WASHINGTON -- Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump ternyata memilih Twitter untuk menyentil lembaga intelijen negaranya. Ia mengisyaratkan, bukti keterlibatan Rusia dalam peretasan hasil pemilihan presiden AS adalah hasil jadi-jadian lembaga-lembaga intelijen AS.
"Pengarahan 'intelijen' tentang 'peretasan oleh Rusia' ditunda hingga Jumat, mungkin masih perlu waktu lagi untuk mengarang kasusnya. Sangat aneh!" demikian cicitan Trump di Twitter, Selasa (3/1), yang dimuat the Independent.
Cicitan itu tentu langsung mengundang reaksi dari para petinggi intelijen AS. Mereka mengatakan kepada media seperti CNN dan NBC, para kepala lembaga intelijen National Security Agency (NSA), Central Intelligence Agency (CIA), Director of National Intelligence (DNI), dan Federal Bureau of Investigation (FBI) memang selalu menjadwalkan pengarahan (briefing) setiap Jumat dan bukan sengaja menunda.
Ketua Komisi Intelijen di Senat Mark Warner juga mengingatkan, Trump seharusnya lebih menaruh hormat kepada para profesional bidang intelijen. Warner juga memilih Twitter untuk mencicitkan pendapatnya.
"Sungguh berharap bahwa PEOTUS (President-elect of the United States atau presiden terpilih AS—Red) lebih menghormati para tenaga profesional intelijen kita."
Trump yang meragukan soal tudingan keterlibatan Rusia dalam peretasan hasil pemilu menyiratkan akan membahas topik ini dengan lembaga intelijen AS pada Selasa atau Rabu (4/1). Dengan cicitannya di Twitter, ia mengisyaratkan tidak akan berkomentar sampai mendapat pengarahan dari para pejabat intelijen.
Trump dijadwalkan menggelar konferensi pers pada 11 Januari. Dalam acara itu, ia diharapkan akan membahas janjinya untuk memisahkan urusan kerajaan bisnisnya dari urusan negara. Isu lain yang diperkirakan akan dibahasnya adalah yang terkait Rusia.
Cicitan Trump terbaru ini muncul di tengah dugaan bahwa Pemerintah Rusia mendukung peretasan terhadap laman-laman politik AS dan sejumlah akun surat elektronik menjelang pemilu November lalu.
Peretasan itu diyakini menguntungkan Trump. Peretasan itu membuat Presiden AS Barack Obama mengusir 35 diplomat AS sebagai bagian dari bentuk sanksi terhadap Rusia.
"Seluruh warga Amerika harus waspada terhadap aksi yang dilakukan Rusia," ujar Obama yang mengklaim bahwa pencurian data dan serangan siber yang ditemukan "hanya dapat terjadi jika diarahkan oleh petinggi di Pemerintah Rusia".
Namun, Trump terang-terangan menampik penilaian yang disampaikan pendahulunya itu. Ia pun mengangkat isu di Twitter.
"Jika Rusia, atau entitas lain yang meretas, mengapa Gedung Putih harus menunggu sekian lama untuk bertindak?" tulisnya pada Desember. "Mengapa mereka baru mengeluh setelah Hillary kalah?"
Trump pun berulang kali memuji Presiden Rusia Vladimir Putin. Ia menyebut keputusan Putin untuk tidak balas mengusir diplomat AS dari Rusia sebagai langkah luar biasa. reuters ed: Yeyen Rostiyani