Kamis 17 Dec 2015 13:00 WIB

Sengketa Laut Cina Selatan tidak akan Selesai?

Red: operator
Salah satu sudut Laut Cina Selatan.
Foto: Rti.org.tw
Salah satu sudut Laut Cina Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID,Sengketa Laut Cina Selatan tidak akan Selesai?


Sengketa Laut Cina Selatan (LCS) diramalkan tidak akan selesai, setidaknya dalam waktu dekat. Cina mengklaim hampir 95 persen perairan Laut Cina Selatan. Sejumlah wilayah tumpang-tindih dengan klaim negara lain, di antaranya Filipina, Vietnam, Brunei, Taiwan, dan Malaysia.

Klaim Cina didasarkan pada sembilan garis putus-putus yang digambarkan dalam peta sejarah mereka. Beberapa tidak sesuai dengan Konvensi PBB tentang hukum laut United Nation Convention on the Law Of Sea (UNCLOS) yang berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil laut. Semua negara, kecuali Cina tentu saja, menyebut klaim Cina tidak sesuai dengan hukum internasional.

Menurut Deputi Direktur Studi Perbatasan Cina di Akademi Ilmu Sosial Cina, Li Guoqiang, Cina mengklaim 1,5 juta kilometer persegi wilayah ZEE negara lain yang tumpang-tindih dengan sembilan garis putus-putus. Saat membuat peta garis putus- putus pada 1947, Cina belum menentukan koordinat yang presisi terkait jangkauan geografis klaim Cina.

Laut Cina Selatan adalah perairan strategis dengan potensi luar biasa. Ia menjadi jalur utama perdagangan yang bernilai sekitar 5 triliun dolar AS per tahun, kaya akan ekosistem laut, mineral, sumber daya alam, perikanan, kelautan, dan lain sebagainya.

Persengketaan menegang dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena aktivitas masif yang dilakukan Cina di wilayah sengketa. Cina mulai melakukan reklamasi terumbu karang di Kepulauan Spratly juga Paracels pada 2014 dan membuatnya menjadi pulau buatan. Kedua wilayah ini diklaim oleh negara lain.

Meski tidak berpenghuni, Paracels dan Spratly kaya akan sumber daya di sekitar  mereka. Cina mengeluarkan peta klaim perairannya pada 1947 yang menunjukkan  bahwa kedua kepulauan itu masih dalam wilayah teritorialnya.

Namun, Vietnam mengatakan bahwa Cina tidak pernah mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau sebelum tahun 1940-an. Pemerintah Vietnam mengatakan, mereka telah aktif di sana sejak abad ke-17 dan memiliki dokumen sah untuk membuktikannya.

Filipina juga menegaskan keberatannya. Cina dan Filipina sama-sama mengklaim Scarborough Shoal yang berada di dekat Spratly. Letaknya 100 mil dari Filipina dan 500 mil dari Cina. Saat Cina menggencarkan aktivitas di kepulauan Spratly, Filipina mengancam mengadukannya pada PBB.

Malaysia dan Brunei juga mengklaim LCS berdasarkan UNCLOS. Brunei tidak mengklaim salah satu pulau yang disengketakan, tapi Malaysia mengklaim sejumlah kecil pulau di Spratly. Sengketa dengan Indonesia sempat mencuat di Kepulauan Natuna. Li Guoqiang mengatakan, ada seluas 50 ribu km persegi wilayah tumpang-tindih antara klaim Cina dan ZEE Indonesia.

Namun, wilayah daratan Kepulauan Natuna tidak masuk ke dalamnya. Kementerian Luar Negeri Indonesia juga menegaskan bahwa Natuna tidak termasuk wilayah sengketa.

Aktivitas Cina di LCS membawa kekhawatiran internasional tentang kebebasan navigasi. Beberapa bulan lalu, AS resmi berpatroli di sana untuk memastikannya. Cina keberatan atas keterlibatan AS di wilayah itu dan mendesaknya segera hengkang. AS menolak dan menuduh Cina memiliterisasi pulau buatan.

ASEAN telah mendesak penerapan kode etik yang mengatur kestabilan di LCS. Namun, hingga saat ini, rencana kode etik yang sudah berumur 13 tahun itu masih terhambat.

Pengamat hubungan internasional dari CSIS Rizal Ramli menilai, Indonesia sebagai pihak netral harus memulai inisiatif merancang kode etik. "Seharusnya, Kementerian Luar Negeri Indonesia bisa memulai," kata dia. 

Menurutnya, Indonesia adalah negara yang bisa membujuk Cina untuk sepakat dalam pembentukan kode etik. Indonesia juga memiliki tanggung jawab untuk persatuan ASEAN. 

Indonesia bisa mencari mandat dari negara-negara anggota ASEAN yang bersengketa untuk mulai memimpin proses penyelesaian sementara masalah LCS. Rizal menilai, permasalahan dalam sengketa LCS tidak akan pernah selesai. 

"Kode etik adalah satu satu usaha untuk mengatur apa yang boleh dan tidak, membangun kestabilan, dan mencegah insiden," kata Duta Besar Indonesia untuk Inggris ini.

Ia menilai, upaya Filipina untuk mengajukan arbitrase pada PBB tidak akan berimbas pada Cina. Penguatan hubungan dengan Amerika Serikat pun tidak akan membuat Cina mundur atas klaimnya. "Kita seharusnya bisa memulai aksi," kata Rizal.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement