Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (STIA) Alma Ata Yogyakarta me mi liki Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Pendi dik an Agama Islam, Perbankan Syariah, dan Ekonomi Syariah. Kampus yang didirikan pada 2008 ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan guru agama Islam, praktisi perbankan syariah, dan ekonom syariah.
Menurut pejabat Rektor STIA Prof Hamam Hadi, kedepan nasib bangsa Indonesia sangat bergantung dengan kualitas pendidikan generasi muda. Sedang, kualitas pendidik an sangat bergantung kualitas pendidikan guru-gurunya.
STIA Alma Ata pun merasa terpanggil menyiapkan guru-guru berkualitas dan berkompeten, yaitu guru madrasah ibtidaiyah (MI)/sekolah dasar, madrasah tsana wiyah (MTs)/sekolah menengah pertama, dan madrasah aliyah (MA)/sekolah menengah atas."Dengan kata lain, STIA Alma Ata ikut serta meningkatkan kualitas bangsa Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan guru Agama Islam," kata Hamam kepada Republika di ruang kerjanya, belum lama ini.
Ia lantas menunjuk pada kepedulian pemerintah 10 tahun terakhir pada perbaikan kualitas guru melalui sertifikasi. Semen tara itu, sertifikasi membutuhkan pra syarat tertentu di bidang pendidikan yang memenuhi kemampuan sebagai pendidik jika sudah mempunyai pendidikan mi nimal S-1. Saat ini, guru agama sudah tidak dibedakan dengan guru mata pelajaran umum dalam konteks profesionalisasinya.
Guru-guru agama dituntut untuk menjadi guru yang profesional, salah satu tandanya, tersertifikasi sebagai guru profesional.
Dalam kenyataannya, keinginan sebagian masyarakat agar anak-anak mereka bersekolah di MI, MTs, atau MA cukup besar.
Dengan begitu, kebutuhan guru agama Islam pada sekolah tersebut juga cukup besar, baik untuk mengisi kebutuhan guru baru maupun mengganti guru yang pensiun. Hamam meng ungkap, di kampusnya kurikulum didesain sedemikian rupa, sehingga antara teori dan praktik bisa berimbang. Praktik calon guru agama Islam disesuai dengan kurikulum terbaru, yaitu Kurikulum 2013. Dengan begitu, lulusan Alma Ata sudah terbiasa dengan kurikulum baru tersebut.
Penyeimbangan antara teori dan praktik, jelas Hamam, bukan hal yang baru. "Perguruan Alma Ata didirikan dengan basis pesantren, sehingga pendidikan Agama Islam sudah lekat dengan basis komunitas pesantren," kata dia, "sehingga calon guru agama Islam dari Alma Ata ini memiliki referensi lebih tinggi di bidang keagamaan."
Tinggal di pesantren bagi mahasiswa STIA Alma Ata, kata Hamam, khususnya Prodi Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Guru MI tidak perlu diminta mereka tinggal di pesantren untuk memperdalam ilmu agama Islam. "Tanpa desain pendidikan khusus, pada umumnya mahasiswa tinggal di pesantren-pesantren di lingkungan Alma Ata. Di antaranya, Ponpes Krapyak, Ngrukem Bantul, dan pondok pesantren lainnya yang ada ikatan persaudaraan dengan Alma Ata," kata Hamam.
Tentang lama tinggal di Ponpes, sangat bergantung pada mahasiswanya. Jika maha siswa masih menempuh semester awal, ting gal di ponpes relatif lebih sedikit. Sedang, ji ka sudah semester menengah dan akhir, lama tinggal di ponpes lebih lama. "Selama di pondok pesantren, mahasiswa akan mendapatkan `suplemen' yang dibutuh kan untuk memperkaya pengetahuan keislaman,"katanya.
Kemudian, untuk menciptakan calon guru yang memiliki level lebih tinggi dari perguruan lain, STIA Alma Ata telah mempersiapkan dosen-dosen yang memiliki kemampuan yang memadahi. Di antaranya, minimal memiliki pendidikan S-2 sebagaimana ditentukan Kementerian Agama serta lulusan pesantren yang memi liki kemampuan dalam penguasaan kitab- kitab yang menjadi rujukan untuk belajar keagamaan yang lebih tinggi. "Artinya, selain memiliki pendidikan S-2, para dosen juga merupakan lulusan pesantren," kata Hamam. rep:Heri Purwata ed: nina chairani