Ahad 24 Aug 2014 18:34 WIB

Menegaskan Keterlibatan Negara

Red: operator

Kompetensi pekerja berpengaruh pada besaran gaji.Seiring dengan berkembangnya wilayah Islam, kehidupan masyarakat semakin kom pleks. Ini berpengaruh pula pada sektor jasa, tenaga kerja. Klasifikasinya, tak hanya terbatas pada satu etnis dan jenis kelamin tertentu, tapi relatif merata. Tenaga kerja non-Islam dan wanita bisa ditemui pa da masa dinasti Islam di berbagai sektor.

Maya Shatzmiller dalam artikelnya Human Capital Formation in Medieval Islam, mengungkapkan, tenaga kerja berjasa bagi perkembangan ekonomi Islam sejak abad kedelapan hingga abad ke15. Setidaknya ada 418 jenis pekerjaan di bidang manufaktur dan 522 jenis pekerjaan bidang jasa kala itu.

Bidang yang terbanyak spesialisasi dan padat karya adalah tekstil, pangan, industri bangunan, dan logam. Hal semacam ini tak ditemukan dalam peradaban Eropa pada saat yang sama.

Sistem pewarisan pengetahuan dalam lingkup keluarga atau magang di satu tempat yang di dalamnya terdapat ahli di satu bidang lazim berlangsung dalam sistem kerja negara Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:M Syakir / Republika

 

Hierarki pekerja seperti tenaga ahli (mu'allim), pekerja biasa ('ummal), dan pekerja magang (muta'allim) diberlakukan.Mu'allim difungsikan juga sebagai pengawas agar proses tetap terkendali.

Sistem ini akan membentuk keterkaitan jalur ilmu dan kredibilitas antara mu'allim dan muta'allim. Sistem magang di negeri Islam biasa berlanjut hingga muta'alim mahir di satu bidang yang didalaminya.Ini berbeda dengan sistem Eropa yang menggunakan kesepakatan batas waktu.

Sistem magang semacam juga berlaku di kerajaan seperti untuk bagian tekstil (tiraz) dan dapur istana. Regulasi magang pun sepenuhnya diatur negara.Pemerataan kemakmuran juga memengaruhi tenaga kerja di suatu wilayah.

Pemimpin Islam kala itu berperan serta di dalamnya. Dalam A History of the Arabian Peninsula yang ditulis Fahd al-Semmari terungkap, pada masa Gubernur al-Hajjaj dari Dinasti Umayyah yang memimpin pada 694-714 M, bidang pertanian sangat diperhatikan terutama di Irak.

Namun, sempat terjadi migrasi pekerja pertanian ke kota besar karena upah pertanian yang rendah seperti di Yamama.Untuk memastikan sektor pertanian tetap berjalan, para petani diberikan lahan yang sebagian hasilnya disetorkan ke negara, memberi pinjaman dan mengenalkan tek nologi pertanian terbaru. Upaya ini cukup menarik para pekerja pertanian untuk kembali.

Maya Shatzmiller dalam bukunya Labour in the Medieval Islamic World menulis, Dinasti Umayyah yang wilayahnya berbatasan dengan Byzantium membuat sistem pengupahan serupa. Padahal, upah pekerja di Byzantium lebih rendah dari upah di wilayah Islam lainnya.

Abu Muslim, sang pendiri Dinasti Ab basiyah, yang mengalahkan sultan terakhir Dinasti Umayyah, Marwan II pada 750 M, merombak sistem pengupahan pekerja setelah itu.Hugh Kennedy dalam bukunya The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State mengungkapkan, sultan Dinasti Umayyah memberikan gaji terntara setahun sekali. Sementara sejak kepemimpinan Abu Muslim, perlahanlahan tentara diberikan sebulan sekali dari awalnya tiga atau empat bulan sekali dengan besaran 80 dirham per bulannya.

Angka ini setara dengan gaji tentara pada masa Dinasti Ummayah.Bagi pasukan perbatasan yang ber jum lah 4.000 orang, selain mendapatkan gaji, mereka juga diberikan bonus 300 dirham dan diberi fasilitas rumah tiap orangnya.

Gaji sebesar 80 dirham juga diberikan untuk pekerja ahli dan para guru. Para gubernur digaji 2.500 dirham sebulannya.Kennedy mencatat, jumlah gaji mengikuti tingginya jabatan. Sementara para pekerja mandiri, seperti penyanyi, bisa memperoleh 4.000 dirham dalam beberapa hari saja.

Pada abad kesembilan sempat terjadi perubahan struktur masyarakat karena ada pembagian wilayah desa dan kota di Suriah, membagi masyarakat menjadi kelas pedagang dan pengembara padang.

Memasuki abad ke-10 hingga ke-16, upah pekerja kembali stabil seiring stabil nya perdagangan dan sistem bagi hasil yang diterapkan ekonomi pemerintahan.Beberapa bidang pekerjaan di pemerintahan mendapat upah berjenjang berdasarkan kriteria tertentu.

Rumah Sakit Sivas (Dar al-Sihha) yang dibangun atas perintah Sulta Izzedin Keykavus dari Dinasti Seljuk Turki pada 1217 M mempekerjakan tenaga terbaik dan berpengalaman di dalamnya. Izzedin Keykavus yang menjadi sultan pada 12111220 M, tampak mencurahkan segala upaya untuk membangun dan mengoperasikan rumah sakit ini, demikian ditulis Ali Haydar Bayat dalam artikelnya Turkish Medical History of the Seljuk Era.

Dokter, ahli bedah, spesialis gangguan pengelihatan, apoteker, dan tenaga penyedia bahan obat-obatan terbaik dan paling berpengalaman dipilih dan digaji untuk bekerja di sana. Tenaga penunjang lainnya, seperti juru masak rumah sakit, pun dipekerjakan dan diupah secara laik. Rumah sakit mengandalkan pemasukan dari tujuh lahan dan 108 toko yang diberi kan sultan.

Uraian Arif Bilgin dalam artikelnya Ottoman Palace Cuisine of the Classical Period menyebutkan jumlah pekerja dapur istana di era Ottoman, terus bertambah dari waktu ke waktu, mulai sekitar 100 orang pada masa Sultan Mehmed II (14511481 M) hingga mencapai 1.372 orang pada 1665 M.

Seperti militer, personel dapur juga me nerima gaji berdasarkan reputasi, senioritas, prestasi, dan kualitas performa kerja. Emin dan ustaz mendapat gaji tertinggi di antara pekerja dapur istana.

Besaran gaji pegawai dapur istana pada 1478 M bervariasi antara setengah koin perak hingga 10 koin perak. Jumlahnya meningkat pada 1631 M menjadi antara dua koin perak bagi staf magang hingga 55 koin perak bagi kepala koki.

Semakin bagus performa kerja semakin besar pula gaji yang diperoleh. Prinsip ini yang digunakan basis kepegawaian Istana Dinasti Turki Usmani sehingga terkadang staf yang mengerjakan pekerjaan yang sama bisa berbeda gaji hingga 18 kali lipat.

rep:fuji pratiwi ed: nashih nashrullah

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement