Sabtu 07 Jan 2017 18:00 WIB

Isu Pelajaran Bahasa Arab Berbuntut Heboh

Red:

Akibat isu ada kelas pelajaran bahasa Arab, Dewan Daerah di Distrik Var, Prancis selatan, Sekolah Dasar Reynier didatangi polisi. Menurut media lokal La Chaîne Info (LCI), Wakil Wali Kota Six-Four-Les-Plages, Jean-Sébastien Vialatte, telah mengonfirmasi adanya petugas kepolisian yang dikirim ke Reynier. Polisi mendatangi sekolah itu sebanyak dua kali pada November lalu.

Vialatte mengatakan, dewan merasa khawatir dengan adanya pelajaran pilihan bahasa Arab yang diadakan di luar jam sekolah. Ia menuturkan, dewan juga merasa keberatan akan adanya guru yang bukan pegawai negeri.

Informasi kedatangan polisi ke sekolah dua bulan lalu itu terungkap pada Rabu (4/1). Seorang pengacara Prancis membeberkan dokumen gugatan hukum yang gagal dilayangkan dewan ke pengadilan untuk menghentikan kelas bahasa Arab.

Pada September 2016, sebuah foto milik seorang orang tua siswa dari sekolah Reynier ramai dibagikan di media sosial. Dalam foto tersebut, terdapat keterangan palsu yang mengatakan kelas bahasa Arab wajib diikuti seluruh siswa, yang kemudian memicu kemarahan warga Prancis dan pihak populis.

Termakan klaim palsu tersebut, seorang politisi lokal, Frédéric Boccaletti, ikut memberikan komentar. Anggota dari Front Nasional (FN) itu menyalahkan Menteri Pendidikan Prancis kelahiran Maroko, Najat Vallaud-Belkacem, dalam memaksakan pelajaran bahasa Arab untuk anak-anak Prancis.

Boccaletti juga menuduh pejabat setempat, Vialatte, telah ikut terlibat dalam mengizinkan kelas bahasa Arab untuk bisa dilakukan di sekolah.

Insiden sekolah Reynier terjadi di tengah ketegangan terhadap minoritas Muslim di Prancis, terutama terhadap imigran dari Afrika Utara dan keturunannya. Prancis telah melarang pemakaian hijab oleh anak-anak Muslim di sekolah-sekolah dan melarang penggunaan cadar di tempat umum. Beberapa sekolah bahkan telah menghapus pilihan menu makan malam tanpa daging babi, yang biasa dipilih oleh siswa Muslim.

Warga Prancis memiliki pandangan keras terhadap Muslim setelah mendapat sejumlah serangan dengan pistol, pisau, hingga bom, yang dilakukan militan ISIS. Pemerintah Prancis menegaskan akan mempertahankan karakter sekularitas negara mereka.

Aktivis Muslim Prancis, Yasser Louati, mengatakan insiden di sekolah di Six-Four-Les-Plages mencerminkan adanya rasialisme yang didukung oleh negara.

"Mengirim polisi untuk memastikan kelas bahasa Arab tidak diadakan, menunjukkan betapa besar kebencian dari institusi pemerintah terhadap Arab," kata Louati, dikutip Aljazirah.

Ia menambahkan, kasus-kasus Islamofobia lainnya banyak ditemukan di Prancis. Pada 2015, ada kasus anak-anak sekolah dasar dihina, diserang, dan bahkan dibawa ke polisi oleh guru mereka.

"Kemudian, kami mendapatkan kasus gadis sekolah yang dilarang sekolah karena mengenakan rok panjang. Ada pula larangan menyediakan makanan pengganti bagi siswa Muslim dan Yahudi," ungkap dia.

Louati mengatakan, para pejabat Prancis tidak berbuat banyak untuk mengatasi masalah tersebut. Mereka justru sering mendukung sikap Islamofobia yang membuat warga semakin benci terhadap Muslim.

Beberapa bulan lalu, Menteri Urusan Perempuan Prancis, Laurence Rossignol, turut melayangkan komentar pedas terhadap perempuan Muslim. Ia membandingkan perempuan Muslim yang mengenakan hijab dengan "negro Amerika" yang banyak dijadikan budak.

"Satu-satunya solusi untuk Muslim Prancis dan setiap warga negara agar mencintai keadilan dan kesetaraan adalah bersatu dan terlibat dalam pengambil keputusan," ujar Louati.

Menurutnya, pemilihan presiden dan parlemen Prancis yang akan datang adalah kesempatan untuk menghilangkan kebencian terhadap Muslim. Ia mengatakan, tak ada seorang pun masyarakat yang dibangun di atas kebencian. n ed: yeyen rostiyani      Oleh Fira Nursya'bani, ed: Yeyen Rostiyani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement