NAYPYIDAW -- Human Right Watch (HRW) menyatakan laporan penyelidikan kekerasan di Rakhine State cacat metodologi. Pemerintah Myanmar dinilai sedang mencoba menutupi pelanggaran yang dilakukan terhadap warga sipil di Rakhine.
"Ini adalah contoh klasik dari kesimpulan politik untuk menegaskan bahwa situasi di sana tidak begitu buruk yang dirancang untuk menghadang tekanan masyarakat internasional," kata kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Amerika Serikat (AS) itu, dikutip Aljazirah.
Dalam sebuah laporan, komisi bentukan pemerintah yang menyelidiki insiden kekerasan di Rakhine State membantah pasukan keamanan Myanmar telah melakukan pembantaian terhadap Muslim Rohingya. Laporan yang dikeluarkan pada Rabu (4/1) itu juga menyatakan, komisi tidak menemukan bukti adanya pelanggaran hak asasi.
"Populasi penduduk Bengali bertambah di Maungdaw, populasi juga meningkat di Mawlawi. Adanya masjid dan bangunan tempat beribadah di daerah kerusuhan adalah bukti bahwa tidak ada kasus genosida dan penganiayaan berdasarkan agama," kata komisi itu dalam sebuah pernyataan yang disiarkan media lokal.
Komisi tersebut dipimpin oleh seorang mantan jenderal militer bernama Myint Swe yang sampai saat ini masih berada dalam daftar hitam Washington. Swe menyatakan, tidak menemukan bukti yang cukup atas kasus pemerkosaan, pembakaran, penangkapan, dan penyiksaan terhadap Muslim Rohingya.
"Tidak ada kasus gizi buruk yang ditemukan di sini karena kondisi daerah ini menguntungkan nelayan dan petani," kata laporan itu, meskipun organisasi bantuan internasional menyatakan, ada puluhan ribu orang yang kekurangan makanan di Rakhine.
Komisi hanya mengatakan, tindakan hukum telah diberikan kepada 485 warga sipil terkait insiden di Rakhine. Namun, mereka tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Laporan komisi itu disampaikan beberapa hari setelah sebuah video muncul dan menunjukkan sejumlah polisi memukuli serta menendang warga sipil dari kelompok minoritas Rohingya. Pemerintah Myanmar mengklaim telah menahan empat petugas polisi yang berada di dalam video tersebut.
Wakil Direktur HRW Asia Phil Robertson mengatakan, komisi itu merupakan strategi Pemerintah Myanmar untuk membersihkan tuduhan-tuduhan miring. Ia mengaku, sangat terkejut mengetahui komisi tersebut bisa menyimpulkan etnis Rohingya tidak dianiaya hanya melihat dari keberadaan masjid.
"Dilihat oleh apa yang tertulis dalam laporan, komisi lebih banyak menyangkal tuduhan daripada serius menyelidiki dan mengungkap pelanggaran hak asasi terhadap Rohingya," kata dia.
Pendiri kelompok Fortify Right, Matthew Smith, menambahkan laporan komisi itu bertentangan dengan data-data yang dikumpulkan oleh organisasi kemanusiaan. Organisasi-organisasi kemanusiaan dengan jelas banyak mewawancarai warga sipil yang melarikan diri ke Bangladesh.
"Militer telah melakukan kejahatan dan kekejaman, lalu komisi ini mencoba mengaburkannya. Pemerintahan yang dipimpin oleh Suu Kyi telah melancarkan kampanye propaganda yang memalukan," ungkap Smith.
Puluhan ribu warga Rohingya mendapat perlakuan kasar dari militer Myanmar dan penduduk mayoritas Buddha. Mereka telah banyak melarikan diri ke Bangladesh sejak militer Myanmar melakukan serangan mematikan pada Oktober lalu.
Sebanyak 84 orang tewas dalam serangan itu dan 34 ribu lainnya melarikan diri. Warga yang berhasil melarikan diri ke Bangladesh mengatakan, di Rakhine mereka menghadapi pemerkosaan, pembakaran rumah, dan penyiksaan yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar.
Pemerintah Myanmar, yang dipimpin oleh pemenang Nobel Aung San Suu Kyi membantah semua tuduhan yang disangkakan kepada militer. Namun, pemerintah juga tidak menghiraukan tekanan masyarakat internasional untuk melindungi kaum minoritas Rohingya dengan menutup-nutupi akses media dan bantuan kemanusiaan.
Myanmar menolak mengakui Rohingya sebagai salah satu etnis minoritas di negara mereka. Myanmar juga tidak menggambarkan etnis minoritas itu sebagai bagian dari Bengali atau imigran ilegal dari Bangladesh.
Lebih dari 120 ribu etnis Rohingya telah terperangkap di kamp-kamp pengungsian kumuh Rakhine sejak 2012. Mereka mendapat penolakan kewarganegaraan dan tidak mendapatkan akses ke perawatan kesehatan serta pendidikan. rep: Fira Nursya’bani, ed: Yeyen Rostiyani