N-MAP Kampanyekan Antinikah di Bawah Umur
Organisasi Muslim di Nigeria Utara, N-MAP, meluncurkan video kampanye pentingnya pembatasan usia menikah untuk anak perempuan.
Video berdurasi 14 menit itu tersebut diluncur kan bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Menurut juru bicara N-MAP, Amina Hanga, video yang berjudul "Too Young To Consent and Too Young To Be Judged" itu disebutkan bahwa bahayanya pernikahan anak di bawah umur.
Menurut Hanga, bahaya pernikahan anak perempuan di bawah umur itu berkaitan dengan psikologi anak dan juga berhubungan dengan kesehatan organ reproduksi. "Selain itu, pernikahan anak di bawah umur juga rentan akan perceraian," ujarnya, seperti dilansir aa.com.tr (8/3).
Hanga menyebutkan, kampanye ini dilakukan karena belum lama ini ditemukan kasus pernikahan gadis berusia 14 tahun di wilayah utara Nigeria.
Gadis tersebut dipaksa menikah dan dituduh meracuni suami dan teman-temannya di negara bagian Kano, barat laut Nigeria.
Anak perempuan tersebut didakwa karena tuduhan pembunuhan. Namun, setelah sejumlah organisasi Muslim Nigeria melakukan pelawanan, akhirnya kasus ini ditarik dari pengadilan.
Hanga menambahkan, kampanye ini juga bertujuan menciptakan kesadaran tentang perlunya membuka akses pendidikan untuk anak-anak perem puan dan peluang mengembangkan diri serta berkontribusi untuk masyarakat. "Seorang wanita tanpa pendidikan tidak hanya menderita, tapi anak- anaknya juga dibuat menderita," katanya. Marniati, ed: Nashih Nashrullah
Muslimah Inggris Terkendala Akses Pekerjaan
Muslimah di Inggris terungkap sulit mendapatkan pekerjaan. Temuan ini menyusul survei Doha Institute yang dilansir pada pekan lalu.
Penelitian tersebut diambil dari data angkatan kerja 2002 dan 2013 yang difokuskan dengan jumlah sampel lebih dari 245 ribu orang. Delapan ribu di antaranya adalah Muslimah.
Profesor Doha Institute, Nabil Khattab, mengatakan, Muslimah Inggris enam kali lebih mungkin untuk menjadi pengangguran dibanding kan de ngan perempuan non-Muslim Inggris yang berkulit putih.
"Hambatan perempuan Muslim di pasar tenaga kerja kompleks. Mulai dari agama, etnis, fisik, dan diskriminasi gender," ujar Nabil Khattab, seperti dilansir aa.com.tr (8/3).
Ia menjelaskan, susahnya Muslimah memperoleh pekerjaan bukan hanya karena agamanya, melainkan juga dikarenakan perempuan tidak mampu bersaing dengan laki-laki.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terungkap pula bahwa persentase Muslimah yang bekerja dalam pekerjaan profesional antara 8,3-23 persen dengan latar belakang etnis yang berbeda. Angka ini meningkat 32 persen di kalangan Muslimah kulit putih.
Masih menurut survei tersebut, Muslimah Bangladesh memiliki kemungkinan enam kali lebih mungkin un tuk menjadi pengangguran dibandingkan non-Muslim atau perempuan kulit putih Inggris dengan latar belakang yang sama.
Khattab mengatakan bah wa penampilan fisik atau visibilitas budaya di ruang publik adalah faktor yang signifikan da lam diskriminasi dunia kerja. Marniati, ed: Nashih Nashrullah