Ahad 13 Jul 2014 17:00 WIB
esai

Penulis dalam Gerimis

Red: operator

Oleh Cucuk Espe -- Tiba-tiba, saya kembali teringat ketika mementaskan lakon monolog "Jenderal Markus"di Rumah Dunia, kawasan Panhegar, Serang, Banten, pada 2011. Bukan persoalan tokoh Jenderal Markus yang saya perankan, melainkan diskusi kecil dengan Gol A Gong, sang empunya Rumah Dunia. Bersama penyair Toto St Radik, saya ditemani bertemu penulis produktif yang menjadi denyut aktivitas Rumah Dunia.

Selepas Ashar, sebelum persiapan manggung, kami bertiga bertemu di sebuah balai-balai-- tepatnya panggung kecil--bersebelahan dengan taman buku yang dikelola relawan Rumah Dunia.

Diskusi ringan itu setelah melampaui waktu permenungan cukup lama, akhirnya berujung pada oase yang baru saya sadari.Persoalan menulis bukan perihal bakat atau genetika. Menulis merupakan aktivitas fitrah manusia yang terberi (given) meski manusia tersebut tidak menyadari. Dengan tegas, masih saya ingat Gol A Gong melontarkan celotehan bahwa tugas manusia adalah memperluas ruang penyadaran atas diri.Sebab, pada ruang kesadaran yang luas akan bermunculan kemampuan terpendam, termasuk menulis.

Setelah lama melakukan aktivitas men ulis, ucapan Gol A Gong menemukan titik benar. Saya pun menjadi kurang per caya dengan bakat, faktor keturunan, atau tingginya pendidikan seseorang da lam konteks menulis. Semua alasan ketidak mampuan menulis sejujurnya hanya berpu lang kepada kemauan hati. Menulis dengan hati, saya pun sering menyampaikan kali mat itu kepada teman-teman dalam se tiap diskusi penulisan. Memperhatikan ke mauan hati menjadi kunci utama se seorang untuk bermain dengan dunia kreatif. Pertanyaannya; mampukah kita menggiring kemauan hati berjalan menuju ruang kesadaran yang mahaluas?

Terlalu banyak penulis muda bermuncul an melalui berbagai media. Sayangnya, ke mun culan mereka belum dibarengi kesadaran hati dalam membingkai gagasan kreatif. Maka, tidak heran jika mereka mudah patah arang jika karyanya kurang memperoleh apresiasi positif dari pembaca.

Di dalam ruang kesadaran hati kita bebas melakukan akrobat batin menempa daya tahan dan kepekaan kreatif. Tanpa itu, menjadi penulis pun sekadar mengikuti tren atau senyampang belum memiliki pekerjaan lebih mapan.

Maestro penulis, seperti Ernest Heming way, Guy Maupasant, Charles Dicken, dan Edgar Alan Poe adalah sosok yang memperhatikan gejolak kesadaran batin. Riak gelombang dalam samudra kesadaran menjadi energi besar untuk memantik lahirnya karya kreatif. Dengan demikian, tugas utama penulis bukan menyepi atau berlari- lari mendaki gunung ide, tetapi berdiam diri sambil berenang mengarungi ceruk kesadaran hati. Terkadang, luka tergores tajamnya karang, hingga tenggelam tersapu badai-ombak, tetapi tantangan di samudra kesadaran hati tidak mengenal berhenti.

Diskusi kecil di balai-balai Rumah Dunia itu menggiring ingatan saya kepada makna hujan. Penyair Toto St Radik, melalui salah satu puisinya, mengajak saya memahami geliat hujan. Bahwa, menulis sejatinya seperti hujan yang terus menggerimis. Bukan turun dengan deras atau berpusar bersama angin hingga merobohkan pepohonan. Seperti amuk puting beliung yang membuahkan kerusakan di mana-mana. Saya pun memahami bahwa pekerjaan menulis itu seperti menikmati gerimis panjang. Kecil, pelan, tetapi mampu membasahi setiap dedaunan dan hamparan rerumputan. Bersama alunan kesadaran hati, penulis harus mampu memelihara dan menikmati setiap denting gerimis. Ritmis nada gerimis akan selalu membuahkan energi untuk terus menggerakkan jemari. Menulis dan menulis lagi.

Menulislah sebanyak titik gerimis yang jatuh di sela bebatuan. Begitu pemahaman saya atas letupan perjalanan bersama Toto St Radik di Rumah Dunia. Peristiwa demi peristiwa dalam menulis pun terus saya alami. Memperluas kesadaran hati dan memelihara irama gerimis menjadi pekerjaan besar seorang penulis. Akan menjadi sulit apabila kita memaki ketidakmampuan diri. Ketajaman intensitas melakukan dua pekerjaan besar itu secara otomatis akan membuahkan kualitas dalam karya.

Sekilas ingatan itu memantik semangat saya untuk terus menjadi penjaga kesadaran hati dan pemelihara lentik gerimis. Akhir nya, monolog "Jenderal Markus" di Rumah Dunia dimulai sebagai petanda dimulainya pekerjaan besar; menjadi penulis yang memperhatikan gerimis.

Cucuk Espe, Penulis dan Pimpinan Teater Kopi Hitam Indonesia, tinggal di Jombang, Jawa Timur.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement