik. Salah satu caranya dengan memerhatikan situs sumber informasi.
Catarina mengatakan, jika situs tersebut sudah terkenal dan merupakan media massa yang diakui, maka warga tidak perlu meragukan kebenarannya. Namun, jika situsnya masih asing terdengar atau bahkan, media abal-abal, maka pengguna internet harus mau mengonfirmasi ulang untuk memastikan kebenarannya. "Selain itu, lihat juga judulnya. Biasanya kalau situs hoax, judulnya provokatif," kata dia.
Mantan pemimpin redaksi Republika Parni Hadi menyatakan, maraknya berita palsu harus dapat direspons dengan baik oleh semua pihak, termasuk media konvensional. Parni menilai media konvensional harus menjadi media penjernih dari beredarnya berita palsu di berbagai media sosial.
"Saya bilang ke Republika, juga media masa konvensional lainnya, mereka ini berfungsi sebagai media penjernih, clearing house menjelaskan, karena di media sosial itu kan tidak terverifikasi betul, yang menarik saja, tanpa dibaca ulang, lalu disebar," ujar Parni, kemarin.
Apalagi saat ini kata Parni, keberadaan media sosial memungkinkan semua orang dapat menginformasikan segala sesuatu yang belum tentu dipercaya kebenarannya. Informasi tersebut selanjutnya beredar bebas ke masyarakat tanpa saringan terlebih dahulu.
Saat itulah peran media konvensional sangat dibutuhkan untuk menanamkan literasi media kepada masyarakat. "Bahwa yang di-share media itu harus betul-betul, makanya perlu diperiksa ulang, cross check, double cek, berulang-ulang, karena menyangkut data atau keakuratan," kata Parni.
Ia menambahkan, salah satu faktor yang membuat berita palsu beredar luas dan mudah dipercayai masyarakat juga lantaran pendidikan rata-rata masyarakat di Indonesia yang belum tinggi. "Jadi mudah terhasut oleh berbagai pihak yang punya kepentingan," kata salah satu pendiri Republika tersebut. Sehingga, penting bagi media konvensional memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas. Umar Muchtar/Muhammad Fauzi Ridwan/Arie Lukihardiyanti/ Fauziah Mursid ed: Fitriyan Zamzami