Rabu 23 Jul 2014 12:00 WIB

Tak Ada Tempat Bersembunyi di Gaza

Red:

GAZA -- Masyarakat sipil di Jalur Gaza tidak memiliki tempat bersembunyi dari serangan militer Israel. Hal itu diungkapkan PBB dalam pernyataannya, Selasa (22/7).  "Secara nyata, tidak ada tempat aman bagi warga sipil," ujar juru bicara PBB untuk Bantuan Kemanusiaan (OCHA), di Jenewa, kemarin.

Jumlah korban tewas di Gaza telah mencapai 600 orang pada Selasa. Sumber media Palestina, seperti dikutip Maan News, melaporkan, setidaknya 27 orang tewas kemarin. Di antara para korban yakni Ahmad Abu Seido yang tewas setelah Israel menggempur taman di timur Gaza. Korban lainnya yakni gadis berusia empat tahun, Muna Rami al-Kharawt, di utara Jalur Gaza.

Jasad dua wanita juga dievakuasi dari bangunan rumah mereka di permukiman Zaytoun. Keduanya diketahui bernama Fatima Hasan Azzam (70 tahun) dan Maryam Hasan Azzam (50 tahun).

Gumpalan asap hitam terlihat terus membubung tinggi di atas langit Gaza. Rudal dan misil Israel terus menghujani wilayah itu. Memasuki minggu ketiga atau hari ke-15, Israel meluncurkan serangan dari udara, laut, dan darat.  Israel tak hanya menghancurkan rumah penduduk, tetapi juga menembak ke arah rumah sakit.

Sekitar 500 rumah warga Palestina telah hancur akibat serangan udara. Sementara, 100 ribu warga Palestina telah mencari perlindungan di 69 sekolah-sekolah yang dikelola Badan Bantuan dan Pekerja PBB (UNRWA). "Mereka membutuhkan bantuan makanan air dan matras," ujar Laerke.

Namun yang paling menyedihkan, anak-anak harus  membayar mahal atas serangan Zionis tersebut. Mereka tak hanya menderita secara fisik tetapi mengalami gangguan psikologis.

Badan PBB untuk Anak-Anak (UNICEF) memperkirakan terdapat 121 anak-anak yang tewas sejak serangan yang dilakukan Israel pada 8 Juli silam.  Lebih dari 900 bocah juga terluka.

Dalam 24 jam terakhir, 28 anak-anak dinyatakan tewas. Sebanyak 20 di antaranya berasal dari Kota Shujaiyyah yang dikepung Israel. Menurut UNICEF, sepertiga dari korban sipil merupakan anak-anak.

"Ini merupakan angka tertinggi kematian anak-anak sejak adanya Operation Cast Lead. Ini merupakan angka yang besar dan meningkat, dan lebih mengkhawatirkan, 76 anak-anak tewas dalam tiga hari," kata Ivan Karakashian dari Pertahanan Anak-anak Internasional Seksi Palestina. 

Pada 16 Juli, empat anak-anak berusia sembilan hingga 11 tahun telah tewas akibat gempuran militer Israel. Saat itu, mereka tengah bermain di pantai di Kota Gaza, yang merupakan salah satu wilayah terbuka dan dapat diakses dengan mudah oleh anak-anak dan orang dewasa.

Beberapa hari kemudian, tiga anak-anak berusia sekitar 7 hingga 10 tahun tewas ketika memberi makan bebek di atap rumah mereka di Kota Gaza. Pada Senin, 5 anggota keluarga al-Yaziji, 9 keluarga al-Qassas, 11 keluarga Siyam, dan sedikitnya 26 anggota keluarga Abu Jami dilaporkan tewas.

"Tak ada tempat yang aman bagi anak-anak saat ini, tak ada tempat yang aman juga untuk melarikan diri. Israel mengatakan akan melakukan target operasi, menyerang dengan hati-hati, tetapi kondisi ini sangat sulit untuk dimengerti ketika Anda mengetahui banyaknya korban wanita dan anak-anak," jelas Karakashian.

Monica Awad, juru bicara UNICEF, mengatakan, 72 ribu anak-anak sangat membutuhkan dukungan psikologi sosial. Namun, lima tim mereka di Gaza menghadapi rintangan dan terancam menjadi target militer Israel.

Lebih dari 1,2 juta orang tidak bisa mendapatkan air karena rusaknya pipa dan listrik yang sering padam. Awad mengatakan, anak-anak berisiko menderita karena kekurangan air atau menderita penyakit yang berhubungan dengan air.

Di sisi Israel, mereka hanya kehilangan 29 orang yang terdiri dari 27 tentara dan dua sipil. Meski demikian, itu merupakan korban terbesar dibandingkan serangan 2008 lalu.

Tentara hilang

Secara terpisah, Israel mengakui tentaranya yang hilang, Selasa (22/7). Tentara tersebut bernama Oron Shaul. Dua hari sebelumnya, sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, mengaku telah menangkap tentara Israel bernama Shaul Aron. Al-Qassam bahkan menyebut nomor seragam tentara Israel tersebut.

Tak disebutkan apakah korban masih hidup atau sudah tewas. Dalam pernyataannya Selasa kemarin, Israel mengatakan, enam tentara mereka yang tewas akibat serangan pejuang Palestina telah berhasil diidentifikasi.

Prajurit Israel itu tewas ketika kendaraan bersenjata yang mereka tumpangi diserang. Saat kejadian ada tujuh tentara di kendaraan tersebut. Surat kabar Israel, Haaretz, melaporkan, tentara Zionis telah hilang dan diyakini tewas setelah kendaraan mereka diserang. Channel 10 News Israel mengabarkan, militer yakin orang yang dinyatakan diculik tersebut terbunuh bersama enam rekannya pada Ahad.

Upaya diplomasi untuk melakukan gencatan senjata terus dilakukan. Namun, sepertinya belum bisa tercapai dalam waktu dekat. Gencatan senjata kemanusiaan yang diusulkan tak kunjung disepakati. Haaretz melaporkan, Israel menolak gencatan senjata selama lima jam yang sebelumnya diusulkan.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) John Kerry meminta Israel untuk melakukan gencatan senjata. Ia juga mengadakan pertemuan dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon di Kairo untuk membicarakan hal tersebut.

Kerry mengatakan, AS sangat prihatin dengan terus meningkatnya korban sipil Palestina di Jalur Gaza. Namun, ia tetap menekankan, operasi militer Israel dilakukan secara sah karena hal itu merupakan bagian dari upaya pertahanan diri. "Kami sangat prihatin dengan warga di Gaza yang harus terkena serangan pertahanan diri Israel. Tidak ada negara yang dapat berdiri dengan serangan yang mengancam mereka," ujar Kerry, seusai pertemuan di Kairo, dilansir Al Ahram, Senin (21/7).

Menteri Kehakiman Israel Tzipi Livni mengatakan, gencatan senjata tidak akan tercapai dalam waktu dekat. Sedangkan, Hamas mendesak Israel dan Mesir mengakhiri blokade Jalur Gaza dan membebaskan ratusan warga Palestina yang ditahan.

n c66/c83/c92 ed: teguh firmansyah

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement