Ahad 24 Jan 2016 22:14 WIB

Kesejahteraan Berbasis Ukhrawi

Red: operator

Sumber daya alam yang strategis dikuasai negara untuk kepentingan umum. 

 

Negara, ungkap Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, adalah penyelenggara ekonomi yang paling utama. Berlandaskan nilai-nilai Alquran, karakter perekonomian Islam memiliki komitmen tinggi terhadap keadilan dan pemerataan kesejahteraan. 

Sejarah mencatat, para pemimpin Islam dari masa ke masa telah melakukan berbagai upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Implementasi sistem ekonomi Islam pada masa Rasulullah SAW mulai dilaksanakan pada masa Madinah. 

Salah satu upaya pemerataan kesejahteraan yang dilakukan pada masa Rasulullah adalah dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Kebijakan itu menempatkan setiap satu orang Anshar bertanggung jawab atas saudaranya, Muhajirin. 

Dengan cara itu, terjadilah distribusi pendapatan di antara kedua golongan kaum Muslim. Kaum Muhajirin yang sampai di Madinah dalam kondisi papa dipertemukan dengan kaum Anshar yang sudah mapan secara ekonomi.

Kita ingat satu kisah, ketika Abdurrahman bin Auf tiba di Madinah, ia dipersaudarakan dengan Sa'd bin ar Rabi'. Sa'ad berkata, "Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta. 

Harta itu akan kubagi dua, setengah untuk Anda dan setengah untuk aku." Tapi, Abdurrahman meminta kepada Sa'd untuk ditunjukkan lokasi pasar. Ia menjalankan aktivitas ekonomi dengan cara berdagang di pasar. 

Kedua kelompok saling memenuhi kebutuhan dan bekerja sama dalam menjalankan perekonomian. Perluasan produksi dan perdagangan ini menghasilkan peningkatan sumber daya tenaga kerja, lahan, dan modal.

Sumber daya alam yang strategis dikuasai negara untuk kepentingan umum. Dikisahkan dalam sebuah hadis oleh Imam Muslim, pada masa Rasulullah, Kota Madinah pernah meng?

alami paceklik dan kesulitan air bersih. Satu- satunya sumur yang masih mengalir adalah sumur milik seorang lelaki Yahudi. 

Masyarakat harus antre mendapatkan air dari sumur tersebut. Yahudi pemilik sumur melakukan monopoli dan menjual air sumur dengan harga tinggi. Kondisi ini membuat Rasulullah resah. 

Beliau kemudian menawarkan kepada para sahabat untuk membeli sumur tersebut. Adalah Utsman bin Affan yang membeli sumur milik Yahudi senilai 20 ribu dirham, kemudian mewakafkannya. 

Setelah itu, semua penduduk Madinah, termasuk orang Yahudi, dapat memanfaatkan air secara cuma-cuma. Pemerintahan Madinah telah mengajarkan pengelolaan anggaran pendapatan negara. 

Semua hasil pendapatan negara harus dikumpulkan lebih dulu, kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara. Tempat pengaturan arus keluar masuk pendapatan negara itu disebut baitul mal. 

Fungsi baitul mal lain yang tak kalah penting adalah mendanai shuffah di sisi Masjid Nabawi. Di shuffah ini, para sahabat menuntut ilmu. Artinya, pemerintahan Madinah telah memberikan perhatian pada para penuntut ilmu melalui dana umat.

Dasar-dasar perekonomian dan pemerataan kesejahteraan yang telah dimulai pada masa Rasulullah dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar. Imam as-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa'

menceritakan, Abu Bakar sangat memerhatikan masalah penghitungan zakat. Zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan kesejahteraan dalam Islam. Ia tercatat sebagai khalifah yang memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.

Pada masa Abu Bakar, zakat dijadikan pendapatan negara yang dikelola oleh baitul mal, kemudian didistribusikan kepada seluruh Muslim. Kebijakan itu memperkecil jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Selama masa Abu Bakar, harta baitul mal tidak pernah menumpuk karena langsung dibagikan.

 Distribusi kekayaan negara juga dilakukan lewat pembagian hasil rampasan perang dan tanah taklukan secara adil. Seiring perluasan wilayah Islam, pendapat an negara pada masa Umar bin Khatab semakin signifikan. 

Namun, tanggung jawab dan distribusi kekayaan tidak lagi sesederhana pada masa Rasulullah. Umar adalah khalifah yang paling terkenal dengan kebijakan ekonomi nya. Dalam Fiqh Ekonomi Umar bin al- Khattab, Jaribah bin Ahmad al-Haritsi menulis, kebijakan ekonomi Umar bin Khatab didasarkan pada kemaslahatan umum dan skala prioritas.

Umar mengembangkan fungsi baitul mal sehingga menjadi lembaga yang permanen. Pada 16 H, baitul mal didirikan di Madinah, berikut cabang-cabangnya di ibu kota provinsi. 

"Kebijakan fiskal baitul mal telah memberikan dampak positif terhadap tingkat investasi, penawaran agregat, dan sekaligus berpengaruh kepada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi," tulis al-Haritsi.

Umar juga mendirikan beberapa departemen untuk membantu mendistribusikan bantuan kepada tiap-tiap kelompok masyarakat. Misalnya, kelompok militer (janda veteran), fakir miskin, pendidikan, dan gaji para pegawai. 

Ia menunjuk sebuah komite untuk membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan kepentingan dan kelas masyarakat. Sistem pengawas pasar juga diberlakukan pada masa Umar untuk mengawasi turun naik harga di lapangan. 

Pendapatan negara pada masa ini berasal dari zakat, `ushr, sedekah, pajak perdagangan, sewa tanah, dan jizyah. Kejayaan dinasti Pada masa Dinasti Umayyah, khalifah yang paling terkenal kesuksesannya dalam melakukan pemerataan kesejahteraan adalah Umar bin Abdul Aziz. 

Ketika diangkat menjadi khalifah, Umar serta-merta menyerahkan harta kekayaan pribadi dan keluarga yang dia peroleh secara `tidak wajar' (misalnya, hadiah penguasa) kepada baitul mal. 

Umar naik takhta ketika kondisi kesejahteraan umat tidak stabil. Karena itu, Umar bin Abdul Aziz lebih memprioritaskan pembangunan dalam negeri. Ia melakukan perbaikan dan peningkatan kesejahteraan di kawasan Islam, alih-alih melakukan perluasan wilayah.

Umar juga membuat aturan takaran dan timbangan untuk meminimalisasi kecurangan serta mengurangi beban pajak. Umar bin Abdul Aziz mereformasi sistem perpajakan supaya tagihan pajak kepada rakyat kecil tidak terlalu tinggi. 

Di sisi lain, ia memberikan hukuman kepada pejabat yang berlaku tidak adil. Dalam bidang pertanian, Umar bin Abdul Aziz melarang penguasaan lahan oleh salah satu pihak. Ia mengatur sewa tanah sesuai dengan tingkat kesejahteraan petani.

Adiwarman Azwar Karim dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam menjelaskan, pengalokasian subsidi kepada masyarakat berdaya beli rendah sebagai tujuan distribusi zakat terus ditingkatkan pada masa Umar. 

"Umar menyadari bahwa zakat merupakan se buah instrumen pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan (growth dan equity)," kata Adiwarman. Untuk mewujudkan kesejahteraan negara, Umar menjadikan jaminan sosial sebagai landasan utama. 

Pada akhir masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, tidak ada satu orang pun yang mau menerima zakat. Di samping itu, lanjut Adiwarman, Umar menyadari pengelolaan anggaran merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang terpenting selain pajak. 

Tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijakan itu juga mengurangi penduduk miskin, menciptakan stabilitas ekonomi, serta meningkatkan pendapatan per kapita. Pengelolaan anggaran menopang tujuan utama pemerintahan negara Islam yang tak lain adalah kesejahteraan seluruh warga negara.

Jauh setelah masa Umar bin Abdul Aziz, di Asia Tengah lahir sebuah dinasti kecil bernama Dinasti Ilkhan. Guru besar Sejarah UIN Yogyakarta M Abdul Karim dalam Islam di Asia Tengah: Sejarah Dinasti Mongol- Islam, mengisahkan salah satu kegemilangan dinasti ini dalam mewujudkan pemerataan kesejahteraan. 

Ghazan Khan adalah sultan ter besar dari Dinasti Ilkhan. Ia naik ketampuk kepemimpinan tatkala masalah peme rasan pajak yang berlebihan mengancam kesejahteraan rakyat kecil, terutama para petani.

Setelah naik takhta, Ghazan Khan memberikan hukuman kepada pejabat yang menyalahgunakan tugas dan wewenang. Ia memberi perhatian besar di bidang pertanian. "Pada masa pemerintahannya, Ghazan mewajibkan semua gubernur dan pemungut pajak tani untuk membantu petani kecil yang tidak mampu membeli benih-benih, keperluan pertanian, dan makanan bagi ternaknya," tutur Abdul Karim. 

Produktivitas pertanian meningkat tajam, bahkan mampu mengekspor hasil pertanian ke luar negeri. 

c38, ed: Nashih Nashrullah 

Pemerataan kesejahteraan dalam peradaban Islam dilakukan, antara lain, melalui optimalisasi filantropi. 

 

 

 

 

Berlimpahnya Materi Bukan Jaminan

 

Kesejahteraan merupakan kata kunci dalam kebijakan ekonomi Islam. Setiap tahun, PBB lewat United Nation Development Program (UNDP), mengukur Human Development Index (HDI) untuk mengetahui tingkat kesejahteraan tiap-tiap negara. 

Mark McGillivray dalam "The Human Development Index: Yet Another Redundant Composite Development Indicator?", World Government Vol 19 No 10, menjelaskan, HDI diukur berdasarkan pendapatan per kapita, usia harapan hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat suatu negara.

Tingkat kesejahteraan negara-negara Muslim, jika dilihat berdasarkan HDI, saat ini berada pada posisi rendah. Padahal, banyak negara Muslim bergelimang kekayaan alam, terutama minyak dan gas. 

Data HDI dari UNDP menetapkan indeks pembangunan manusia Indonesia pada 2015 di posisi 108 dari 187 negara. Di kawasan ASEAN, peringkat ini lebih baik dari Filipina (117), Timor-Leste (128), Laos (139), tapi jauh tertinggal dari Singapura (9), Brunei (30), Malaysia (62), atau Thailand (89).

PBB merilis Norwegia sebagai peringkat pertama dalam Human Development Index (HDI) 2015. Negara ini sudah menempati peringkat pertama selama 12 kali berturut-turut. 

Rata-rata, pendapatan warga Norwegia lebih besar 8.000 dolar AS atau setara dengan Rp 109 juta dari rata-rata pendapatan warga Amerika. 

Negara ini juga dinilai berhasil mewujudkan jaminan kesehatan, tingginya tingkat pendidikan, dan usia harapan hidup yang panjang. Namun, konsep kesejahteraan ini perlu didudukkan kembali. Pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa dibarengi tingkat spiritualitas bukan ukuran kesejahteraan yang diharapkan dalam Islam. 

"Norwegia, negara yang menurut indeks HDI merupakan negara yang paling sejahtera, memiliki angka bunuh diri yang cukup tinggi, yaitu 28 orang setiap 100 ribu jiwa. Jika dibandingkan dengan Mesir yang hanya menduduki peringkat 112 dalam HDI, angka bunuh dirinya hanya 0,1 dari 100 ribu jiwa," tulis Satria Hibatal Azizy dalam Mendudukkan Kembali Makna Kesejahteraan dalam Islam.

Realitasnya, negara dengan tingkat kesejahteraan tinggi tidak selalu dibarengi dengan tingginya kualitas ukhrawi atau kenyamanan batin. Angka pertumbuhan ekonomi naik, tapi tidak selalu diiringi penurunan angka kejahatan dan bunuh diri. 

Inilah yang disoroti M Umer Chapra dalam The Objectives of Islamic Order. Menurut Chapra, jika hanya kesejahteraan materi yang dikejar tanpa memerhatikan aspek moralitas dan kultural, akan terjadi peningkatan fenomena-fenomena anomali, seperti frustrasi, kriminalitas, kecanduan alkohol, perselingkuhan, perceraian, gangguan mental, dan bunuh diri.

Semua fenomena itu mengindikasikan kurangnya kebahagiaan batin. Di sini, Chapra kemudian menekankan konsep falah sebagai tujuan kehidupan ekonomi. Aspek material dan spiritual dalam kehidupan manusia harus dapat berjalan beriringan. 

Manusia tidak bisa hanya mementingkan duniawi atau ruhani. Konsep falah ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan dunia dan akhirat secara bersamaan. Menurut Chapra, kedua aspek ini tidak bisa berjalan sendiri-sendiri karena akan menimbulkan kegagalan dalam mencapai kesejahteraan. 

c38, ed: Nashih Nashrullah 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement