JAKARTA -- Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Eddy Hussy mengatakan, sektor perumahan pada saat ini mengalami ekonomi biaya tinggi karena masih banyaknya permasalahan yang timbul dalam membangun rumah. "Ekonomi biaya tinggi terjadi akibat adanya inefisiensi di berbagai bidang," kata Eddy Hussy di Jakarta, Kamis (28/8).
Menurut Eddy, penyebab terjadinya ekonomi biaya tinggi, antara lain, karena panjangnya proses perizinan yang membuat ketidakjelasan dalam hal waktu dan biaya. Selain itu, ujar dia, infrastruktur yang kurang memadai khususnya antarpulau atau daerah yang mengakibatkan mahalnya barang kebutuhan. "Harga bahan bangunan di Papua dan Maluku contohnya, berbeda sangat jauh dengan daerah lainnya," ungkap Eddy.
Karenanya, ia menyarankan agar di kawasan perkotaan, pemerintah dapat membuat infrastruktur transportasi massal seperti MRT. Hal tersebut, lanjutnya, agar memudahkan warga untuk bertempat tinggal dekat dengan akses transportasi umum.
Sedangkan penyebab ekonomi biaya tinggi lainnya di sektor perumahan adalah tidak adanya kepastian hukum tentang hak tanah dan perizinan. Untuk mengatasi hambatan lahan, Wakil Presiden terpilih 2014-2019 Jusuf Kalla (JK) menginginkan masyarakat perkotaan agar dapat lebih membiasakan kultur tinggal di permukiman vertikal.
"Di wilayah perkotaan lahan sangat terbatas, sehingga satu-satunya cara adalah agar orang untuk hidup ke atas (permukiman vertikal) agar menghemat lahan," kata JK saat ditemui dalam kesempatan sama. Apalagi, ungkap JK, pada tahun 2020, sekitar 60 persen penduduk Indonesia akan bertempat tinggal di kota akibat derasnya arus urbanisasi.
Keterbatasan lahan tempat tinggal di wilayah perkotaan, lanjut JK, tidak terlepas dari karena semakin berkurangnya lahan pertanian, sehingga sebagian tenaga kerja beralih ke industri jasa di perkotaan. "Kalau di Jawa petani hanya punya 1/4 hektare, secara ekonomis itu hanya dapat menghidupi dua orang. Kalau dalam keluarga itu terdapat lebih dari itu maka orang-orang itu harus mencari pekerjaan di sektor lain, seperti industri dan jasa yang ada di kota," ucapnya.
Keterbatasan lahan tempat tinggal ini, menurut JK, berdampak pada kehidupan sosial masyarakat kota. "Mengapa orang-orang di kota besar seperti di Jakarta lebih mudah tersinggung karena semakin minimnya tempat untuk berinteraksi. Sedangkan tempat ruang terbuka hijau untuk bermain anak-anak juga semakin berkurang dan bangunan yang semakin menjamur adalah mal atau pusat perbelanjaan," paparnya.
Dalam kesempatan tersebut, JK juga mengungkapkan anomali di Jakarta bahwa orang yang mampu tinggal di dalam kota sedangkan orang yang tidak mampu tinggal di luar kota, sehingga pendapatan mereka habis untuk beban biaya transportasi. Untuk itu, ujar dia, orang-orang seperti di Jakarta harus terbiasa untuk tinggal di kawasan permukiman vertikal sebagaimana telah dirasakan masyarakat di sejumlah kota lainnya di kawasan ASEAN, seperti Singapura.
Lebih jauh JK menyebutkan, masih banyak hambatan dan kendala dalam pembangunan sektor perumahan sehingga mesti dapat diatasi secara bersama-sama oleh berbagai pihak. Ia mengingatkan bahwa sejumlah program seperti pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) harus tetap dilaksanakan.
Menanggapi pernyataan JK, Eddy menuturkan, program '1.000 Tower' yang pernah digagas oleh JK saat menjadi Wapres periode 2004-2009 sempat berjalan. "Namun, setelah tahun 2009, pembangunan rumah susun sederhana terkendala karena tidak ada lagi rapat koordinasi tingkat nasional," ungkapnya. antara ed: nidia zuraya