Kamis 25 Aug 2016 18:00 WIB

TAMKINIA- LKM dan Sektor Riil Tangguh Krisis

Red:

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan basis kekuatan ekonomi ke rak yatan yang telah mampu mem buktikan eksistensinya dalam per ekonomian di Indonesia. Sektor ini men jadi wadah bagi penciptaan lapang an kerja yang produktif. UMKM ini berciri kan sebagai usaha yang bersifat padat karya, tidak membutuhkan persyaratan tertentu seperti tingkat pendidikan, ke ahlian (keterampilan) pekerja, dan penggunaan modal usaha relatif sedikit serta teknologi yang digunakan cenderung se derhana. Peran sektor ini masih meme gang peranan penting dalam perbaikan perekonomian Indonesia, baik ditinjau dari segi jumlah usaha, segi penciptaan lapangan kerja, maupun dari segi pertumbuhan ekonomi nasional yang diukur dengan Produk Domestik Bruto.

Secara umum, yang mendominasi UMKM ini adalah usaha mikro, dimana dapat digolongkan dalam sektor informal sebagai istilah yang biasa dipergunakan untuk menunjukan sejumlah kegiatan ekonomi skala kecil. Sektor informal ini mencakup berbagai macam kegiatan di bidang usaha antara lain: usaha perdagangan seperti (pedagang keling; pedagang kaki lima) demikian pula di bidang usaha jasa misalnya jasa angkutan. Sektor informal ini terutama melayani kebutuhan golongan ekonomi lemah, yang sebagian besar berpusat pada penyedian kebutuhan pokok bagi golongan berpenghasilan rendah. Usaha mikro ini berperan penting dalam perkembangan ekonomi nasional. Kinerja usaha mikro dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami pening katkan. Hal ini terbukti dari jumlah unit usaha, dan jumlah tenaga kerja.

Kenyataannya, perkembangan usaha mikro yang meningkat dari segi kuantitas, belum diimbangi oleh meratanya peningkatan kualitas usaha mikro. Permasalahan utama yang dihadapi sebagian besar usaha mikro adalah keterbatasan modal. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi usaha mikro untuk tetap mampu mempertahankan keberadaannya dan mampu berkembang dengan keterbatasan dan berbagai kendala yang ada. Sebagian besar pelaku UMK yang berlokasi di pedalaman atau pedesaan tidak pernah mendapat kredit dari bank atau lembaga keuangan lainnya, meskipun telah banyak skim kredit khusus bagi pengusaha kecil. Pelaku UMK dianggap unbankable oleh lembaga keuangan, karena kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah dan tidak memiliki agunan. Oleh karena itu, akses pelaku UMK terhadap lembaga keuangan cenderung rendah dan hanya mengandal kan modal yang mereka miliki.

Adanya ketimpangan akses terhadap modal untuk usaha mikro dari lembagalembaga keuangan formal seperti perbankan, menyebabkan pelaku usaha mikro bergantung pada sumber-sumber informal. Bank dan lembaga keuangan menganggap sektor usaha mikro memiliki potensi, tetapi bank terhalang dengan kendala prinsip prudent penya lur an pembiayaan. Pada umumnya, pelaku usaha mikro ini tergolong unbankable karena tidak memiliki aset legal dan memadai untuk dijaminkan pada pihak bank. Hal ini terlihat dari kecilnya proporsi pembiayaan yang di salurkan untuk usaha mikro dibandingkan usaha kecil dan me nengah.

Melihat realitas tersebut, pengembangan LKM Syariah seharusnya menjadi perhatian dan prioritas utama bagi Pemerintah apabila menginginkan perubahan kondisi ekonomi di negeri ini. Belakangan ini, tidak salah, jika potensi yang besar dari usaha mikro membuat Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tertarik turun tangan untuk memecahkan masalah tersebut. Salah satu program yang dilakukan oleh LKS termasuk perbankan syariah adalah dengan program linkage. Program linkage ini merupakan kerjasama antara LKS kepada lembaga keuangan mikro seperti Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) dengan menggunakan skema Executing, Channeling dan Joint financing.

Kehadiran Lembaga Keuangan syariah (LKS) diharapkan dapat menjadi suatu altenatif untuk memecahkan masalah permodalan yang dihadapi oleh UMK, karena LKS memiliki perhatian khusus terhadap perkembangan sektor riil. Selain itu pembiayaan yang dilaku kan oleh LKS tidak menerapkan sistem bunga, sehingga tidak membebani nasabah. Lembaga ini diyakini bahwa nilai-nilai kebersamaan, kemitraan, kesinambungan, keadilan dan lepasnya salah satu pihak dari beban untuk membayar modal dan bunga secara berke sinambungan menjadi kekuatan tersen diri yang tidak dimiliki oleh lembagalembaga keuangan konvensional.

Di sisi lain, lembaga keuangan mikro seperti BMT dinilai dapat menjangkau kelompok usaha mikro (UM) yang membutuhkan akses modal dengan biaya murah dan proses yang sederhana. BMT menunjukkan peran yang besar terhadap pemberian pembiayaan kepada Usaha mikro di wilayah yang tidak terjangkau oleh perbankan syariah.

Kehadiran BMT demikian penting dirasakan oleh masyarakat sebagai lembaga keuangan alternatif, disamping perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Namun demikian kondisi persaingan BMT dengan bank konvensional dan BPR yang demikian ketat telah mendorong untuk mencari strategi yang tepat dalam mengembangkan BMT dengan cara peningkatan kinerja BMT. Pemerintah dan ihak otoritas dipandang perlu untuk segera merumuskan arah dan kebijakan pengembangan LKS yang diyakini pro-poor, pro-growth, dan proeconomic welfare. Wallahu a'lam.

Dr. Jaenal Effendi

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement